Seandainya Shakespeare di Papua


Siang itu saya bergegas ke palabuhan di Jayapura, karena jam 15.00 WIT KM Ngapulu akan tiba. Di dekat lampu merah Abe, sebuah taxi L 200 sedang parkir menunggu penumpang. Di depan masih kosong, saya membuka pintu dan masuk.

Setelah penumpang penuh, taxi mulai melaju perlahan. Di samping saya duduk seorang bapak, rambutnya mulai memutih, dengan garis-garis waktu yang mulai nampak menghiasi wajahnya.

"Anak mau ke mana ka?" tiba-tiba Paitua itu bertanya pada saya.

"Sa mau ke pelabuhan ada kapal masuk jadi!"

"Ini hari apa ka?"

"Hari Rabu, Bapa"

"Ohh iyo, hari kapal putih masuk, baru anak dari?"

"Sa di Abe, bapa, tinggal dekat di Lingkaran"

“Di sebelah mana?”

“Di jalan Biak, Bapa!”

“Ohh kalau begitu anak kenal Rumbiak, dan di sebutlah sejumlah nama.”

“Iyo kenal, tapi booo banyak sampe, macam Bapa mau absen ka ini”

Kami pun tertawa

“Bukan absen, tapi bapa kenal dorang”

“Wah, Bapa bisa kenal dorang tuhh bagaimana?”

“Dulu Bapa suka main di lingkaran, gabung deng RELISA (Remaja Lingkaran Setan Abe), jadi banyak kenal orang dong di sekitar lingkaran. Juga tong kan sedikit, jadi sebut fam atau marga saja langsung kitong tau. Mungkin kalo anak dorang yang sedikit susah, tra baku kenal sodara, nanti sebut baru bilang ooo, itu sa pu sodara.”

“Iyoo betul bapa, nanti kalo orang tua dong kastau baru tong tau, kalo tra kasi tau, tong tra tau”

“Anak, kalau dulu, orang turun dari kapal, dorang tanya, permisi, kenal paitua fam ini yang tinggal di Waena? Itu langsung tong jawab, ohh de pu rumah ada dekat jalan SPG. Atau sebaliknya orang datang dan tiba di bandara baru dong tanya, itu cepat kitong jawab. Tapi sekarang nih sudah sedikit susah, su tambah banyak anana muda jadi, banyak yang su tra kenal.”

“Bapa tinggal di mana?”

“Bapa di Waena Kampung, pigi saja tanya mana paitua kumis pu rumah, nanti dong kasi tunjuk”

“Hahahahahaha, ya... ya...” saya tertawa menjawabnya.

Taksi tua di depan kami kentutnya gelap sekali, sudah tua tapi masih dipakai beroperasi, saya menghindarinya dengan menahan nafas sambil melihat pemandangan indah. Hamparan teduh teluk Youtefare. Satu, dua perahu nelayan berada di tengah-tengah hamparan percikan buih-buih ombak.

Keindahan itu di lenyapkan paitua kumis, ia menepuk bahuku pelan sambil berkata, “Anak, di Papua, setiap orang punya identitas, ciri fisik, dan yang utama itu fam atau marga. Dari situ akan diketahui, seseorang berasal dari ken, keret atau bahkan dari suku mana. Fam itu merupakan salah satu identitas yang paten, fam bisa menunjukan kampung karena famnya sama dengan nama kampung. Anak, setiap konflik dalam suku bisa di selesaikan dengan damai, tapi konsekuensinya, yang berbuat salah pasti akan malu dan ia akan keluar dari kampung, dan dia akan mengubah famnya. Entahlah, ini mungkin sudah hukum alam di Papua”

“Ahh, Bapa jadi fam itu tidak sembarang ka?”

“Betul sekali anak!”

“Andaikata Shakespeare pernah ke Papua, maka dia tidak akan membuat pernyataan, apalah arti sebuah nama!”

“Bapa juga tau Shakespeare?”

“Hahahahahahaha, tau to, anak kitong juga belajar, nama lengkapnya William Shakespeare, sastrawan Inggris lahir 26 April 1564 karyanya banyak yang melegenda seperti, Romeo and Juliet, Hamlet, Julius Caesar dan lain-lain.”

Adooh, saya jadi malu, tak di sangka, paitua ini juga penggemar Shakespeare.

“Dulu, tahun 1980-an, di RRI Jayapura ada acara khusus untuk puisi, siapa saja boleh mengirim puisnya, Bapa tertarik, dan belajar tentang puisi. Pernah sekali waktu Bapa nonton film teater karya Shakespeare”

“Pasti bagus sekali” pikirku bergumam.

“Anak jangan bicara kumur-kumur”

“Ahh, trada Bapa”

“Waktu puisi sering di bacakan dalam acara RRI itu, hampir tiap minggu bapa kirim puisi.”

“Memang Paitua ini juga tra kosong, tua-tua baisi, hahahahahaha.......”

“Anak begitu suda, antara Shakespeare dan Papua, jadi jangan main-main dengan fam, itu bisa bakalai rame, tapi tratau eee dengan anana sekarang dorang, mungkin fam itu su tra pu arti lagi ka apa? Bikin kelakuan tra baik pasti nanti orang dong bilang ooo, itu fam ini atau itu dong dari kampung sana, fam di bawa sampe mati”

Sekian dulu, jika kurang pinang, nanti tong tambah, hahahahahaha.......@Ibiroma Wamla

Foto; wikipedia