Fernando saat di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat |
Saya pertama kali bertemu Fernando de Araujo atau Lasama pada saat perayaan Hari Natal di LP Cipinang Desember 1994. Saya mengikuti rombongan gereja yang dipimpin Ade Rostina Sitompul (Bu Ade). Tampak juga sosok perempuan bule, Kirsty Sword yang menemui Xanana Gusmao – juga untuk pertama kali. Saat itulah saya juga bertemu untuk kali pertama dengan Xanana, juga Kirsty, dan Joao Camara.
Saya membawa kamera pocket murahan yang saya selundupkan di kaos kaki saya. Saya berhasil mengelabuhi petugas yang sempat mengeledah saya. Beberapa moment penting saya abadikan secara sembunyi-sembunyi. Namum saat kamera beralih ke tangan Nando dan dia ceprat-cepret acara tersebut, petugas penjara mulai curiga. Karena itu saat saya mau keluar penjara itu, beberapa penjaga menggeledah saya dan menemukan kamera. Petugas itu tanpa ampun mengambil roll film (belum kamera digital dan belum ada kamera HP) dan menyerahkan kembali kamera ke saya, kamera tanpa film. Saya sangat menyesal karena moment pertemuan pertama dengan tokoh pejuang Timor Leste tak terdokumentasi. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.
Begitu bertemu dengan Nando saya merasa seolah sudah akrab. Seakan pernah bertemu sebelumnya untuk waktu yang lama. Mungkin Bonar Tigor Naipospos, aktivis Pijar yang pernah menghuni penjara bersama Nando, telah bercerita banyak tentang Pijar dan para aktivisnya. Coki, begitu Bonar Tigor Naipospos akrab disapa, menginisiasi Pijar menerbitkan buku pledoi (pembelaan) Nando di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nando tentu juga sudah mengetahui melalui Bu Ade bahwa saya dan Rachland Nashidik pada Mei 1994 menghadiri konperensi APCET (Asia Pacific Conference on East Timor) di Manila, Filipina. Saat itu banyak pihak di Indonesia - baik pemerintah, ABRI maupun partai dan ormas - menentang penyelenggaraan konperensi itu. Pemerintah Indonesia bahkan cukup berhasil menekan Manila agar peserta dari Indonesia diusir.
Tak banyak hal yang dibicarakan pada acara Natal yang sangat ramai waktu itu. Satu hal yang saya ingat, saya, Nando dan Xanana sepaham tentang perlu adanya upaya serius bagaimana membuat masyarakat Indonesia mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di Timor Leste.
Pada Maret 1995 saya diciduk polisi di Sekretariat Pijar di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saya dituduh menghina presiden melalui penerbitan Kabar dari Pijar edisi Juni 1994. Mulailah saya menjalani pemenjaraan selama dua tahun di lima penjara. Dari Rutan Polres Jakarta Pusat, lalu Rutan Salemba, LP Cipinang, dipindah ke LP Cirebon, dan terakhir di LP Subang. Saat saya bersama dua wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ahmad ‘Ate’ Taufik dan Eko ‘Item’ Maryadi dipindah ke LP Cipinang, kami jadi cepat akrab dengan Nando dan napol lainnya.
Di LP Cipinang selain ada trio Timor Leste saat itu juga masih ada Nuku Soleman, aktivis Pijar. Sementara di Rutan Salemba sejak setelah peristiwa 27 Juli 1996, sejumlah aktivis PRD ditahan di rutan ini.
Ada dua pengalaman menarik ketika saya membesuk kawan-kawan tahanan di Rutan Salemba dan LP Cipinang. Suatu saat ketika hari besuk di Rutan Salemba, ada seorang jurnalis TV bule – saya lupa dari TV mana - ingin mewawancarai Budiman Sudjatmiko. Jurnalis itu tak bisa masuk karena tak mengantongi izin. Cling, saya menemukan akal membantu jurnalis itu. Maka kamera film di dalam tas milik jurnalis tadi saya yang membawa. Saya sampaikan ke bule itu, masuklah 10 menit setelah saya. Di penjagaan depan semua diperiksa kecuali saya. Apa pasal? Karena saya sudah kenal dengan semua penjaga termasuk Kepala Rutan saat itu, Rozali. Kamera aman bisa masuk rutan.
