Mamaku Korban Revolusi


Kartunis : Lissa Belandina Yeimo

Suva,1/7 (Jubi)- Pagi itu mendung. Perang revolusi rimba meletus. Para pria berkaki telanjang yang  mencintai hak milik dan kehidupan membanjiri jalanan kota. Adu ego dengan yang bar-bar dan tangan jahil. Pertempuran sangat sengit. Letupan-letupan meriam sangat ramai.

“Pukul mundur! Manfaatkan peluru yang ada! Lahir satu kali,  mati pun satu kali! Lawan! Lawan! Lawan…! ”terikan-teriakan terdengar dari arena pertarungan.

Anak-anak dan ibu panik lari berhamburan mencari perlidungan. Terjadi perpisahan anak dan orang tua. Anak kehilangan ayah-ibu. Ibu kehilangan suami dan anak. Nyawa suami taruhan dalam revolusi.

“Sayang, musuh sudah dekat, letupan bedil makin ramai.  Cepat lari! Kita sembunyi di semak-semak sana…” tutur ibunda kepada Mata.

Mata yang baru berusia 3 tahun itu tidak mengerti yang sedang terjadi. Ia berusaha berlari dengan arahan Ibunda.

“Mama itu bunyi petasan ka, sa mau nonton orang main petasan,” tutur Mata kepada Ibunda, ia teringat  letupan petasan menyambut Natal dan Tahun Baru enam bulan lalu di jalanan kota.

“Sayang, ada yang sedang menembak orang sampai mati. Mereka sedang mengarahkan tembakan ke kita juga. Kita mau sembunyi.  Jadi cepatlah berlari! ”tutur Ibunda.

“Mama saya takut….,” tutur Mata menyadari kalau kehidupannya sedang terancam, lalu memeluk Ibunda yang sedang panik dan gemetaran itu.

Ibunda memeluk dan mengendong Mata, lalu berlari di semak-semak menuju rimba mengejar yang lebih dulu lari.

Gemuruh bedil, peluru-peluru berhamburan, mematahkah ranting-ranting hingga terjatuh menghalanggi jalanan. Asap mesiu bedil menutupi jalan kota, menyebar ke seluruh sudut kota menjadi gelap.

Awan hitam mengupal. Hujan pun turun membasasi luka-luka-luka bekas bedil, membersihkan tubuh-tubuh yang terbaring berlumuran darah.

“Mama sakit….mata perih…! ”teriak Mata, saat  tertimpa ranting pohon. Matanya perih karena terkena gas air mata yang dilepaskan ke udara.

Ibunda cepat mengatasi ranting dan menutup mulut Mata.

“Aduh, perut saya,”tutur Ibunda sambil mengerutkan dahi lalu duduk bersila sambil mengendong Mata, di bawah pohon yang tidak jauh dari ranting pohon menimpa Mata.

“Mama juga sakit ka…”tanya Mata.

Mama menatap Mata dan meneteskan air mata.

“Mengapa Mama menangis?”

“Sayang,  Mama mungkin tidak bisa membawamu lari. Mama sudah tidak kuat, kehabisan tenaga. Mama hanya berharap ada yang menolong. Berharap kaka Nona yang sudah lari ke hutan bisa datang mencari dan pergi memabwamu ke rimba,”pinta Ibunda.

“Mama mau ke mana?” tanya Mata sambil menatap.

Mata menyaksikan baju dibawa ketiak mama berlumuran darah. Mata ketakutan dan terdiam.

“Anakku, mama sayang. Mama tidak akan meninggalkanmu. Sayang, Kaka Nona ada jemput,”pinta Ibunda sambil menyaksikan putri sulungnya yang muncul dari semak-semak rimba.

Putri yang sudah mandi keringat, hebusan nafas tidak teratur itu berhenti dan tersentak kaget memegang dada.

“Aduh, Mamaku sayang…”tuturnya, lalu memeluk.

“Apakah mama masih kuat?”tanya putri sulung.

“Sayang, kamu butakah? Sudah tidak perlu tanya banyak. Musuh semakin dekat. Kamu bawa lari adikmu baik-baik ya…kalau mama masih kuat, akan kejar dari belakang, sampai jumpa”pintanya, lemas.

Putri sulung tidak menahan haru. Air mata mengalir bersama hujan yang makin deras dan membersikan darah Ibunda yang mengalir di bawa telapak kakinya.

“Mama kita pergi dulu ya…”ujar Mata menatap mamanya yang tidak bedaya di bawa pohon itu, lalu pergi bersama kaka Nona menyelamatkan diri dari kejaran sang pemilik bedil.

Ketika meninggalkan mama, Mata mulai memahami kondisi mama. Mama kena tima panas bedil yang ditembakkan.

“Kaka Nona…Mama jadi korban Revolusi. Kalau saya besar, saya pasti bisa mengendong Mama lari ke hutan, kita pasti selamat,”tutur Mata sambil berlari di depan kakanya.

Mama menyaksikan Mata bersama kakanya berlarih menghilang ke hutan rimba yang tidak mungkin musuh mengejar atau sang penjilat darah pasti mengerjarnya.

“Nasib mereka masih antara. Saya harap musuh tidak mendapati mereka demi ahli waris negeri ini. Saya sudah tua, tidak papa kalau tidur untuk selemanya,”pintanya pasrah.

Ibunda berusaha berdiri membersihkan darah yang terus mengalir dari lambungnya,  namun rasa sakit akibat air hujan membuatnya makin tidak berdaya.

Matanya mulai kunang-kunan tidak berkosentrasi pada lukanya. Letupan senapan terus terdengar. Sentakan kaki mendekati Ibunda yang lemas.

“Biarkan tua keriput itu sudah mau mati. Kita kejar yang masuk ke hutan,”perintah kepala pasukan, menggarahkan pasukannya.

“Komandan masih segar itu. Dadanya masih kencang,”tutur salah satu perajurit sambil memperhatikan dada Ibunda yang masih polos itu.

“Kok sudah tembak saya mau perkosa lagi Ka?”tutur Ibunda.

“Saya harap Mata dan Putri sudah lari, sembunyi di tempat yang tidak mungkin orang-orang ini kejar lagi. Kalau dapat, tamatlah sudah, riwayat orang-orang pemilik negeri. Rohku akan mengejar dan melindunggi mereka,”gumam Mama, menyaksikan para serdadu yang sedang berlari, lalu, Ibunda menarik dan mengembuskan napas terakhir.

Ayoh cepat, kita kejar yang lari masuk ke hutan. Jangan membiarkan pemberontak itu masuk ke hutan. Kita harus tumpas kelompok yang terus merong-rong kekuasaan ego jahil kita ini!”teriak kepada pasukan terus mengarahkan pasukan.

Pasukan bedil masuk ke hutan mengejar Mata dengan kaka Nona menghilang. Entah ke mana mereka. Rimba menjadi harapan pelindung hidup. Hidup bersama rumput dan daun. (Jubi/Mawel) 




Tulisan ini sebelumnya dimuat di tabloidjubi.com, Tulisan ini dimuat kembali berdasarkan persetujuan penulis...!

Posting Komentar

0 Komentar