Mandela dan Religiositas

Oleh; Ignas Kleden

RICHARD Stengel yang membantu Nelson Mandela menulis otobiografinya, Long Walk to Freedom, mengenang kembali persahabatannya dengan almarhum dalam laporan utama Time Nomor 26, 2013.


Di antara berbagai catatannya, ada pernyataan yang kiranya menarik perhatian pembaca. Dia menulis: ”Tidak sekali pun saya mendengar dia (Mandela, IK) menyebut Tuhan, surga, atau sesuatu yang berhubungan dengan akhirat. Nelson Mandela percaya akan keadilan dalam masa hidupnya di dunia ini.”


Catatan itu dapat menimbulkan rasa heran karena beberapa kebajikan dalam watak Mandela segera membawa asosiasi kita kepada kehidupan asketis yang diajarkan dalam agama-agama. Keteguhan hatinya dalam penjara, khususnya 18 tahun dalam sel 2 meter x 2 meter di Robben Island, bekas tempat pembuangan penderita kusta, sikap tanpa putus harapan dalam perjuangan amat panjang menentang diskriminasi, ketegarannya menolak kompromi dan gratifikasi, kebesaran hatinya mengatasi dendam dan memaafkan orang yang telah menghukumnya dengan sewenang-wenang—semua itu merupakan kombinasi keyakinan dan kekuatan moral yang membuat seluruh dunia tercengang.


Sebuah rahasia yang menjelaskan daya tahannya menghadapi penderitaan dan tekanan ialah karena dia tak pernah menyerahkan kemerdekaannya kepada mereka yang menahannya dalam penjara selama 27 tahun. Ini dilakukannya dengan dua cara. Pertama, dia yakin bahwa pihak yang menjebloskannya ke dalam tahanan dapat merampas segala sesuatu yang ada pada dirinya, kecuali pikiran dan hatinya.


Musuh-musuhnya tak dapat merampas pikiran dan hatinya serta Mandela tak pernah menyerahkan pikiran dan hatinya kepada mereka penghukumnya.


Kedua, dia berjuang keras mengatasi rasa benci kepada mereka yang menganiayanya. Dia berpendapat, kalau tetap membenci lawan-lawan politiknya, dia akan tetap tertawan sebagai tahanan dalam dendam kesumatnya, sekalipun dia sudah bebas dari penjara. Tentang rasa dendam ini, akhirnya dia berkata, ”I let it go.”


Mandela dilahirkan pada 1918 menjelang akhir Perang Dunia I di Desa Mvezo, Distrik Umtata, ibu kota Transkei yang terletak 550 mil di selatan Johannesburg. Ayahnya seorang ketua adat yang diangkat Raja Thembu dengan restu Pemerintah Inggris dan punya empat istri. Ibu Mandela adalah istri ketiga yang kemudian pindah ke Desa Qunu setelah suaminya kehilangan jabatan karena membangkang kepada Pemerintah Inggris.


Pendidikan formal Mandela dari sekolah dasar hingga ke pendidikan tinggi ia tempuh di lembaga pendidikan yang didirikan dan dikelola misionaris Gereja Kristen Metodis dari Inggris. Di Qunu dia masuk sekolah dasar dan berkenalan dengan pendidikan dan pengajaran bergaya Inggris. Para murid mendapat nama Inggris dari guru kelas dan Mandela diberi nama Nelson, yang diambil dari nama seorang kapten laut Inggris, Lord Nelson. Nama ini kemudian lebih dikenal dari nama yang diperolehnya di desa kelahirannya, yaitu Rolihlahla, sebuah idiom bahasa Xhosa yang berarti ’troublemaker’.


Dari Qunu dia dipindahkan ibunya ke Mghekezweni, sebuah pusat misi Gereja Metodis, dengan penduduk yang dididik dengan gaya hidup Inggris dalam berpakaian, tutur kata, dan kehidupan agama. Mandela tinggal di rumah seorang regen, kenalan almarhum ayahnya, yang mengatur tempat tinggalnya sebagai pejabat kelas menengah Afrika dengan disiplin tinggi dalam Great Palace. Mandela meneruskan pendidikan dasarnya bersama anak-anak regen dan di sinilah, khususnya di sekolah Clarkebury, matanya terbuka kepada dunia Barat yang amat berbeda dengan Desa Qunu yang menyimpan masa kecilnya dalam lingkungan serba idylis.


