Foto; jpnn.com |
Absennya
dukungan dari pemerintah tampaknya menjadi masalah klasik yang dihadapi
banyak pegiat Sastra di kawasan Asia. Hal ini terkuak dalam salah satu
diskusi yang digelar dalam acara Asean Literary Festival 2015 di Jakarta
(22/3) kemarin.
Seniman dan pendiri Penghargaan
Sastra Khatulistiwa Award, Richard Oh mengatakan di Indonesia geliat
perkembangan Sastra yang ada di tanah air boleh dikatakan seluruhnya
berasal dari kreatifitas, apresiasi serta kecintaan individu-individu
pecinta Sastra. Sementara kesadaran pemerintah sendiri mengenai
perkembangan maupun karya-karya sastrawan di tanah air sendiri masih
dipertanyakan.
“Di Indonesia saya pikir,
perwakilan pemerintah asing tampaknya lebih bekerja keras dan giat
mempromosikan dan mengapresiasi karya-karya dari sastrawan di Indonesia.
Mereka kerap mendanai kegiatan atau event bertema Sastra, menggelar
pameran karya seniman Sastra Indonesia hingga memberikan beasiswa bagi
penulis-penulis berbakat,”
“Sementara
pemerintahnya sendiri, apa mereka tahu sastrawan ternama Indonesia atau
karya Sastra terbaru dan yang paling populer di Indonesia saat ini saja
jangan-jangan tidak tahu,” kata Richard Oh.
"Baru
belakangan ini saja ada sejumlah penulis di Indonesia yang mendapatkan
beasiswa dari beberapa perusahaan besar, selebihnya penulis harus
berjuang sendiri untuk survive dan mengembangkan diri, " tambahnya.
Lemahnya dukungan juga nampak dari jarangnya pemerintah mau terlibat atau mensponsori kegiatan bertema sastra di tanah air.
"Kalau
event itu sudah memiliki nama, baru pemerintah mau kasih sponsor itu
juga seakan-akan mau mengkooptasi acara tersebut," imbuhnya.
Kondisi
yang sama juga dituturkan penulis asal India yang kini bermukim di
Indonesia, Amol Titus. Menurutnya di Asia terutama India dukungan
pemerintah sangat kecil bahkan nyaris tidak ada. Menurutnya, penulis di
Asia dipaksa untuk berjuang sendiri mempublikasikan karya-karyanya “Sastra
belum dilihat sebagai subjek yang penting, karena pemerintah masih
berkutat pada masalah pembangunan. Sekolah, pendidikan dan lain-lain,”
“Karenanya
banyak penulis yang membiayain sendiri bukunya dan mempublikasinya.
Karenanya penulis jga harus rajin mempromosikan sendiri karyanya dan
membangun jaringan agar karya-karyanya dikenal secara luas,”
Berbeda
dengan di Asia, situasi yang dihadapi pegiat Sastra dan kebudayaan di
Australia jauh lebih baik. Hal ini diungkapkan Michelle Aung Thin,
novelis asal Australia yang hadir sebagai pembicara di Forum Asean
Literary Festival di Jakarta.
"Saya kira Australia cukup royal dan baik hati dalam hal mendukung seni sastra dan budaya," katanya.
Menurut
Michelle Aung Thin, dukungan dari pemerintah untuk perkembangan karya
Sastra di Australia cukup besar. Selain mendapatkan pendanaan dari
pemerintah federal melalui anggaran pendidikan, para pegiat satsra di
Australia juga mendapatkan dukungan dari pemerintah di tingkat negara
bagian bahkan di tingkat lokal.
“Seperti di kota
Melbourne ada Dewan Kebudayaan yang mempromosikan dan mendukung para
pegiat Sastra dan budaya di tingkat lokal”.
Selain dari
pemerintah ada banyak organisasi di Australia seperti NGO yang mau
mensponsori penyelenggaraan event-event Sastra, seni dan budaya maupun
mendanai penulis melakukan kajian di sektor yang diminatinya,”
“Dukungan
juga didapat dari Dewan Kesenian Australia dan philantropi hingga
institusi pendidikan seperti universitas," tutur Aung Thin kepada
reporter Australia Plus, Iffah Nur Arifah di Jakarta.
Seperti
dukungan yang diterimanya dari Dewan Kesenian Victoria yang mendanai
dirinya untuk menghabiskan waktu selama 10 pekan mempelajari
perkembangan sastra di Myanmar - negara leluhurnya.
Aung Thin merupakan penulis Australia berdarah Myanmar yang sempat dinominasikan sebagai peraih Victorian
Premier Literary awards 2010 dan memenangkan fellowship dari Wheeler
Centre / Readings Foundation fellowship lewat karya pertamanya berjudul
the moonsoon bride. Sebuah novel romantis berlatar belakang situasi
politik di Myanmar.
Menurut
Aung Thing, maraknya dukungan bagi sektor kesusastraan di Australia
turut membentuk budaya melek huruf di Australia. Dimana tingkat melek
huruf di Australia sangat tinggi dan mayoritas warga Australia memiliki
komitmen pada pendidikan yang sangat tinggi. Selain
itu ramainya buku-buku baru yang diterbitkan setiap tahun juga
diimbangi dengan ketersediaan sarana membaca yang banyak serta event
Sastra, seni dan budaya.
“Ada banyak
terbitan buku yang sifatnya ringan seperti novel dan lain-lain, tapi ada
juga yang buku yang sedikit berat bahasannya dan tentu saja memang
hanya dibaca oleh sebagian orang saja tapi itu semua tersedia. Dan semua
ini menyumbangkan pengetahuan kolektif yang pada akhirnya akan
memperkaya wawasan pengetahuan mengenai Sastra dan seni dikalangan
masyarakat sipil Australia,”
Aung Thin mengatakan
dukungan dari pemerintah maupun sektor lain pada kesusastraan sangat
penting. Karena tidak hanya dapat meningkatkan kualitas karya sastra
yang dihasilkan tapi seni sastra, sebagaimana cabang seni dan kebudayaan
lainnya juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Saya
selalu meyakini rumusan yang dipopulerkan ayah Saya tahun 60-an lalu,
bahwa setiap $1 yang dibayarkan untuk pembangunan seni dan budaya dapat
menghasilkan keuntungan $10,”
"Karya sastra bisa
memberikan inspirasi yang memunculkan seni-seni kreatif di masyarakat.
Misal tulisan mengenai fotografi, akan dapat mendorong peminat foto
melahirkan karya-karya mereka yang kemudian menghasilkan secara
ekonomi,"
Aung Thin mencontohkan kesuksesan Korea Utara mengembangkan industri kreatifnya sebagai penyokong utama perekonomian mereka.
Sumber; jpnn
Sumber; jpnn
0 Komentar