Oleh; Ester Lince Napitupulu
DONGENG, bukan sekadar pengantar tidur. Di sebagian masyarakat, dongeng
atau cerita rakyat sering kali bernilai pendidikan, pesan moral, atau
norma bermasyarakat yang harus dipatuhi bersama. Cara penyampaiannya
memang sederhana agar mudah dicerna dan bisa dilaksanakan masyarakat.
Di
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, misalnya, sudah lama berkembang
cerita rakyat tentang gurita dan putri duyung. Cerita atau dongeng ini
sangat pas dengan alam lingkungan Wakatobi yang keindahan lautnya sudah
tersohor ke seluruh dunia.
Pada dongeng gurita, diceritakan
masyarakat boleh memakan gurita berkaki tujuh, tetapi tidak boleh
merusak ”rumah” gurita. Jika larangan ini dilanggar, masyarakat akan
mengalami bencana hingga anak, cucu, dan turunannya nanti.
Jika
dicermati, dongeng ini mengandung makna, masyarakat boleh mengonsumsi
gurita, tetapi tidak boleh merusak terumbu karang yang menjadi tempat
hidup gurita. Begitulah orang-orang tua dulu mengajarkan perlunya
menjaga lingkungan dengan cara yang sederhana. Berkat dipatuhinya cerita
ini, terumbu karang di Wakatobi hingga sekarang masih terpelihara
dengan baik.
Begitu pula dengan dongeng putri duyung.
Diceritakan, ada seorang ibu yang saking cinta kepada anaknya, dia
memberikan ikan yang semestinya untuk hidangan suaminya yang kikir.
Untuk mencari ikan pengganti, ibu itu mengarungi laut sehingga tubuhnya
bersisik dan menjadi putri duyung. Meski duyung berbeda dengan
lumba-lumba, masyarakat Wakatobi hingga sekarang tidak berani berburu
lumba-lumba yang diyakini perwujudan kasih sayang ibu.
Kekayaan budaya
Ada
banyak cerita atau dongeng di masyarakat yang berisi kearifan lokal.
Selain berisi ajaran hubungan manusia dengan manusia, banyak pula yang
berisi ajaran hubungan manusia dengan alam atau manusia dengan Tuhan.
Cerita rakyat hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak ragam
tradisi lisan atau tuturan yang yang berkembang di masyarakat dan
menjadi kekayaan budaya di negeri ini.
Laode Masihu Kamaluddin,
pakar ekonomi kelautan yang menjadi pembicara pada seminar internasional
”Tradisi Lisan Nusantara VI” dan Festival Tradisi Lisan Maritim yang
digagas Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi pada
awal Desember, mengatakan, cerita rakyat seharusnya bisa dimanfaatkan
pada masa kini untuk menggugah kembali nilai-nilai baik yang dibutuhkan
dalam hidup. Seperti dongeng gurita dan putri duyung, ada pesan yang
menonjol untuk menjaga terumbu karang sebagai tempat hidup biota bawah
laut.
”Lestarinya terumbu karang ternyata juga berdampak pada
pencegahan dampak perubahan iklim. Kenapa tidak, dongeng yang berkembang
di masyarakat pada masa lalu itu bisa diwariskan kembali kepada
anak-anak saat ini, baik di sekolah maupun di rumah,” kata Masihu.
Murti
Bunanta, ahli sastra anak-anak, mengatakan, untuk mewariskan tradisi
lisan yang hidup dalam masyarakat, jangan melupakan anak-anak. Untuk
itu, perlu dicari cara yang kreatif dan inovatif untuk membuat cerita
rakyat itu menarik di hati anak-anak.
Lewat buku-buku dongeng,
buku cerita bergambar, teater, pertunjukan boneka tangan, dan
sebagainya, tradisi lisan bisa diwariskan kepada generasi muda dengan
cara yang dinamis dan hidup. Pewarisan bukan hanya sekadar membuat
cerita rakyat asli Indonesia itu eksis, melainkan juga yang terpenting
adalah pewarisan nilai-nilai dan budaya dalam masyarakat yang arif untuk
kelangsungan hidup bersama.
