Oleh; F Rahardi
Tahun 2001, harga beras kualitas sedang masih di
bawah Rp 2.000 perkilogram. Pertengahan Februari 2007 harga beras kualitas sama
telah tembus ke Rp 6.000. Berarti terjadi kenaikan harga beras sampai 200 persen.
Kenaikan 130 persen terjadi Desember 2006 sampai
Februari 2007. Dari tahun 2001 sampai 2006 terjadi kenaikan 70 persen. Tipis
kemungkinan harga beras turun menjadi Rp 5.000, apalagi Rp 4.000 per kg dalam waktu
dekat. Itu karena panen raya paling cepat Maret 2007. Panen raya pun biasanya menjatuhkan
harga gabah, tidak disertai penurunan harga beras. Selain karena faktor
inflasi, kenaikan harga beras juga disebabkan volume pasokan dan permintaan
yang kian tak imbang.
Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin,
dikenal sebagai pemakan nasi dengan volume besar. Awalnya, kultur makan beras
hanya pada sebagian penduduk Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara
itu, masyarakat Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua berkultur makan umbi-umbian,
sagu, dan sukun. Namun, sejak "revolusi hijau" 1970-an, kultur makan
beras masuk sampai pedalaman Papua. Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar
di dunia.
Selama empat dekade terakhir, terjadi deversifikasi
kultur menyantap karbohidrat. Sayang, pergeseran kultur lebih kuat mengarah ke
gandum, dalam bentuk mi dan roti, bukan jagung atau umbi-umbian. Satu-satunya umbi
yang mampu menciptakan kultur baru adalah singkong, dengan menasionalnya bakso.
Bakso adalah paduan tapioka (pati singkong), dengan daging sapi yang belum
dilayukan, atau ikan. Menasionalnya bakso cukup menggembirakan sekaligus
menyedihkan karena kita telah tergusur sebagai pengekspor tapioka dan casava ke MEE.
Kultur makan umbi-umbian
Kultur makan beras datang dari daratan Asia,
khususnya India dan Indochina sebab padi liar (Oryza sativa), adalah tumbuhan
asli pegunungan Himalaya, Tibet, dan daratan China. Selain Oryza sativa,
juga dikenal Oryza glaberrima dari Afrika Barat. Oryza sativa terdiri dua varietas, Oryza sativa varietas Indica dan Oryza sativa varietas Japonica. Padi IR, adalah hasil pemuliaan (silangan) varietas Indica
dan Japonica. Silangan alami ini menghasilkan varietas Javanica. Kini, padi merupakan serealia ketiga paling banyak dibudidayakan, setelah jagung dan gandum.
juga dikenal Oryza glaberrima dari Afrika Barat. Oryza sativa terdiri dua varietas, Oryza sativa varietas Indica dan Oryza sativa varietas Japonica. Padi IR, adalah hasil pemuliaan (silangan) varietas Indica
dan Japonica. Silangan alami ini menghasilkan varietas Javanica. Kini, padi merupakan serealia ketiga paling banyak dibudidayakan, setelah jagung dan gandum.
Sebelum kultur makan beras menyebar ke Sumatera,
Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, penduduk kepulauan ini mengandalkan umbi-umbian.
Terutama talas (Colocasia Sp), Senthe (Alocasia Sp), suweg (Amorphophallus
campanulatus), dan uwi-uwian (Dioscorea Sp). Adapun keladi (Xanthosoma Sp),
singkong (Manihot Sp), ganyong (Canna edulis), garut (Marantha arundinacea),
ubi jalar (Ipomoea batatas), dan kentang (Solanum tuberosum) adalah umbi-umbian
asli Amerika Tropis. Kecuali ubi jalar, masuknya umbi-umbian Amerika adalah
karena dibawa bangsa Eropa. Ubi jalar justru sudah menyebar dari Amerika Latin
ke Polynesia sampai Papua, Taiwan, dan Jepang, sejak abad III.
