Salah satu sekolah unggulan di Lani Jaya. Foto; sure-indonesia-com |
TEMPO.CO, Lanny Jaya
- Nisman merapikan seragam putih-biru di hadapannya. Baju itu berwarna
putih bersih dan masih kentara lipatannya. “Baru beli hari ini,” kata
Nisman, siswa kelas VII Sekolah Menengah Pertama Lanny Jaya, Papua,
dengan riang, kepada Tempo, Sabtu pagi, dua pekan lalu. SMP
Lanny Jaya merupakan salah satu SMP di kabupaten di kawasan puncak
Pegunungan Jayawijaya, Papua.
Bocah 13 tahun itu bercerita bahwa ibu gurunyalah yang membelikan pakaiannya. Dan, ayah Nisman pun tak perlu repot merogoh kocek Rp 250 ribu untuk menebus kegembiraan itu. Semua gratis, termasuk sepatu bermerek Specs berkelir hitam yang ia kenakan.
Namun hari itu keceriaan bukan hanya milik Nisman. Di puncak Lanny Jaya, pada Sabtu pagi itu, tampak ribuan anak juga memakai seragam baru. Mulai bocah mungil taman kanak-kanak hingga siswa-siswi sekolah menengah. Tapi, tentu saja, pemberian baju dan sepatu gratis dari guru mereka tersebut bukan tanpa maksud. Ribuan murid dari setiap sudut Lanny Jaya dikerahkan untuk menyambut tetamu spesial dari Jakarta.
Mereka berbaris di sepanjang jalan sejak dari landasan Bandar Udara Tiom hingga lapangan upacara, yang terletak persis di bawah bangunan kantor Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom. Sambil melambai-lambaikan bendera merah-putih, murid-murid itu menyambut kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Lanny Jaya, yang juga nama distrik di kabupaten itu, hanya sekumpulan bukit yang tanahnya seperti baru diratakan. Di puncak tertinggi kabupaten berpenduduk 89 ribu jiwa ini berdiri antara lain kantor bupati, kepolisian sektor, dan perwakilan Tentara Nasional Indonesia. Sisanya honai—rumah adat Papua—yang tersebar di beberapa titik, termasuk di bukit-bukit.
Butuh 20 menit dari Wamena atau satu jam dari Jayapura dengan pesawat carteran menuju Tiom, ibu kota Lanny Jaya. Jalan-jalan belum beraspal, kecuali landasan Bandara Timo dan jalan di depan kantor Bupati. “Jalan ini baru diratakan sebulan lalu, mungkin karena Pak Menteri mau datang,” ujar seorang aparat keamanan, berseloroh.
Di lokasi terpencil dan jauh dari modernisasi inilah Menteri Nuh menjadikan Lanny Jaya sebagai lokasi puncak peresmian kurikulum baru, yang serentak berlaku di 6.326 sekolah di seantero Tanah Air. Meski kawasannya masih terbelit kemiskinan, menurut Nuh, SMP Lanny Jaya dianggap bisa menerapkan kurikulum 2013, antara lain karena dekat dengan bandara.
Menteri Nuh mengatakan sekarang itu semangatnya adalah membangun di pegunungan karena di tempat ini paling banyak orang miskin. ”Yang terisolasi itu penduduk di pegunungan. Kami ingin menjadikan Lanny Jaya sebagai magnet bagi daerah lain untuk kemajuan pendidikan Papua yang selama ini masih tertinggal,” katanya.
Menurut Nuh, alasan klasik tertinggalnya kualitas pendidikan di kawasan terpencil di Papua, seperti Lanny Jaya, adalah anggaran yang minim dan keterbatasan guru. Dia berjanji mengucurkan dana bantuan siswa miskin sebesar Rp 108 miliar kepada Lanny Jaya. Dana ini untuk sekitar 19 ribu murid di semua jenjang, dari tingkat SD sampai SMA.
Soal ketersediaan pengajar, kata Nuh, Kementerian Pendidikan akan menempatkan 3.000 guru dari 8.000 pendaftar untuk mengajar di daerah terpencil. Untuk Lanny Jaya, Nuh bakal menyediakan guru dari Toraja, Sulawesi Selatan, sesuai dengan permintaan bupatinya. “Kenapa? Simpel saja, karena guru dari Toraja terbiasa dengan babi,” ucap dia.
Cerita soal sekolah yang sepi karena ketiadaan guru memang acap kali membikin Nisman resah. Guru mereka tinggal di Distrik Pirime, sekitar dua jam berkendara menuju Lanny Jaya. Biasanya Nisman cs, yang tiba di sekolah pukul 07.30, mesti menunggu guru hingga dua jam untuk bisa belajar bersama. Bahkan gurunya tak jarang alpa mengajar tanpa alasan yang jelas.
