Tentang Perpuisian

foto; google souce
Oleh Hermann Hesse
 
Ketika saya berumur 12 tahun, kami suatu hari membaca sebuah puisi pada buku bacaan di sekolah, saya pikir judulnya "anak laki keluarga Speckbachers" (Speckbachers Soehnlein). Puisi itu mengkisahkan tentang bocah laki yang pemberani, dia di tengah hujan peluru dalam medan peperangan berani menghunuskan pedangnya atau berperan sebagai pahlawan. Kami sebagai bocah kecil tentu kagum, namun gurunya bertanya dengan nada sindiran kepada kami; "Apakah itu puisi yang baik" ?. Di kelas itu semua murid teriak kompak; "Ya". Guru itu menggelengkan kepala dengan senyum sinis: "Tidak". Dia benar, bila puisi tersebut tergantung selera dan aturan menurut seni dan waktunya tidak bagus, tidak indah, tidak asli, itulah kekuatan karyanya. Meski demikian untuk kami yang masih bocah tetap membuat kekaguman yang luar biasa.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya saat berumur 20 tahun, saya tak pernah mempercayai setiap puisi lagi. Hanya membaca sudah bisa mengambil kesimpulan apakah puisi itu baik atau jelek. Masalahnya tak segampang itu, hanya membaca keras baris pertama sepintas saja sudah di anggap cukup.
Dengan berjalannya sang waktu, beberapa puluh tahun lagi, banyak puisi yang berseliweran di depan mata, namun luput dari perhatian dan sampai sekarang saya pun masih belum klar, bila seseorang menunjukkan sebuah puisi pada saya dan harus saya katakan, apakah puisi itu berbobot atau tidak. Sering puisi di tunjukkan saya dari kalangan anak muda, agar saya memberi penilaian dan supaya bisa mencari penerbit. Dan selalu penyair muda mengagumkan dan juga mengecewakan, jika mereka tahu, sahabat-sahabat yang lebih tua telah menganggap pengalaman, bukan sebuah pengalaman, melainkan sebuah kebimbangan pada kertas perpuisian tentang kwalitasnya tak mau meyakininya.

Apa yang saya alami ketika berumur 20 tahun, selama dua menit yaitu dengan penuh rasa keyakinan, bila saya menghadapi kesulitan, bukan hanya kesulitan yang bertambah, namun menjadi suatu yang tak mungkin. Meskipun demikian, "Pengalaman" itu merupakan sebuah hal, dimana orang bilang berasal dari masa mudanya, pengalaman itu harus benar-benar keluar sendiri secara total. Tapi itu tak akan muncol dengan sendirinya. Ada orang-orang yang memang punya bakat menemukan pengalaman, mereka punya pengalaman bahkan sejak di bangku sekolahnya, kalau tak dari belaian kasih sayang ibunya, tentu dari faktor lain, dalam hal ini saya termasuk di dalamnya, orang yang bisa hidup 40 tahun atau 60 tahun atau 100 tahun dan akhirnya mati, tanpa hak mempelajari dan memahami, apa artinya "Pengalaman" sebenarnya sekarang.

Keyakinan saya dalam menilai perpuisian, seperti ketika saya berumur 20 tahun berdasarkan cara-cara yang saya dulu paling sukai pada sejumlah penyair dan puisi, yang setiap buku dan puisinya langsung dibandingkan dengan mereka. Apakah karya mereka mirip, itulah yang baik, hal lain tidak penting.

Sekarang saya juga menyukai beberapa puisi khusus saya, beberapa diantaranya juga mirip dengan jaman dulu. Tapi sekarang saya membenci puisi-puisi yang kebanyakan bercorak tak meyakinkan, langsung saja saya tegur penyairnya.

Saya tidak akan membicarakan penyair-penyair dan perpuisian pada umumnya, melainkan hanya dari sisi "buruknya", yaitu yang sering dialami setiap orang, kecuali penyairnya sendiri, tanpa memandang kemampuan, kekurangan dan keperluan. Sejalan dengan berjalannya sang waktu, saya tak sedikit telah membaca puisi jenis ini, dulu saya pun cukup menyadarinya,bila puisi-puisi itu jelek dan kenapa puisi itu jelek. Sekarang saya benar-benar tak yakin lagi. Keyakinan dan pengetahuan yang saya miliki, seperti setiap kebiasaan dan setiap pengetahuan, suatu saat akan menunjukkan kebimbangan, kebosanan, kering, tak hidup, ada rongga kosong, yang memberontak, berseberangan dengan saya, yang akhirnya tak ada pengetahuan lagi, melainkan hanya sesuatu yang hidup terus, sesuatu yang terletak di belakang saya dan saat nilai-nilai itu muncul lagi sudah tak saya ketahui lagi.
Sekarang pada perpuisian begitu sering yang saya rasakan, bahwa saya yakin merasakan "kejelekan" untuk menakar lebih rendah, dan memujinya, bila itu bagus, sering prasangka terbaik saya itu muncul.

Hal itu sebagai perasaan kewajaran saja , apakah mereka itu profesor atau pegawai pemerintah atau orang sakit jiwa; orang tahu persis pada tabiatnya dan yakinlah, bila pak pegawai pemerintah itu juga sebagai warga yang punya keterbatasannya, sebagai anak Tuhan yang legal, sebagai anggota umat manusia yang berguna, sementara orang sakit gila mengundang rasa iba, orang sakit harus menahan sakitnya, yang membangkitkan rasa kasihan, namun tak ada harganya lagi. Tapi datanglah hari atau berjam-jam, bila orang tak biasa bergaul dengan profesor atau dengan orang sakit gila, sehingga muncul perasaan tiba-tiba bertentangan: kemudian yang nampak adalah kebimbangan dalam kesunyian, dalam kebahagiaan, dalam pencerahan, seorang anak kekasih Tuhan, penuh rasa keceriaan, dan dalam keyakinannya penuh kepuasan - profesor atau pegawai pemerintah tidaklah sangat diperlukan, dari karakteristik yang sympati, dari figur yang tak alami atau tak ber kepribadian atau dari 12 dosen lainnya.