Hingga kini, masyarakat NTT, Maluku, dan Papua,
masih mengandalkan umbi-umbian, terutama singkong dan ubi jalar, sebagai sumber
karbohidrat, selain sagu (Metroxylon sago/Metroxylon rumphii). Namun, desakan
kultur makan beras membuat masyarakat malu mengonsumsi umbi-umbian. Akibatnya,
beras bukan sekadar kebutuhan biologis sumber karbohidrat, tetapi juga simbol
status. Hanya mereka yang miskin yang mengonsumsi umbi-umbian. Kultur ini
begitu kuat hingga kian memiskinkan masyarakat. Sebab, petani terpaksa menjual umbi-umbian dengan harga
amat rendah, untuk membeli beras dengan harga tinggi.
Jepang, Taiwan, dan Thailand merupakan bangsa
dengan kultur beras cukup fanatik meski umbi-umbian tetap dihargai tinggi.
Konyaku dan shirataki adalah menu prestisius umbi iles-iles (Amorphophallus konyak). Tepung tempura berbahan baku ubi jalar. Di Taiwan, uwi-uwian yang
berumbi ungu bisa disajikan di hotel berbintang sebagai menu favorit. Di
restoran Thai, singkong yang dimasak dengan gula merah dan santan merupakan
appetizer terhormat. Di Indonesia, yang naik daun baru bakso dan ubi cilembu.
Uwi-uwian terancam punah karena habitatnya rusak, petani tidak mau membudidayakannya.
Peran
kapitalisme
Revolusi hijau yang terjadi sekitar tahun 1970-an
sebenarnya amat merugikan petani. Yang diuntungkan hanya kapitalisme global
sebab industri benih, pupuk, dan pestisida, adalah jaringan kapitalisme global. Revolusi hijau telah memiskinkan petani karena harus membayar mahal
untuk benih, pupuk, dan pestisida, tetapi dibayar murah oleh tengkulak.
Konsumen beras harus membayar lebih mahal, tetapi tidak menguntungkan petani
karena tingginya harga beras, terutama disebabkan tidak efisiennya jaringan
distribusi. Selain dirugikan secara ekonomis, petani juga dirugikan secara
kultural sebab telah kehilangan peluang untuk mengembangkan komoditas
karbohidrat nonberas.
Bangsa Eropa pun aslinya bukan pemakan gandum.
Kultur makan gandum berasal dari daratan Asia, berkembang sejak milenium 8 SM. Juga
kultur makan jagung dan kentang masyarakat Indian. Ketika kultur makan beras menyebar
dari daratan Asia ke Jawa dan sekitarnya, yang diadopsi bukan hanya teknik
budidaya, tetapi juga distribusi. Jadi Jawa, sebelum kedatangan bangsa Eropa,
merupakan pengekspor beras kualitas terbaik. Pemiskinan petani di Jawa
pertama-tama dilakukan bangsa Belanda saat sawah subur dialihfungsikan untuk
komoditas tebu, tembakau, dan kenaf.
Daya rusak revolusi hijau secara ekonomis dan
kultural, juga disebabkan mental aparat pemerintah dan LSM yang korup. Ketika mengadopsi
teknik budidaya padi ala revolusi hijau, pemerintah dan LSM tidak menyertai dengan pengembangan kelembagaan petani dan permodalan. Hingga
jaringan distribusi dan pemasaran beras, tidak dikuasai organisasi petani,
tetapi oleh tengkulak dan Bulog.
Praktis, kultur perberasan peninggalan pra-Hindia
Belanda yang masih utuh tinggal di Bali dan sedikit di Kalimantan. Lainnya
sudah rusak, hingga petani tidak hanya dimiskinkan secara ekonomis, tetapi juga secara kultural.
F Rahardi Penyair, Wartawan
Sumber; Harian Kompas, 24 Febbruari 2007
0 Komentar