Seorang aparat keamanan mengatakan kebanyakan guru didatangkan dari Pirime. Kekurangan guru ini, kata dia, membuat sekolah terkadang sepi. ”Saya pernah jadi guru dadakan,” kata perwira menengah yang enggan menyebutkan identitasnya itu sambil tersenyum.
Kendala geografis menjadi salah satu tantangan bagi guru di sana. Daerah ini cukup terisolasi dari kabupaten terdekat, Wamena. Dari Wamena menuju Lanny Jaya bisa dilalui lewat jalur darat dan udara. Tak ada angkutan umum. Melalui udara, mereka harus menyewa pesawat Trigana atau Susi Air berkapasitas 10 penumpang dengan waktu tempuh 15-20 menit saja.
Tentu saja, dengan pendapatan bulanannya, guru tak mungkin menyewa Trigana. Pilihan lainnya adalah lewat darat. Perjalanan darat bisa menggunakan jip atau sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Persoalannya, tak semua orang gembira melewati jalur darat. Musababnya, Tiom merupakan salah satu daerah rawan serangan kelompok separatis.
“Mobil polisi Papua pernah ditembaki oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka),” kata Andre Kirwel, warga asli Papua yang menjadi kontributor stasiun televisi swasta di Jakarta. Meski demikian, Andre menyebutkan daerah ini mulai aman. Sebab, ada ratusan aparat yang berjaga-jaga. Jika pun bertemu dengan anggota OPM, cukup diacuhkan saja.
Dari kejauhan, Tempo melihat sebuah bangunan seperti asrama, yang tinggal beberapa atapnya yang belum terpasang. “Kami sedang membangun sekolah dengan asrama,” kata Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom. Sekolah asrama ini, ujar Befa, untuk menyiasati siswa yang rumahnya jauh dari pusat Kota Tiom, terutama siswa dari lereng Pegunungan Jayawijaya.
Selain asrama siswa, Bupati Befa berniat membangun perumahan khusus untuk guru, sehingga bisa mengantisipasi guru yang rumahnya jauh dari sekolah. Pemerintah daerah, kata dia, pun memberi insentif lain, berupa honor tambahan untuk membangkitkan minat mengajar di kabupaten yang tahun ini memiliki anggaran Rp 517 miliar itu.
Menteri Nuh harus segera kembali ke Wamena pada Sabtu menjelang petang itu. Ia meninggalkan harapan bagi Nisman dan kawan-kawan. Dari sekian janji Pak Menteri, Nisman paling bersemangat soal tambahan guru baru, sehingga tak ada lagi guru yang alpa mengajar. Sebab, cita-citanya hanya dua, “Saya ingin cepat lulus dan menjadi pendeta.”
FEBRIANA FIRDAUS | BC
Bocah 13 tahun itu bercerita bahwa ibu gurunyalah yang membelikan pakaiannya. Dan, ayah Nisman pun tak perlu repot merogoh kocek Rp 250 ribu untuk menebus kegembiraan itu. Semua gratis, termasuk sepatu bermerek Specs berkelir hitam yang ia kenakan.
Namun hari itu keceriaan bukan hanya milik Nisman. Di puncak Lanny Jaya, pada Sabtu pagi itu, tampak ribuan anak juga memakai seragam baru. Mulai bocah mungil taman kanak-kanak hingga siswa-siswi sekolah menengah. Tapi, tentu saja, pemberian baju dan sepatu gratis dari guru mereka tersebut bukan tanpa maksud. Ribuan murid dari setiap sudut Lanny Jaya dikerahkan untuk menyambut tetamu spesial dari Jakarta.
Mereka berbaris di sepanjang jalan sejak dari landasan Bandar Udara Tiom hingga lapangan upacara, yang terletak persis di bawah bangunan kantor Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom. Sambil melambai-lambaikan bendera merah-putih, murid-murid itu menyambut kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
*****
Lanny Jaya, yang juga nama distrik di kabupaten itu, hanya sekumpulan bukit yang tanahnya seperti baru diratakan. Di puncak tertinggi kabupaten berpenduduk 89 ribu jiwa ini berdiri antara lain kantor bupati, kepolisian sektor, dan perwakilan Tentara Nasional Indonesia. Sisanya honai—rumah adat Papua—yang tersebar di beberapa titik, termasuk di bukit-bukit.
Butuh 20 menit dari Wamena atau satu jam dari Jayapura dengan pesawat carteran menuju Tiom, ibu kota Lanny Jaya. Jalan-jalan belum beraspal, kecuali landasan Bandara Timo dan jalan di depan kantor Bupati. “Jalan ini baru diratakan sebulan lalu, mungkin karena Pak Menteri mau datang,” ujar seorang aparat keamanan, berseloroh.