Hampir saja saya pasrah pada kesabaran dengan puisi-puisi yang jelek. Tiba-tiba mereka menampakkan diri tak begitu jelek, tiba-tiba juga memancarkan aroma harum, sebuah keistimewaan, kekanak-kanakan, juga muncul kelemahannya dan kesalahannya adalah membaur menjadi satu, adalah asli, adalah indah dan mengagumkan dan dari proses ini akan menjadi puisi yang terindah, yang orang akan terpesona, sedikit mentah dan terbujuk.

Kadang-kadang penyair muda kita, kita melihatnya terpengaruhi atau mirip karyanya, sejak era ekpresionisme: pada umumnya mereka mencipta tak ada yang "baik" atau karya yang "indah" lagi. Mereka pikir mencipta puisi yang indah sudah cukuplah, dan mereka sendiri sebenarnya tak melahirkan apa-apa yang bisa sebagai pijakan di bumi, terus saja baris-baris indah diselesaikan dan mulai bermain dengan sabarnya meniru-niru generasi pendahulunya. Mereka lalu beranggapan benar dan puisi-puisinya kadang tampak tercampur-aduk, sepertinya hanya sia-sia hanya menciptakan puisi-puisi yang "jelek".

Dasarnya adalah ya mudah mencipta saja. Sebuah puisi adalah dalam existensinya kadang benar-benar jelas. Suatu yang explosif, suatu yang mengundang-ngundang, suatu yang berteriak, suatu yang mengeluh, suatu yang memberi isyarat, suatu reaksi atas jiwa yang hidup, berpadu dengan sebuah pendidihan, dengan pengalaman-pengalam untuk menghindar atau sadar justru untuk mencari.
Ini yang pertama, sebagai pendahulu, mempunyai fungsi terpenting adalah tak ada puisi yang bisa dinilai. Kemudian pembicaraan selanjutnya di tujukan kepada penyairnya sendiri, adalah kelonggarannya bisa bernafas, jeritannya, impiannya, senyumnya, pembungkusnya. Siapa yang ingin menggerakkan impian malam manusia ke dalam nilai estetika lewat tangan dan kepalanya, gerak-gerik dan cara-cara pada tujuan yang wajar dan bernilai ? Itu bagaikan orok bayi, yang ibu jari dan jari kaki tersumbat di mulutnya, dia lakukan begitu pintar bagaikan penulis, yang memegangi gagang bulu pena mengerat, atau burung merak yang membentangkan ekornya. Tak ada diantara mereka bisa mencipta lebih baik dari pada yang lainnya, tak ada hak yang lebih, tak ada yang kurang.

Kadang yang terjadi sekarang, bila sebuah puisi bisa membebaskan dan menggemaskan penyairnya sendiri, juga menyenangkan dan menggerakkan orang lain, itu sebuah kenyataan. Anggap saja itu sebuah kasus, jika benar apa yang menjadi idiom tentang kebersamaan banyak manusia, dengan berbagai kemungkinan. Tapi umumnya tak ada jalan lain.

Disini awalnya sekarang sebuah pemikiran yang berantai. Karena puisi-puisi indah dicipta oleh penyair dengan mempesona, oleh karenanya sekarang makin banyak dicipta puisi-puisi ke dunia, yang mana puisi-puisi itu tidak sebagai keharusan keindahan yang tidak diketahui lagi dari mana asalnya, rimbanya, juga fungsi spiritualnya. Puisi-puisi ini dari awalnya dicipta untuk orang lain, untuk pendengar, pembaca. Mereka ini bukan lagi jiwa impian atau jejak tarian atau reaksi-reaksi pengalaman, wajah impian yang tertumpuk, atau mantera, isyarat kearifan atau seringai sebuah kesalahan belaka. Mereka adalah benar-benar karya, produksi, bagaikan manisan untuk publik. Mereka telah dibuat, disebar luaskan dan dijual dan dari pembeli untuk menghibur atau mengangkat atau bahkan melenyapkan kenikmatan. Dan pada jenis puisi ini mendapatkan dukungan. Dalam hal ini orang lalu tak bisa mencampur adukkan antara keseriusan dengan kecintaan. Dari mereka tak akan dilakukan dan digetarkan, melainkan orang harus dapat meramu kecantikannya, kenyamanannya dan kemauannya.

Puisi-puisi indah ini sekarang kadang-kadang dapat nasib yang malang atau keraguan yang dialami secara kewajaran seperti profesor dan pegawai pemerintah. Dan kadang-kadang, bila dunia yang adil ini benar-benar kacau, sehingga orang punya arah, lampu-lampu di rusak dan candi untuk di bakar dan puisi-puisi klasik yang suci untuk dinikmati dalam hari-hari yang sedikit kena sensor, kena sunat, namun terlalu diterima, terlalu di timbang-timbang dan terlalu di nina bobokan. Lalu orang menghubungkannya pada yang jelek, meskipun tak jelek benar.

Tapi disini perlu bersabar pada kekecewaan. Membaca puisi jelek adalah sangat cepat merasa puas, orang dibuat nikmat olehnya. Tapi untuk apa dibaca? Bukankah setiap orang bisa mencipta sendiri puisi jelek ? Orang mencipta dan akan tahu, bila orang bisa mencipta, meskipun jelek itu masih lebih beruntung, dari pada membaca puisi yang terbagus.




Catatan; Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di situs bumumanusia.or.id

Posting Komentar

0 Komentar