Sayangnya, tradisi lisan Nusantara,
seperti dongeng, puisi, syair, pantun, dan teater, justru semakin
berjarak dengan masyarakat. Bahkan, seorang guru Bahasa Indonesia di
salah satu SMP di Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, tidak mengerti
bagaimana memanfaatkan tradisi lisan itu dalam pembelajaran di kelasnya.
Lagi-lagi
soal kekayaan cerita rakyat, misalnya, bisa saja dipakai untuk
pendidikan multikultural yang bisa mendidik dan menyiapkan anak-anak
Indonesia yang sejak lahir hidup dalam komunitas multietnik ini untuk
hidup berdampingan dengan baik. Pendidikan multikultural yang membangun
sikap toleran dan menghormati perbedaan tak perlu dicari dari luar,
tetapi dari tradisi lisan yang ada dalam masyarakat Indonesia sendiri.
Mahyudin
Al Mudra, Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu,
mengatakan, relevansi cerita rakyat sebagai sumber global di tengah
pluralisme budaya terletak pada kemampuannya mengomunikasikan tradisi,
pengetahuan, dan adat istiadat etnis tertentu atau menguraikan
pandangan-pandangan manusia dalam dimensi perseorangan ataupun dimensi
sosial kepada etnik lain.
”Atas dasar itu, kita perlu
menegosiasikan cerita rakyat sebagai warisan lokal dengan yang global
melalui penyesuaian-penyesuaian sehingga tradisi lisan itu menjadi
produk budaya yang dinamis,” ujar Mahyudin.
Bentuk buku
Pemanfaatan
cerita rakyat untuk pendidikan multikultural anak-anak itu salah
satunya dalam bentuk penerbitan buku dogeng bertajuk 366 Cerita Rakyat
Nusantara. Dengan kemasan buku menarik dan berilustrasi setebal 1.008
halaman, buku terbitan Alita Karya Nusantara itu mengumpulkan cerita
rakyat dari 33 provinsi dengan tujuan mengajak anak-anak memahami
multikulturalisme dalam kehidupan bersama.
Dalam pandangan
Mukhlis PaEni, staf ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, tradisi
lisan merupakan salah satu deposit kekayaan bangsa untuk unggul dalam
ekonomi kreatif. Karena itu, pelestarian dan pemanfaatannya harus dapat
dikembalikan bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Asosiasi
Tradisi Lisan (ATL) memandang tradisi lisan sebagai warisan budaya yang
dapat dijadikan sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami lebih
jauh masyarakat dan budaya mereka. Tradisi lisan di sini tidak hanya
mencakup sastra lisan, seperti mite, legenda, dongeng, hikayat, mantra,
dan puisi, tetapi juga menyangkut sistem kognitif masyarakat, seperti
adat istiadat, sejarah, etika, obat-obatan, sistem geneologi, dan sistem
pengetahuan yang dituturkan secara turun-temurun di Nusantara.
Pudentia,
Ketua Umum ATL, mengatakan, perjalanan ATL selama 15 tahun ini
menemukan bahwa penguatan tradisi lisan haruslah selalu menyatu dengan
penguatan peran masyarakat pendukungnya. Berbagai kendala dihadapi dalam
pengembangan dan penguatan tradisi lisan.
Kendala tersebut
antara lain belum siapnya kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat,
keterbatasan biaya, waktu yang relatif singkat yang nyaris berlomba
dengan kematian, teknologi yang mengasingkan tradisi dari masyarakatnya,
serta menurunnya peran masyarakat dan keluarga dalam memelihara dan
mempertahankan warisan budaya. ”Kita harus mampu mengatasi kendala itu.
Apalagi, kita sepakat bahwa tradisi merupakan salah satu sumber utama
dan penting dalam pembentukan identitas dan membangun peradaban,” kata
Pudentia.
Sumber: Kompas, Senin, 22 Desember 2008
0 Komentar