ilustrasi; https://es.pinterest.com/pin/569423946616761159/ |
Suatu saat, di hari ketiga hujan, mereka telah membasmi begitu banyak
kepiting yang masuk ke rumah sehingga Pelayo harus melintasi halaman yang becek
untuk membuangnya ke laut, karena anaknya yang baru lahir badannya panas
sepanjang malam dan mereka mengira kalau itu disebabkan oleh bau busuk
kepiting. Dunia menjadi muram sejak hari Rabu. Laut dan angkasa seperti
serbuk-serbuk kelabu dan pasir pantai, yang pada malam-malam bulan Maret
berkilauan seperti serbuk cahaya, telah menjadi rebusan lumpur dan sisik ikan
yang busuk. Cahaya begitu redup siang itu sehinga saat Pelayo kembali ke rumah
setelah membuang kepiting, sulit baginya untuk melihat apa yang sedang
bergerak-gerak dan mengerang di belakang halaman rumahnya. Dia harus berada
sangat dekat untuk melihat bahwa itu adalah orang tua, orang yang sangat tua,
wajahnya tertelungkup di lumpur, yang walau berusaha keras, ia tak mampu
bangkit, terhalang oleh sayapnya yang besar.
Ketakutan oleh mimpi buruk itu, Pelayo lari menemui Elisenda, sang
istri, yang sedang mengompres anaknya yang sakit. Pelayo lantas mengajaknya ke
belakang halaman rumah. Mereka berdua menatap sesosok badan terpuruk yang
sedang pingsan membisu itu. Dia berpakaian seperti pemulung. Hanya ada sedikit
rambut pudar tersisa di kepalanya yang gundul dan sangat sedikit gigi di
mulutnya, dan keadaan mengenaskan seorang kakek buyut yang basah kuyup itu
telah mengusir semua tanda-tanda kemegahan yang mungkin ia miliki. Sayap
rajawali besarnya, kotor dan bulu-bulunya setengah tercabuti, seakan sudah lama
terjerat di lumpur. Mereka memandanginya begitu lama dan begitu dekat sehingga
Pelayo dan Elisenda segera mengatasi keterkejutannya dan akhirnya terbiasa
dengannya. Kemudian mereka berani berbicara kepadanya, dan ia menjawab dalam
bahasa yang tak dimengerti dengan suara lantang seorang pelaut. Dan kemudian
mereka melepaskan benda-benda yang merintangi sayapnya dan dengan cerdas
menyimpulkan bahwa dia adalah satu-satunya yang terdampar dari kapal asing yang
dihancurkan badai. Setelah itu, mereka memanggil seorang tetangga wanita yang
tahu segalanya tentang hidup dan mati untuk memeriksanya, dan yang wanita itu
butuhkan hanyalah sekilas pandang untuk memberi tahu mereka kesalahannya.
"Dia adalah malaikat," wanita itu memberitahu mereka.
"Dia tentu datang untuk anak-anak, tetapi pria malang ini begitu tua
sehingga hujan menjatuhkannya."
Pada hari berikutnya, semua orang telah mendengar berita bahwa seorang
malaikat berdaging dan berdarah tertangkap di rumah Pelayo. Berlawanan dengan
kesimpulan dari tetangga wanita yang bijak, bagi mereka yang menganggap bahwa
biasanya malaikat adalah pelarian yang selamat dari konspirasi surga, mereka
tak sampai hati untuk memukuli dengan tongkat sampai mati. Pelayo mengawasinya
sepanjang sore dari dapur, bersenjatakan pentungan polisi jaga dan sebelum
tidur Pelayo menyeretnya keluar dari lumpur dan mengurungnya dengan ayam di
kandang ayam berpagar kawat. Di tengah malam, saat hujan telah berhenti, Pelayo
dan Elisenda masih terus membunuhi kepiting. Segera setelah si anak bangun
tanpa demam dan dengan nafsu makan, kemudian mereka berbesar hati dan memutuskan
untuk menempatkan malaikat di sebuah rakit dengan air tawar dan bekal untuk
tiga hari dan menyerahkan nasibnya pada laut bebas. Tapi ketika keluar menuju
halaman rumah saat cahaya pertama dari fajar, mereka menemukan seluruh
tetangganya berada di depan kandang ayam mempermainkan malaikat, tanpa rasa
hormat sedikitpun, melemparinya makanan lewat bagian-bagian pagar kawat yang
terbuka seolah-olah dia bukan mahluk gaib melainkan binatang sirkus.
Pendeta Gonzaga tiba sebelum jam tujuh, dikejutkan dengan berita aneh.
Ketika penonton lebih tenang daripada yang saat fajar telah datang dan mereka
membuat segala macam dugaan mengenai masa depan si tangkapan. Yang paling
sederhana di antara mereka berfikir bahwa ia seharusnya diangkat menjadi
pemimpin dunia. Pikiran lain yang lebih ekstrim merasa bahwa ia seharusnya
dipromosikan ke pangkat jenderal bintang lima untuk memenangkan semua perang.
