Oleh I Ngurah Suryawan
Foto; Putri Kitnas Inesia |
“Ko tra tahu apa yang tong
alami. Indonesia dorang hanya lihat tong sebagai obyek dan proyek. Dong tra
pernah tahu apa yang ada dalam hati bangsa Papua, ” ujar seorang kawan di
Jayapura melalui saluran telpon. Mendadak saya terhenyak. Saya merasa, apa yang
selama ini sudah saya baca tentang studi Papua, mengalami masalah pendekatan
yang kompleks. Kompleksitas itu menyasar pada produksi pengetahuan tentang
Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak memanusiakan Bangsa Papua.
Penjajahan secara produktif dalam
cara berpikir itu telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian
teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan
massif dalam kerangkan “pembangunan masyarakat tertinggal”. Maka tak heran jika
citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terkebelakang,
terasing, barbar. “Indonesia dorang” merancang secara sistematis yang menempatkan
Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah
dari kebudayaan Indonesia dan “terasing” tidak dinamis.
Pendekatan semacam itu tentu
mengabaikan hati, perasaan, pergolakan, kepedihan, siasat, dan resistensi yang dialami Bangsa Papua. Kompleksitas
sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas bangsa Papua seolah
terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969 menjadikan Tanah Papua
sebagai objek pembangunan dengan penyeragaman di segala bidang tanpa rekognisi
pada perdebatan sejarah, status politik dan juga beragamnya budaya di Tanah
Papua. Pendekatan keamanan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan melahirkan tragedy
kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih ini. Sejarah ingatan penderitaan (memoria
passionis) menjadi pengikat yang paling ampuh untuk “melawan kehadiran
Indonesia” yang tak akan lekang ditelan jaman.
Pasca reformasi 1998,
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Papua serta Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai
pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan,
pendidikan, dan investasi modal melalui perusahaan multinasional semakin
menjepit dan meminggirkan Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri. Menegakkan
identitas Papua di tengah semua kepungan itu sungguh sebuah perjuangan yang
yang rumit. Kelokan-kelokan tajam, transformasi, dan siasat Bangsa Papua
menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian yang sungguh sangat penting untuk
dicermati
Mengalami Papua
Pertama-tama, saya ingin
memberikan apresiasi pada essay epilog dalam buku ini dari B. Josie Susilo
Hardianto, wartawan Kompas, yang bagi saya telah menghadirkan
narasi-narasi yang dekat, akrab, dan membumi untuk menunjukkan bagaimana
kompleksitas masalah dalam keseharian yang terjadi di Tanah Papua. Soal
pendidikan, kesehatan, akses ekonomi, memang sering diperbincangkan dalam Otsus
Papua, namun realita yang terjadi justru menyesakkan. Di tengah gelontoran dana
milyaran rupiah dalam Otsus, masih bisa disaksikan secara nyata bagaimana
perjuangan mama-mama Papua merebut akses ruang ekonomi untuk berjualan sirih
pinang, sayur-sayuran, dan hasil-hasil bumi lainnya di depan Gelael, Jayapura
atau usaha mama-mama Papua bersaing dengan pedagang kios-kios di Pasar Sanggeng
atau Wosi Manokwari. Layanan pendidikan dan kesehatan juga masih
memprihatinkan, serta virus HIV/AIDS secara perlahan namun pasti telah
menggerogoti hidup generasi muda Papua.
Hardianto (h. 212-213) menuliskan
narasi yang tajam untuk menunjukkan bagaimana begitu pongah dan arogannya
aparat keamanan yang melarang penduduk Waghete, sebuah kota kecamatan di
Kabupaten Paniai, untuk mencoba kelenturan uka dan mapega, busur
dan anak panahnya. Simbol-simbol budaya Papua justru dianggap sebagai simbol
perlawanan. Sampai di sini, menjadi jelas bahwa “Indonesia dorang” belum
menemukan apa yang ada dalam hati dan budaya Bangsa Papua. Stigma separatisme terus
dibangun dalam bingkai pendekatan keamanan untuk menunjukkan “berbahaya”, barbar,
dan memberontaknya Bangsa Papua. Stigma separatisme ini juga yang dilekatkan
untuk menamai gerakan sosial Bangsa Papua untuk berjuang menegakkan
identitasnya.