“Bud, ini ada kamera jurnalis tv bule, kamu akan diwawancarai sekitar 15 menit, saya akan balik ke penjagaan lagi supaya wawancara lancar,” kata saya kepada Budiman. Dan semua beres. Sekitar sebulan kemudian terjadi heboh, wawancara dengan media asing tadi muncul di luar negeri yang membuat marah pemerintah terutama pihak Deplu. Usut punya usut konon para penjaga mencurigai dua orang: saya dan Nia Syafruddin, aktivis perempuan yang sering membesuk tapol dan napol.
Satu lagi cerita saat seorang aktivis Filipina pendukung kemerdekaan Timor Leste Gus Miclat ingin bertemu Xanana Gusmao. Saya sekali lagi menggunakan cara out of the box. Gus Miclat orang asing yang tak bisa menemui Xanana karena bukan keluarga atau pengacara. Saya menemukan akal agar Gus Miclak bertemu Gusmao. Beberapa jam sebelum ke Cipinang saya sibuk membuat kartu jurnalis palsu Kabar dari Pijar dengan fotonya, lengkap dengan nama baru, nama Jawa tentu saja. Saya hanya tegaskan ke Gus Miclat, “Dont speak any word in front of jail guard, you just smile.” Tipuan sukses Gus Miclat berhasil masuk dan bisa bertemu Gusmao.
Sebelum bebas murni Nando menjalani pembebasan bersyarat. Ia pagi hingga sore di luar penjara lalu senja dan malam kembali ke penjara. Selama di luar penjara ia sibuk di beberapa kantor, terutama kantor yang dikelola Bu Ade dan pak Gustaf Dupe. Kantor Pak Gustaf di jalan Salemba Raya dekat Perpustakaan Nasional atau samping Rumah Sakit Carolus. Di kantor ini sering diadakan diskusi informal bersama Nando dan beberapa tokoh lain seperti Mauhunu.
Setelah bebas murni Nando justru makin sibuk. Ia banyak melakukan konsolidasi organisasinya terutama Renetil. Bersama Mariano Sabino Lopes dan kawan-kawan mereka mencari sebuah rumah kontrakan untuk dipakai sebagai markas organisasi. Nando berpendapat markas itu harus di sekitar Cipinang. Pasalnya di LP Cipinang masih ada dua tokoh yang ditahan yaitu Xanana dan Joao. Supaya koordinasi antara yang di luar dengan Cipinang tak terlalu sulit. Agar lancar memperoleh rumah kontrakan yang ideal saya turun langsung mencari, menawar dan sekaligus menjamin KTP. Maklum pemilik rumah sudah mengenal saya. Tak jauh dari situ ada markas Yayasan Damar tempat mahasiswa dan alumni IKIP Jakarta, almamater saya, beraktifitas. Saya sering nongkrong dan menginap bahkan tinggal di situ. Markas itu berada di Jalan Pisangan Baru IX Jatinegara, Jakarta Timur.
Perubahan politik begitu cepat. Di Jakarta terjadi penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 14 Mei 1999. Peristiwa itu kemudian memicu kerusuhan masal yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya. Puncaknya, ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR dan pada 21 Mei 1999 Presiden Soeharto mengundurkan diri. Soeharto pergi Habibie mengganti.
