“Saya senang dibilang gila. Gila dalam tulisan saya.” Demikian
dikatakan penulis novel ‘Cinta Putih di Bumi Papua’, Dzikry el Han
mengawali bedah buku yang digelar di balai bahasa provinsi Papua, Sabtu
pekan lalu.
Bedah buku yang digelar sekolah menulis Papua menghadirkan dua
novelis perempuan dengan karyanya masing-masing. Aprilla R.A. Wayar
dengan karyanya ’Dua Perempuan’ dan Dzikry el Han dengan karyanya ‘Cinta
Putih di Bumi Papua’.
Dzirkry mengulas realitas sosial satu api tiga tungku dengan latar
cerita di Patipi, Fakfak, Papua Barat. Dengan menghadirkan tokoh utama
Atar, si pemuda muslim yang menghadapi gejolak, Dzikry akhirnya
menggambarkan cinta dan kedamaian. “Saya menulis apa yang saya lihat,
rasakan,” kata Dzikry.
Lain halnya dengan Aprilla. Emil, sapaan dia, menggambarkan realitas
ketertindasan perempuan Papua. Kekerasan, sejarah kelam dan pengalaman
traumatis atas budaya patriarkhi digambarkan begitu mendetail dengan
gaya bertutur khas jurnalisme. Namun demikian, cinta tokoh Yarid dengan
Altariagna digambarkan secara apik ala anak muda zamannya.
“Apapun yang saya pikir dan alami tentang Papua, semua ada dalam karya saya.Dua
novel saya temanya sama,” kata penulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar dan
Dua Perempuan ini. Ade Yamin, antropolog dari Sekolah Tinggi Agama
Islam (STAIN) Al Fatah Jayapura memberi apresiasi atas karya Emil dan
Dzirkry.
Yamin menyebutkan, budaya patriarkhi susah dicabut dari realitas
tentang Papua. Setidaknya tiga hal yang menarik dalam novel Dua
Perempuan dan Cinta Putih di Bumi Papua menurut Yamin. Kedua novel itu
menampilkan kecerdasan lokal tentang Papua. Selain itu, dua novel dengan
latar Papua itu mampu memindahkan realitas empiris yang penuh darah dan
duka ke dalam karyanya dan mampu membuat pembaca digiring ke dalam
kehidupan sehari-hari. Yamin menyinggung soal tiga kekuatan yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, seperti tradisi, pemerintah dan
pasar.
“Namun patriarkhi tunduk pada kemanusiaan,” katanya.
Thaha Al hamid, tokoh agama Papua menilai, novel dua perempuan
mengangkat tema yang aktual. Sebenarnya banyak fenomena yang dapat
ditulis mengenai Papua. Kegairahan menulis memang harus mulai
dibangkitkan mulai tingkat sekolah. Karena sering kali ada suara yang
tidak terdengar sehingga harus dimunculkan melalui tulisan.
Pihaknya mengapresiasi dan menyambut gagasan sebagaimana yang
ditelurkan oleh Sekolah Menulis Papua, apalagi dapat bekerja sama dengan
Balai Bahasa, karena ke depannya komunitas kepenulisan sangat
menjanjikan. Ia berharap bahwa suatu saat nanti segala sesuatu rahasia
yang disembunyikan di tanah Papua dapat ditulis sehingga terungkap.
Asma Buasape, Peneliti Bahasa dari balai bahasa Provinsi Papua memuji
idiosinkresi (ciri khas penulis: read), yang dimiliki kedua novelis
perempuan itu.
Kedua Novel ini sama-sama menggambarkan cinta dalam cerita yang
diperankan tokohnya dalam alur yang rapi. Cinta memang universal. Namun
lebih dari itu, Konfusius (551-479 SM), filsuf Tionghoa, dalam
literaturnya yang diterjemahkan Adam Sia, 2002, menyebutkan kasih dan
kebencian.“Hanya orang bijaklah yang membedakan kasih dan kebencian.”
Emil dan Dzikry mengekspresikan ‘kegilaan’ idenya bahwa konflik,
gejolak dan berbagai masalah berakhir dengan cinta dan kedamaian.
Thaha Al Hamid pun memuji keberanian dua novelis perempuan ini dalam
mengekspresikan kegilaan itu. Menurut Thaha, sejauh itu dituangkan dalam
hal-hal yang positif dan menginspirasi banyak orang, tak perlu
ditakuti.
Hal senada dikatakan novelis pertama Papua, Igir Al Qatiri. Ia merasa
bangga dan memberi apresiasi atas bertambahnya deretan novelis dan
penulis Papua dalam dunia sastra tulisan.
“Saya bangga. Setidaknya menambah referensi tentang (kebudayaan)
Papua,” kata penulis novel ‘Retak-Retak Cinta’, terbitan 2003
itu.(A/TTM/R2)
Sumber Asli: SULUH PAPUA, http://suluhpapua.com/read/2015/02/16/dua-perempuan-gila-bedah-buku/, diakses, 16 Februari 2015