Pada usia 19 tahun, dia masuk Sekolah Guru Healdtown di Fort Beaufort, sebuah pos Inggris paling luar di abad ke-19, tempat orang putih berusaha merebut tanah penduduk dan harus berhadapan dengan pejuang suku Xhosa yang gagah perkasa. Setelah melewati konflik dan pertempuran selama lebih dari 100 tahun, orang-orang putih dapat merebut seluruh tanah di Fort Beaufort, sementara pejuang Xhosa yang gugur memperoleh kemasyhuran turun-temurun dengan riwayat yang didengar Mandela dari penuturan orang-orang tua.


Selanjutnya pendidikan tinggi setingkat universitas ia peroleh di Kolese Fort Hare, 20 mil sebelah timur Healdtown, satu-satunya pendidikan tinggi untuk penduduk hitam di Afrika Selatan. Dari sinilah, dari antara hanya 150 mahasiswa yang belajar di sana lahir sarjana-sarjana Afrika Selatan dan Afrika Timur, yang menganggap Kolese mereka Oxford dan Cambridge atau Harvard dan Yale di Afrika. Setelah lulus mereka memperoleh gelar BA, yang memungkinkan mereka masuk ke dalam lingkungan elite Afrika dengan kemungkinan kerja dan penghasilan sangat baik. Di lembaga pendidikan ini yang didirikan misionaris Skotlandia pada 1916, para pendidik kulit putih yakin, mereka dapat menghasilkan tamatan yang menjadi the black Englishmen, orang Inggris berkulit hitam.

Foto; www.spectator.co.uk
Menolak diskriminasi
Barangkali itulah harapan umum para penjajah di berbagai belahan dunia tatkala mereka memperkenalkan pendidikan Barat modern di koloni mereka. Namun, kita tahu dari sejarah pendidikan kolonial di Indonesia, harapan itu tak selalu terpenuhi karena pengajaran yang mengarahkan cara berpikir yang benar, dan pendidikan yang membentuk kepribadian yang etis, kemudian menghasilkan lulusan yang melihat kepincangan dan ketakadilan dalam tiap proyek penjajah. Seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka di Indonesia, Nelson Mandela kemudian menetapkan sikap politiknya: menolak diskriminasi dan apartheid di Afrika Selatan dan menegakkan persamaan dan keadilan untuk semua penduduk.

Sejak pendidikan dasarnya di Qunu, dia diajar bahasa Inggris, kebudayaan, dan pemikiran-pemikiran Inggris, diperkenalkan dengan lembaga-lembaga Inggris, seakan-akan Afrika tak punya sesuatu pun untuk dipelajari. Namun, dari ayahnya dia belajar sejak dini sekali bahwa otoritas kolonial bisa melakukan kesalahan dan dapat dilawan meski dengan berbagai risiko yang harus ditanggung. Di Fort Hare tempat dia belajar antropologi, ilmu politik, administrasi pemerintahan lokal, dan sistem hukum Romawi-Belanda, dia berkenalan dengan beberapa seniornya yang dengan terus terang mengkritik kebijakan kolonial. Dikatakan bahwa pendidikan Barat seakan-akan memberi penghidupan yang lebih baik kepada para lulusannya, sementara itu semua yang berharga dari Afrika telah habis dirampas: hak-hak dan tanah penduduk, kebudayaan dan nilai-nilai lokal, terutama sekali kemerdekaan mereka. Ada kenyataan pahit dan keras yang harus dihadapi dan tak selayaknya kaum intelek-tual menutup mata terhadap realitas itu.


Setelah ia bergabung dengan African National Congress (ANC), perjuangan menentang diskiriminasi ini menjelma jadi tujuan hidupnya. Ia mempersembahkan hidup matinya untuk cita-cita itu. Setelah pembantaian besar di Sharpeville pada Maret 1960 tatkala polisi menembak mati 69 penduduk kulit hitam, Mandela, yang banyak diilhami Gandhi dengan prinsip satyagrahanya, berubah pikiran. Dia melihat satyagraha atau sikap tanpa kekerasan bukanlah prinsip, melainkan suatu taktik. Dia teringat kearifan lokal sukunya, Sebatana ha se bokwe ka diatla: serangan binatang buas tak dapat dihadapi dengan tangan kosong. Dia akhirnya membentuk dan memimpin Spear of the Nation, sayap bersenjata dalam ANC.