Era Presiden Habibie ditandai dengan eforia kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Demontrasi yang sebelumnya seolah hanya milik mahasiswa dan aktivis, kini menjadi milik siapa saja. Saya masih ingat pada akhir 1998 saat terjadi Peristiwa Semanggi, saya dan rombongan aktivis Timor Leste dari markas Pisangan Baru – minus Nando dan Mariano – menjadi bagian dari ribuan peserta long march. Berangkat dari Jalan Salemba menuju gedung DPR/MPR lewat Jatinegara, Cawang dan Pancoran, namun menjelang Jembatan Semanggi sudah ditembaki tentara. Aktivis Timor Leste berjalan kaki sambil meneriakkan yel-yel Viva Timor Leste dan tak lupa membawa bendera RDTL warta merah, kuning dan hitam. Sungguh ini peristiwa yang langka dan mengharukan.
Pada awal era Presiden Habibie saya jadi yakin apa yang pernah disampaikan Xanana bahwa, “Perjuangan pro demokrasi Indonesia dan pro kemerdekaan Timor Leste, mempunyai tujuan yang berbeda namun musuh yang sama”. Selain itu, kawan-kawan aktivis Timor Leste juga makin menyadari bahwa pada Indonesia yang makin demokratis maka kemungkinan penyelesaian masalah Timor Leste akan kian dimungkinkan secara damai bukan dengan kekerasan seperti era orde baru.
Pada 30 Agustus 1999, dunia menyaksikan rakyat Timor Leste menentukan masa depannya. Rakyat Timor Leste dengan berani memilih merdeka. Saya termasuk sedikit orang Indonesia dan mancanegara yang beruntung menyaksikan hari bersejarah tersebut. Kerusuhan besar terjadi di Dili dan beberapa kota lainnya setelah PBB mengumumkan hasil referendum tersebut. Saya dan aktivis Solidamor lainnya yang berada di Dili sejak dua bulan sebelum jajak pendapat terpaksa mengungsi ke beberapa tempat yang aman, bahkan sampai menuju Bacau. Sempat mengalami beberapa penghadangan, akhirnya kami selamat sampai Kupang menumpang pesawat Hercules TNI AU yang dipakai untuk pengungsi.
Nando, Mariano dan Dr. Lucas da Costa serta tokoh lainnya padda 10 Juni 2001 mendirikan Partai Demokrat. Partai ini ikut serta dalam pemilu pertama yang bersejarah di negeri itu. Selain Partai Demokrat ada Fretilin, Partai Sosial Demokrat, Partai Sosialis Timor Leste dan lain-lain. Ketika musim kampanye pemilu tersebut, beruntung saya sedang berada di Maliana. Saya mendapat pekerjaan dari Internews, sebuah NGO di Bangkok untuk membantu membenahi media lokal.
Saya dapat informasi akan ada kampanye terakhir Partai Demokrat di Stadion Dili yang dihadiri Ketua Partai Demokrat Fernando Lasama dan calon presiden Xanana Gusmao. Tanpa pikir panjang saya menumpang kendaraan bak terbuka bersama massa Partai Demokrat dari Maliana menuju Dili. Saya menikmati perjalanan sekitar tiga jam melewati bukit-bukit dan pesisir pantai yang indah. Dili rupanya telah membiru, apalagi di sekitar Stadion Dili. Spanduk, baliho dan bendera serba biru bergambar simbol PD, Nando dan Xanana ada di luar dan di dalam stadion. Seorang freelance photographer Indonesia yang secara reguler bekeja atas penugasan untuk liputan utama bagi penerbitan terkenal dunia, seperti TIME Magazine, Newsweek, The New York Times, STERN, Der Spiegel, Business Week International dan banyak lagi, Kemal Jufri mengenali saya di atas kendaraan terbuka. Ia berteriak, “Hoi ada penyusup orang Indonesia,” teriak peraih World Press Photo 2010 itu sambil tertawa.
Dari panggung utama Stadion Dili, Xanana pidato berapi-api tentang kemerdekaan dan pentingnya pemilihan umum ini. Entah siapa yang membisiki, dia tahu saya ada di kerumunan yang tak jauh dari podium utama. “Kemerdekaan Timor Leste tak hanya diperjuangkan oleh para pahlawan kita yang gagah berani. Kemerdekaan kita juga didukung oleh masyarakat Internasional, termasuk orang Indonesia,” kata Xanana sembari melihat ke arah saya dan minta saya berdiri. Sungguh saya merasa terhormat berada di stadion saat itu.