Hampir senada dengan narasi di
atas, suatu hari di bulan Oktober 2009, saya secara jelas menangkap kesan
bagaimana antipati sekaligus alerginya rakyat Papua berurusan dengan pihak
keamanan. Di sebuah pasar tingkat di Manokwari, seorang lelaki penjual VCD dikerumini
banyak orang sembari menyaksikan pemutaran video. Lagu-lagu yang belakangan
saya tahu merupakan lagu perjuangan Bangsa Papua diputar dengan suara
keras-keras. Saya penasaran dan mendekat dan mengambil foto. Mendadak saya
didekati sesorang dan bertanya dengan nada tinggi, “Ko dari mana? Intel yo?
Ko jangan macam-macam, pergi sudah,” ujarnya setengah mengancam.
“Politik” ke Reflektif
Essai-essay Amiruddin al Rahab
dalam buku ini sangat baik dalam menghadirkan peta persoalan yang terjadi di
Tanah Papua. Hadirnya buku ini menambah deretan referensi terbaru studi Papua
selain Papua Road Map dan Meretas Jalan Perdamaian di Tanah Papua
(2009). Namun, dari beberapa publikasi tersebut, ada kecenderungan menempatkan hampir
sebagian besar persoalan Papua dalam pendekatan politik struktural yang kaku. Bukan
bermaksud untuk menafikkan, melihat kompleksitas persoalan Papua hanya dari
kacamata politik membuat kita lupa bahwa telah terjadi transformasi budaya,
praktik kehidupan keseharian, siasat penegakan identitas (politik budaya) yang
penuh dengan perjuangan dan resistensi tanpa henti. Pendekatan politik
struktural tentu akan luput menangkap bagaimana liminalitas Bangsa Papua yang
berada di garis depan penetrasi modal dalam bentuk investasi perusahaan
multinasional dan gerakan social memperjuangkan identitas di dalamnya.
Bangsa Papua berada di daerah frontier,
garis depan pertarungan kekuatan politik global dalam mengeksploitasi sumber
daya alam dan manusia di Tanah Papua. Menghadapi situasi tersebut, strategi
pembangunan dan serangkaian kebijakan politik struktural pemerintah menjadi
“jauh dari bayangan” dan bahkan menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang
menipu. Menjadi penting dipikirkan adalah bagaimana menghdapai situasi di depan
mata ini? Oleh sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia menjadi penting
dikemukakan. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan,
fakta di depan mata yang membutuhkan cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini
sangat berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa
rancangan untuk menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi
kebijakan dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan
praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan
(politik) kebudayaan yang sering
dilupakan dengan strategi yang menipu. Dalam siasat, manusia langsung
berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang dibentuk oleh ruang yang
memberikan kontes persoalan tertentu.
Eksplorasi memetakan siasat dan
kepentingan agen-agen perubahan yang tidak pernah bersatu di Papua dalam studi Timmer
(2007 dan Chauvel, 2005) memberikan gambaran yang mengesankan. Maraknya
pemekaran dan Otus yang menjadi “gula-gula” pembangunan di Tanah Papua
melahirkan ketergantungan dan jejaring ekonomi politik di lingkungan elite
Papua. Identitas kePapuan pun terus bertransformasi dengan serangkaian
resistensi terhadap kehadiran negara (Indonesia) yang sudah kehilangan
wibawanya di hadapan Bangsa Papua. Tuntutan otsus yang lebih besar bisa dilacak
mengalami diversitas di kalangan Bangsa Papua sendiri antara ekspresi
resistensi terhadap negara dan nasionalisme perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Silang sengkarut itulah yang memungkinkan kontestasi identitas-identitas social
lokal, etnis, religius, dan regional di Tanah Papua sebagai medium resistensi
terhadap kehadiran negara.
Kompleksitas persoalan di Tanah
Papua sepatutnya dilihat dengan hati bukan dengan pendekatan struktural politik
yang membabi buta. Implikasinya adalah bagaimana cara kita ikut menyelami apa
yang ada dalam hati Bangsa Papua?
Satu-satunya cara menyelami hati
Bangsa Papua adalah pertama-tama memahami dan bersama-sama mereka membangun
sebuah sejarah (baru) di bumi Sampari ini. Ilmu pengetahuan bisa menyuarakan
ini dengan secara bersama-sama, secara reflektif, membangun pola relasi untuk
bersama-sama merumuskan persoalan yang terjadi dan memberikan argumentasinya.