Di lokasi terpencil dan jauh dari modernisasi inilah Menteri Nuh menjadikan Lanny Jaya sebagai lokasi puncak peresmian kurikulum baru, yang serentak berlaku di 6.326 sekolah di seantero Tanah Air. Meski kawasannya masih terbelit kemiskinan, menurut Nuh, SMP Lanny Jaya dianggap bisa menerapkan kurikulum 2013, antara lain karena dekat dengan bandara.
Menteri Nuh mengatakan sekarang itu semangatnya adalah membangun di pegunungan karena di tempat ini paling banyak orang miskin. ”Yang terisolasi itu penduduk di pegunungan. Kami ingin menjadikan Lanny Jaya sebagai magnet bagi daerah lain untuk kemajuan pendidikan Papua yang selama ini masih tertinggal,” katanya.
Menurut Nuh, alasan klasik tertinggalnya kualitas pendidikan di kawasan terpencil di Papua, seperti Lanny Jaya, adalah anggaran yang minim dan keterbatasan guru. Dia berjanji mengucurkan dana bantuan siswa miskin sebesar Rp 108 miliar kepada Lanny Jaya. Dana ini untuk sekitar 19 ribu murid di semua jenjang, dari tingkat SD sampai SMA.
Soal ketersediaan pengajar, kata Nuh, Kementerian Pendidikan akan menempatkan 3.000 guru dari 8.000 pendaftar untuk mengajar di daerah terpencil. Untuk Lanny Jaya, Nuh bakal menyediakan guru dari Toraja, Sulawesi Selatan, sesuai dengan permintaan bupatinya. “Kenapa? Simpel saja, karena guru dari Toraja terbiasa dengan babi,” ucap dia.
*****
Cerita soal sekolah yang sepi karena ketiadaan guru memang acap kali membikin Nisman resah. Guru mereka tinggal di Distrik Pirime, sekitar dua jam berkendara menuju Lanny Jaya. Biasanya Nisman cs, yang tiba di sekolah pukul 07.30, mesti menunggu guru hingga dua jam untuk bisa belajar bersama. Bahkan gurunya tak jarang alpa mengajar tanpa alasan yang jelas.
Seorang aparat keamanan mengatakan kebanyakan guru didatangkan dari Pirime. Kekurangan guru ini, kata dia, membuat sekolah terkadang sepi. ”Saya pernah jadi guru dadakan,” kata perwira menengah yang enggan menyebutkan identitasnya itu sambil tersenyum.
Kendala geografis menjadi salah satu tantangan bagi guru di sana. Daerah ini cukup terisolasi dari kabupaten terdekat, Wamena. Dari Wamena menuju Lanny Jaya bisa dilalui lewat jalur darat dan udara. Tak ada angkutan umum. Melalui udara, mereka harus menyewa pesawat Trigana atau Susi Air berkapasitas 10 penumpang dengan waktu tempuh 15-20 menit saja.
Tentu saja, dengan pendapatan bulanannya, guru tak mungkin menyewa Trigana. Pilihan lainnya adalah lewat darat. Perjalanan darat bisa menggunakan jip atau sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Persoalannya, tak semua orang gembira melewati jalur darat. Musababnya, Tiom merupakan salah satu daerah rawan serangan kelompok separatis.
“Mobil polisi Papua pernah ditembaki oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka),” kata Andre Kirwel, warga asli Papua yang menjadi kontributor stasiun televisi swasta di Jakarta. Meski demikian, Andre menyebutkan daerah ini mulai aman. Sebab, ada ratusan aparat yang berjaga-jaga. Jika pun bertemu dengan anggota OPM, cukup diacuhkan saja.
Dari kejauhan, Tempo melihat sebuah bangunan seperti asrama, yang tinggal beberapa atapnya yang belum terpasang. “Kami sedang membangun sekolah dengan asrama,” kata Bupati Lanny Jaya, Befa Yigibalom. Sekolah asrama ini, ujar Befa, untuk menyiasati siswa yang rumahnya jauh dari pusat Kota Tiom, terutama siswa dari lereng Pegunungan Jayawijaya.
Selain asrama siswa, Bupati Befa berniat membangun perumahan khusus untuk guru, sehingga bisa mengantisipasi guru yang rumahnya jauh dari sekolah. Pemerintah daerah, kata dia, pun memberi insentif lain, berupa honor tambahan untuk membangkitkan minat mengajar di kabupaten yang tahun ini memiliki anggaran Rp 517 miliar itu.
Menteri Nuh harus segera kembali ke Wamena pada Sabtu menjelang petang itu. Ia meninggalkan harapan bagi Nisman dan kawan-kawan. Dari sekian janji Pak Menteri, Nisman paling bersemangat soal tambahan guru baru, sehingga tak ada lagi guru yang alpa mengajar. Sebab, cita-citanya hanya dua, “Saya ingin cepat lulus dan menjadi pendeta.”
FEBRIANA FIRDAUS | BC
Sumber; www.tempo.co