Dengan tuduhan melakukan komplotan bersenjata, ia harus menghadapi pengadilan. Setelah membacakan pleidoinya selama empat jam, Mandela menutup naskah pembelaannya dan berkata kepada hakim: ”Saya telah mempersembahkan seluruh hidup saya kepada perjuangan bangsa Afrika. Saya telah menjunjung tinggi ideal suatu masyarakat demokratis yang bebas, tempat semua orang hidup damai dan mempunyai kesempatan yang sama. Maka, bila perlu, Yang Mulia, saya pun siap mati untuk ideal tersebut.”


Seperti pernyataan iman

Pidato itu terdengar seperti pernyataan iman yang menandai perubahan besar dalam penjara. Yang ia ucapkan bukanlah isapan jempol untuk gagah-gagahan seperti yang kerap kita dengar dari politisi Indo-nesia sekarang, tapi suatu sumpah yang diwujudkan dengan berbagai korban tak terperikan: 9 tahun dalam penjara Pretoria, 18 tahun dalam penjara Robben Island, kehilangan istri dan anak, kehilangan tahun-tahun paling produktif dalam hidupnya, sambil mengelola rasa benci dan dendam sampai dapat mengatasinya. Pendirian politik Mandela berangsur-angsur berubah menjadi suatu keyakinan religius dalam pertapaannya di sel penjara.

Para penulis biografinya tak habis pikir: dari mana Mandela menimba kekuatan tak menyerah, tak membiarkan diri hancur oleh benci dan dendam, dan sanggup mengatasi kegetiran nasibnya dengan memaafkan mereka yang menghukumnya demikian lama? Hal ini biasanya terjadi pada orang-orang yang hidup dengan keyakinan agama yang teguh dan tak tergoyahkan.


Namun, Mandela tak dikenal sebagai anggota suatu denominasi meski seluruh pendidikannya berada di bawah bimbingan dan pengaruh Gereja Kristen Metodis. Sebagai anggota suku Xhosa, ia hidup sedari kecil dibimbing tiga hal: adat-istiadat, ritual, dan tabu. Bayangan dan keinginannya setelah mati bukan surga dalam pengertian agama, melainkan perjumpaan kembali dengan para leluhurnya.


Sangat mungkin prinsip hidup suku Xhosa itulah yang ia terjemahkan menjadi prinsip negara modern: persamaan dan keadilan adalah adat-istiadat manusia; demokrasi adalah ritual yang suci; sementara pelanggaran HAM tabu yang tak boleh diabaikan apabila orang tak mau mengundang datang kutukan. Atas cara ini Mandela sengaja atau tidak telah mengubah pendirian politiknya menjadi keyakinan religius. Kemerdekaan politik Afrika Selatan meluas menjadi cita-cita keselamatan bagi semua manusia.


Bagi seluruh dunia, ini jadi pelajaran: orang tak sepantasnya memakai agama untuk tujuan politik praktis atau doyan mengutip ayat suci untuk menyembunyikan kebobrokan moral politiknya. Religiositas ala Mandela telah menyebabkan dia sanggup memerintah bukan dengan kekuasaan yang berasal dari jabatan formal, tetapi dengan suatu otoritas moral yang lahir dari religiositas mendalam. Kepada Bartholomaeus Grill, wartawan majalah Jerman Der Spiegel, ia berkata, ”Saya makin mendekati akhir hidupku. Saya ingin tidur selama-lamanya dengan sebuah senyum di wajahku.”


Sekarang ini setelah wafat pada 5 Desember 2013, Mandela tidur selama-lamanya di desa kelahirannya, Mvezo yang amat terpencil, dan dari tempat leluhurnya ia mungkin memberi senyum abadi pada semua orang di bumi yang ia cintai, kawan ataupun lawan.


Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi


Kompas 13/01/14

Posting Komentar

0 Komentar