Foto; www.panoramio.com |
Ini lah yang membuat Petrus Wenda gerah. Menurutnya, pemuda di kampungnya selalu ingin cepat mendapatkan uang dari berladang. Padahal, berladang adalah sebuah kebutuhan, tegas Petrus. “Kami tua-tua ini yang kerja setengah mati. Mau babat, pemerintah itu kasih uang lebih-lebih. Tanam kopi, kasih uang lebih. Terus..bikin sawah kasih uang lebih juga. Sekarang tidak kasih, rumput tinggi semua. Tidak mau kerja. Pemerintah Kabupaten Wamena, betul-betul ditangani,” keluhnya.
Oleh sebab itu, dia mengajak masyarakat Pegunungan Jaya Wijaya kembali mengolah dan menanam penganan utama itu. Menurut dia, dari ladang lah sebuah penghidupan bermula. “Semua dikembalikan ke sini, Kampung masing-masing, desa masing-masing. Tidak menanam tanah ini kita bisa mati. Jadi ikuti, tidak akan mati. Seumur hidup. Bakar, masak kami makan bisa bikin kita kuat kerja.”
Melihat kondisi seperti itu, Manager Program Pengembangan Usaha (EDP) Oxfam di Papua, Rio Albert Pangemanan mengaku prihatin. Dia menilai, minimnya minat pemuda itu bakal berdampak terhadap turunnya produktifitas pertanian ubi khususnya di Pegunungan Jaya Wijaya. “Ini yang menjadi permasalahan di sini. Produktifitas pertanian menurun, karena otomatis tenaga kerja yang bekerja di kebun itu hanya yang tua-tua saja. Sedangkan yang pemuda, kalau boleh dibilang agak gengsi kalau bekerja di kebun atau jadi petani. Mereka memilih tinggal di kota, jadi tukang becak atau cuma mondar-mandir saja. Lebih menyatu dengan kehidupan kota, lebih disentuh dengan modernitas,” paparnya.
Di tengah kondisi kaum muda yang sungkan bertani, beras impor terus membanjiri pasar di Papua.
Bersambung
Sumber; http://portalkbr.com
0 Komentar