Jum’at 30 September 2016. Sa baru saja pulang dari
kampus. Ketika baring-baring ukur kasur di kamar, bermaksud bikin tenang diri
dan buang loyo, sayup-sayup terdengar di telinga suara kaka Sabinus Petege dan
beberapa yang lain baku senda gurau di lantai dua atas Barak Utara, Asrama
Dogiyai, Yogyakarta.
Herman Degei (sebelah kiri), Zuzan Griapon (tengah) dan Melki Madai (sebelah kanan) Foto: Jhon Gobai |
Sa tadah telinga dengar mereka
pu obrolan. Sekitar 10 menit sudah sa dengar mereka pu suara dari tempat sa
berbujur diri. Sa beranjak, teguk air mineral satu mok kemudian sa ke mereka
tadi diatas.
Mereka diatas ada kaka Sabinus
Petege, Yuliten Yobee, Bastian Tebai dengan ada satu lagi tapi sa tidak lihat
baik-baik. Entah siapa dia. Sa cuma cek saja lalu baik kanan dan kembali ke
kamar.
“Ade Herman mari dulu. Kaka mau
kastau sedikit mengenai perpustakaan yang ade dong sedang bikin.” Begitu kaka
Sabinus panggil sa.
Sa balik lagi ke kaka dia, dan
dia kasih beberapa gagasan. Sementara itu datang kaka Damianus Goo, disusul
lagi kaka Ferdinand Tagi, kami anggota dari paguyuban Dogiyai di
Yogyakarta-Solo pu ketua Badan Pengurus Harian (BPH). Kaka Sabinus masih kasih
dia pu hasil pemikiran ke sa, ditambah lagi kaka Yuliten dan kaka Ferdinand. Sa
cukup serius dengar kaka tiga mereka pu pembicaraan.
“Herman! Ada Herman kah?”
“Dia ada disini,” jawab Bastian
lirih.
Sa dengar. Tapi sa lebih pilih
untuk konsen dengar kaka-kaka mereka pu masukan-masukan, sembari membatin, toh
sementara itu dia yang tadi cari sa pasti dalam perjalannya menuju tempat sa
ada.
Dia muncul. Ternyata Zuzan
Griapon. Dia adalah salah satu mahasiswi UGM, juga relawan aktivis Gerakan
Papua Mengajar (GPM) cabang Yogyakarta-Solo. Dan baru disaat itulah sa sadar,
bahwa ternyata sehari sebelumnya dia janji untuk bawa datang baju GPM ke
Asrama. Akh, linglung lagi.
Dia sapa sekaligus beri salam
ke kami yang ada saat itu dan klarifikasikan maksud kedatangannya. Tapi lihat
sa pu kondisi, dia biarkan sa dengar dulu fatwa dari kaka-kaka, dan sembari cas
dia pu HP, dia tunggu di kaka Melki Madai pu kamar.
Zuzan memang orangnya
blak-blakan. Tidak sukar bergaul dan pandai menyesuaikan diri. Baru pintar
lagi. Yang sa sebut diatas benar berdasarkan sa pu observasi. Eh bukan.
Pengamatan. Akh, sama saja.
* * *
Setelah kira-kira stengah jam
lebih 10 menit, baru sa penuhi Zuzan pu kedatangan. Dia bawakan baju kaus GPM
yang sudah sa pesan beberapa hari yang lalu, sekaligus dia bawa kertas
berukuran A3 bertuliskan tangan: “Sa Anak Papua, Sa Belajar Sa Mengajar.
#Gerakanpapuamengajar #GPM”.
Dia kasih baju, sa pake,
kemudian dia foto sa pake Melki Madai pu kamera HP sebagai dokumentasi. Setelah
itu kami ke Melki pu kamar sama-sama dan tinggal beberapa waktu disana.
Sementara itu memang Melki sedang telpon dia pu teman. Tapi suasana tetap
hidup. Bahkan disela-sela itu, sempat Zuzan menanyai warna apa yang kami suka,
sekaligus menjelaskan kepribadian orang berdasarkan warna yang
disukai. Melki pu demikian dari segi arsitektur, karena dia mahasiswa
jurusan Teknik Arsitektur di UGM.
Baju yang sa baru ambil rasanya
sempit. Terasa jelas kalau ukurannya bukan “L” yang sudah sa order. Sa
penasaran dan lantas sa cek, ternyata benar. Dia salah kasih yang ukuran “M”
punya. Sa tukar dengan yang ukuran “L”. Dan setelah itu baru bajunya pas untuk
sa, dan yang lama sa kasih kembali.
Saking senangnya, tak
tanggung-tanggung kami berfoto lagi di Melki pu kamar. Posenya beragam. Suasana
tambah ramai lagi setelah Jhon Gobai datang. Tapi dia datang tinggal hanya
beberapa menit, kemudian ke barak sebelah di Abbi Douw pu kamar.
* * *
Kira-kira sekitar satu setengah
jam setelah kami duduk sama-sama, kami putuskan untuk bubar. “Herman, bagaimana
kalo kita tentukan waktu 15 menit baru dalam waktu yang kita tentukan itu kita
bicaranya wajib pake bahasa inggris? Bicaranya bebas. Mau Sharing pengalaman
kah, talk about aktivitas sehari-hari kah, pokoknya bebas,”
tawar Zuzan.
Sa dengan Melki bako tatap mata, berangguk, kemudian menyanggupinya.
“Oh, iya. Kalo menurut kami it’s well, and better,” respon kami serentak.
Kurang lebih selama 15 menit kami ngobrol pake Bahasa inggris, meski ucapan kami kadang masih tergagap-gagap, dan ketika ada yang keliru kami baku kasih perbaiki. Saat itu Emanuel Kegiye, mahasiswa semester 5 dari Sekolah Tinggi Teknik Nasional (STTNas) Yogyakarta juga datang, sekaligus introduce himself dan kami sama-sama selesaikan beberapa menit yang masih tersisa ketika itu.
* * *
Oh, iya, hampir lupa. Di baju
GPM bagian depan tuh ada tertera gambar (anak-anak dari GPM di Jayapura) sedang
belajar, dan tulisan: “Sa Anak Papua. Sa Belajar, Sa Mengajar”.
Jujur. Sa sendiri agak kurang begitu mengerti apa substansi sejatinya. Tapi yang sa sedikit pahami, itu mungkin artinya bahwa: Sa anak Papua. Sa belajar untuk kemudian sa bisa mengajar sa pu adek-adek.
Berarti tanpa disadari setiap kita itu semacam tertagih. Ada Pekerjaan Rumah (PR) yang masing-masing kita dapat. Adalah mengajarkan apa yang telah kita ketahui dan pahami kepada (terlebih) adek-adek kita. Apapun itu. Sekarang pertanyaannya adalah apakah kita siap? Itu saja.
Mengajar mereka bukan bisa
semata-mata di ruang dan waktu tertentu. Salah satu aplikasinya, ketika sa
lihat ada adek satu dia bikin sesuatu yang janggal, lalu sa tegur dia dan
memberikan dia nasihat, itu salah satu bentuk nyata dari yang dimaksud diatas.
Terakhir untuk kakak Agustinus
Kadepa, Koorninator Gerakan Papua Mengajar (GPM), Teman-teman, baik yang
pengajar maupun relawan, serta adek-adek yang kelak (semoga) bersinar di
Jayapura sana. Kami disini cuma bisa begini. Sayang. Tangan tak sampai. Salam
dari kami disini, terus semangat, dan Tuhan Yesus memberkati! (Herman
E. Degei)
Yogyakarta, 1 Oktober 2016
0 Komentar