Saya beberapa kali ke Dili usai referendum 1999. Baik selma dua bulan atau kunjungan singkat sekitar kurang dari seminggu. Setiap ke Dili saya selalu berusaha bertemu Nando. Namun tentu kadang tak bertemu, mengingat ia sibuk baik sebagai pemimpin partai atau pejabat negara.
Dalam beberapa pertemuan di Dili, termasuk saat ngobrol di rumah Nando, dirinya dan Lucas da Costa pernah meminta saya tinggal di Dili dan mengembangkan media di Timor Leste. “Ayolah Maubese kamu tingal di sini lebih lama biar urus media kita,” ujar Lucas da Costa yang senang memanggi saya dengan Maubese. Sewaktu beberapa kali bertemu di Jakarta, penampilan saya masih berambut gondrong dan senang saya memakai rompi. Mungkin Lucas da Costa langsung teringat gaya orang-orang Maubese. Jadilah saya dipanggil Maubese.
Nando kemudian menjadi Ketua Parlemen dan tetap memimpin Partai Demokrat. Saya jarang bertemu karena tak lagi sering ke Dili. Namun seingat saya, kami dua kali bertemu di Jakarta. Pertama saat saya mengantar Nando berkunjung ke kantor Partai Demokrat Indonesia yang saat itu dipimpin adik ipar Susilo Bambang Yudhoyono. Usai bertemu secara resme dengan Partai Demokrat, Nando melanjutkan nostalgia dengan mengunjungi kantor Solidamor di Pulo Asem, dilanjutkan dengan makan siang bersama dua kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Trimedya Panjaitan dan Pramono Anung, serta aktivis Solidamor Bonar Tigor Naipospos.
Pertemuan kedua saat Nando bersama anaknya yang masih kecil singgah dua hari di Jakarta sebelum berkunjung ke Amerika Serikat. Kami sempat mengobrol tentang Timor Leste maupun Indonesia di hotel tempat Nando dan keluarga menginap.
Sebenarnya saya telah lama mengetahui Nando sering sakit. Bahkan sejak masih di LP Cipinang ia sering menderita bermacam penyakit serius. Meski demikian di balik badan yang kurang sehat – dan tutur kata yang lembut - muncul kepemimpinan dan semangat perlawanan yang dahsyat. Ia mampu memimpin organisasi pemuda Renetil di masa Indonesia, dan memimpin Partai Demokrat di masa merdeka.
Bagi saya, Nando adalah orang Timor Leste paling dekat. Selain pernah tinggal bareng selama sekitar tiga bulan di penjara yang sama, LP Cipinang, juga setelah itu sering bertemu kerena mempunyai visi yang sama. Nando sangat akrab. Ia tak sungkan memnggil saya dengan “Jawa” tentu sambil bercanda. “Eh Jawa, kamu sudah makan belum, ayo makan. Itu anak-anak baru saja memasak. Ayo makan!” kata Nando. Ajakan makan itu tak hanya ketika saya berada di LP Cipinang, juga saat kami bertetangga kontrakan di Pisangan Baru, Jatinegara, Jakarta.
Saya sering membatin, sebenarnya yang nJawani itu ya Nando sendiri. Sebab penampilannya sangat “klemar-klemer” dan “lemah-lembut” meski dalam soal sikap dan keberanian ia sangat kuat dan tegar. Dalam beberapa kesempatan saya sering meledek Nando itu orang Jawa Leste. Penampilan seperti orang Jawa namun dalam sikap seperti umumnya orang Leste he he he.
Selamat jalan Nando. Kamu telah melakukan yang terbaik untuk Timor Leste. Jasamu akan selalu dikenang.
Yogyakarta, 20 Juli 2015
*Tri Agus S Siswowiharjo, pernah menjadi aktifis Pijar, saat ini menjadi dosen di STPMD “APMD”Yogyakarta
0 Komentar