Dari Terhambur Menjadi Tanpa Tujuan

Proses belajar jaman Belanda
Siang itu sa duduk di para-para di samping ruangan yang unik dan penuh misteri, begitulah kata Wens Tebai. Saya asyik membaca berita di layar 14 inci laptop Core i3 yang berada di atas meja yang terbuat dari batang pohon mangga.

Wens datang dan duduk di samping saya, wajahnya penuh keringat, dan tampak lelah, tapi senyum khasnya tetap melakat.

“Ko dari?” tanya saya.

“Dari kampus, selesai konsultasi skripsi.”

“Ohh.” Kembali saya menatap layar.

“Kaka, tafiaro itu apa?”

“Tafiaro?

”Iya, yang biasa kaka tulis”

“Itu, bahasa Melayu Papua, tapi sudah jarang di pakai, makanya banyak anana sekarang yang tidak tahu!”

”Artinya?”

“Jalan sembarang, tanpa tujuan”

“Ohh”

“Iyo ade, sekarang banyak kosa kata Melayu Papua yang sudah jarang di pake, dorang lebih suka dengan kosa kata baru, tapi sayangnya, kosa kata baru itu kadang salah di tempatkan, salah penggunaanya.”

“Adooh, itu lala”

Hahahahaha, kami pun tertawa.

“Tafiaro kalau di kalau dalam bahasa Jawa, mbambung, kalau bahasa Byak itu muramuma, atau tapaleuk dalam bahasa Timor. Sebenarnya, tafiaro itu artinya terhambur dalam kosa Minahasa, coba ko cek dalam kamus bahasa Manado karya Yopi Tambayong, pasti ada. Tapi sa tra mengerti akhirnya tafiaro berubah makna menjadi jalan tanpa tujuan atau jalan takaruan. Entahlah mungkin karena jalan takaruan itu seperti terhambur? Sa juga tidak tahu. Ohh yo, yang sa maksud dengan tafiaro di tulisan itu, sama. Jalan sembarang, trus tulis yang sa dengar dan lihat, itu saja.” cerita ku pada Wens yang serius mendengar.

“Aeeh, panjang sampe”

“Jii, iyoo too, memang bahasa Melayu Papua punya sejarah panjang, hampir sama umur dengan di mulainya perubahan di Papua. Coba ko banyangkan, di tahun 1800-an itu sudah di sepakati bahwa bahasa Melayu Papua sebagai bahasa pengantar di Papua, jauh sebelum pemuda Indonesia dorang mendeklarasikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Itu di lakukan untuk mempermudah guru-guru yang di datangkan dari Minahasa dan Maluku untuk mengajar. Dan itu pula yang mendekatkan banyak kosa kata Melayu Papua yang ada juga di dua daerah tesebut. Tapi ada juga yang bilang, itu paitua Gorys Keraf, bahwa Melayu Papua itu lebih dekat ke Melayu Larantuka di Timor.”

“Oooo.....”

“Yooo ooo itu bulat”

“Hahahahahaheeeeee” Wens tertawa terpingkal-pigkal.

“Cerita lanjutnya nanti tong tunggu ahli bahasa dari kampus Uncen atau Unipa kasi penjelasa eee”

Sekian dulu, pinang habis jadi, tong pigi cari dulu.....@ Ibiroma Wamla

Foto; KILTV