Dengan demikian, kenyataan itu bersifat partisipatif yang diciptakan oleh
(hubungan) pikiran dan lingkungan yang ada. Inilah yang disebut dengan
“subyektifitas kritis” yang terjadi melalui transaksi partisipatoris dengan
lingkungan. Ilmu pengetahuan kemudian menjadi gerakan sosial, yang maju
bersama-sama subjek penelitiannya menciptakan sejarah baru yang menyatu dan
membumi dalam pergolakan masyarakatnya (Laksono, 2009).
Dialog (Sejarah Baru) Papua
Amiruddin, aktivis lembaga
swadaya masyarakat dan penulis buku ini, selama 15 tahun secara intens
menunjukkan perhatiannya terhadap pergolakan politik yang terjadi di Tanah
Papua. Ide terdepan kelompok intelektual dan aktivis yang menaruh perhatian
terhadap Papua adalah dialog antara Jakarta dan Papua (Widjojo dkk, 2009;
Tebay, 2009). Banyak kontroversi dalam ide ini, namun dialog bukanlah tujuan
penyelesaian konflik Papua, namun sebuah patahan kecil ruang rekognisi berbagai
macam kepentingan politik.
Papua Road Map LIPI (2009)
telah memberikan pemetaan detail dalam membaca konflik Papua, pemberdayaan
Bangsa Papua, paradigma baru pembangunan, hingga persoalan tawaran
tahapan-tahapan kebijakan dialog dan jalan rekonsiliasi pengungkapan kebenaran
dan pembuktian di pengadilan. Beberapa artikel dalam buku ini memberikan
tambahan pemahaman secara utuh berbagai benih pematik konflik di Tanah Papua.
Jargon separatisme dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) misalnya, yang diciptakan
dan dipropagandakan aparat keamanan untuk melabeli gerakan sosial pembebasan
Bangsa Papua, yang kemudian menjadi identitas oposisional bagi keindonesiaan.
(h. 3-37). Beberapa artikel pendek di Bagian II buku ini menghadirkan kilasan
berbagai persoalan yang terjadi di Tanah Papua (bandingkan dengan nukilan-nukilan
persoalan di Tanah Papua dalam Laporan Jurnalistik Kompas, Ekspedisi Tanah
Papua (2008).
Dialog damai yang digagas tentu
bukan sebatas strategi hitung-hitungan target politik (antara Jakarta (baca:
pemerintah) dan Papua) yang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit.
Persoalan sejarah dan status politik juga menjadi tema sensitif namun menjadi
pondasi penting berlangsungnya dialog. Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
pemerintah Indonesia terhadap Bangsa Papua juga menjadi persoalan yang amat
serius. Implikasinya adalah ingatan kekerasan dan penderitaan yang menjadi
pengalaman kelam Bangsa Papua sejak berintegrasi dengan Indonesia 1969.
Bagi saya, langkah pertama
dialog damai adalah memberikan kebebasan kepada Bangsa Papua untuk bergerak
membangun sejarah baru bangsanya. Pengalaman, narasi, dan refleksi mereka
(baca: Bangsa Papua) akan melahirkan sejarah baru yang partisipatif ketika
penghargaan atas pengalaman dan narasi dijunjung tinggi. Pemerintah Indonesia
hingga kini melupakan pendekatan ini. Dengan demikian, langkah kedua
adalah melakukan proteksi Bangsa Papua dan sekaligus pemahaman bahwa interkoneksi
Bangsa Papua dengan kekuatan kapital global bagai candu yang menghancurkan.
Penyelamatan sumber daya alam dan manusia Papua menjadi sangatlah penting.
Dengan demikian, diperlukan pemahaman bahwa interkoneksi Bangsa Papua dengan
kekuatan-kekuatan kapital global adalah merupakan ruang penafsiran persoalan
resistensi (siasat), perlawanan, dan gerakan sosial tanpa henti. Inilah yang
oleh Pemerintah Indonesia dianggap sebagai separatisme ketika muncul protes dan
perlawanan akibat marginalisasi Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri.
Saya kembali ingat perkataan
seorang pace Papua pada suatu sore di Manokwari awal September 2009, “Kitorang
bukan anak kandung Indonesia. Tong adalah anak tiri yang disiksa dan diperkosa
terus-menerus. Dorang lupa tong juga punya hati yang sakit dan tersiksa.”
I Ngurah Suryawan, Mahasiswa Program Doktor (S3)
Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Meneliti pergolakan identitas
dan siasat rakyat di Manokwari, Papua Barat. Dosen UNIPA Manokwari.
Tulisan ini merupakan pengantar dalam buku Jiwa Yang Patah
Tulisan ini merupakan pengantar dalam buku Jiwa Yang Patah
0 Komentar