Beberapa orang yang suka berkhayal berharap supaya dia dapat ditempatkan di
peternakan untuk membiakkan di bumi ras manusia bersayap yang mampu menjaga
alam semesta. Sayangnya Pendeta Gonzaga, sebelum menjadi pendeta, adalah
penebang kayu yang kuat. Berdiri di depan pagar kawat, mengingat-ingat
catechisme-nya (Pentj. rangkaian pertanyaan formal dan panjang dalam ujian)
sejenak dan meminta mereka untuk membuka pintu supaya dia dapat melihat dari
dekat pria malang itu yang terlihat lebih mirip induk ayam tua di antara
ayam-ayam yang terpesona. Dia berbaring di pojok mengeringkan sayapnya yang
terentang di bawah sinar matahari di antara kulit buah dan sisa sarapan yang
dilemparkan kepadanya oleh pengunjung yang datang lebih awal. Terasing dari
kedurjanaan dunia, dia hanya membuka matanya yang antik dan menggumam sesuatu
dalam bahasanya saat Pendeta Gonzaga masuk ke dalam kandang dan mengucapkan
selamat pagi kepadanya dalam bahasa Latin. Pendeta wilayah pertama merasa
curiga atas penipuan ketika Pendeta Gonzaga melihat bahwa dia tidak memahami
bahasa Tuhan atau kemampuan untuk menyalami Pendeta-nya. Kemudian ia
memperhatikan dari dekat bahwa ia nampak sekali mirip manusia. Dia berbau
kandang yang tak tertahankan. Bagian belakang sayapnya dipenuhi parasit dan
bulu-bulu utamanya teraniaya oleh angin darat dan di dirinya tidak ada
tanda-tanda martabat seorang malaikat. Kemudian dia keluar dari kandang dengan
wejangan yang jelas mengingatkan orang-orang yang penasaran akan bahayanya
bersikap naif. Dia mengingatkan bahwa setan memiliki kebiasaan buruk
menggunakan tipuan karnaval untuk membingungkan orang yang tak berhati-hati.
Dia beralasan bahwa sayap bukan elemen penting dalam membedakan elang dan kapal
terbang, mereka bahkan lebih tidak berarti dalam mengenali malaikat. Namun
demikian, ia berjanji untuk menulis surat kepada Uskup Agung-nya supaya yang
terakhir akan menulis surat kepada Sri Paus Agung untuk mendapatkan putusan
hakim yang terakhir dari mahkamah tertinggi.
Prasangkanya datang dari hati yang bersih. Berita tentang malaikat yang
tertangkap tersebar demikian cepat sehingga dalam beberapa jam halaman rumah
riuh seperti pasar dan mereka harus memanggil tentara dengan bayonet untuk
membubarkan kerumunan orang yang hampir merobohkan rumah. Elisenda, tulang
punggungnya terkilir karena menyapu begitu banyak sampah pasar, kemudian
mendapat gagasan untuk memagari halaman memungut karcis seharga lima sen untuk
menonton malaikat.
Orang-orang yang ingin tahu datang dari jauh. Serombongan karnaval
keliling tiba dengan akrobat terbang yang mengundang penonton di keramaian
beberapa kali, tetapi tak seorangpun menaruh perhatian kepadanya karena sayapnya
tidak mirip dengan sayap malaikat tetapi, lebih mirip dengan sayap kelelawar.
Orang cacat yang paling sial sedunia datang memohon kesembuhan, wanita miskin
yang sejak kanak-kanak menghitung detak jantungnya dan kehilangan beberapa di
antaranya, orang Portugis yang tak dapat tidur karena suara bintang
mengganggunya, orang yang berjalan saat tidur yang terjaga di malam hari untuk
membatalkan apa yang telah dilakukan saat terjaga, dan berbagai macam penyakit
serius lainnya. Di tengah-tengah kegemparan akibat damparan kapal yang membuat
bumi terguncang, Pelayo dan Elisenda bahagia dalam kelelahan, karena dalam
kurang dari seminggu mereka telah memenuhi kamarnya dengan uang dan antrian
peziarah yang menunggu giliran untuk masuk masih menyentuh cakrawala.
Si Malaikat seoranglah yang tidak ambil bagian pada tindakannya sendiri.
Dia melewatkan waktunya mencoba untuk membuat dirinya merasa nyaman di sarang
pinjaman, dibingungkan dengan cahaya keperakaan dari lampu minyak dan lilin
sakramen yang ditempatkan sepanjang pagar kawat. Pada awalnya mereka mencoba
memberinya makan kapur barus, yang mana menurut petuah tetangga wanita bijak,
adalah makanan yang ditentukan untuk malaikat. Tetapi dia menolaknya, seperti
ia menolak menu makan siang Paus yang dibawa oleh orang yang bertobat, dan
mereka tak pernah tahu apakah karena ia adalah malaikat atau karena ia demikian
tua sehingga tidak makan apapun kecuali bubur terung. Satu-satunya mukjizat
gaibnya adalah sikap sabarnya, khususnya selama hari pertama, saat ayam-ayam
betina mematukinya, mencari parasit-parasit yang berkembang biak di sayapnya.
Dan orang-orang cacat mencabuti bulunya untuk disentuhkan ke bagian tubuhnya
yang cacat, dan bahkan orang yang paling berbelas kasihan melemparinya batu,
berusaha membuatnya bangun sehingga mereka dapat melihatnya berdiri.
Satu-satunya saat mereka berhasil memaksanya yaitu ketika mereka membakar
badannya dengan besi membara yang digunakan untuk menandai lembu jantan muda
karena ia tak bergerak selama berjam-jam dan orang-orang menganggapnya mati.
Dia bangun dengan awalan, menceracau dalam bahasa asing-nya dan dengan cucuran
air mata, kemudian dia mengepakkan sayapnya beberapa kali, dan menyebabkan
puting beliung kotoran ayam dan debu bulan dan badai panik yang nampaknya tidak
pernah ada di bumi. Walau banyak menduga bahwa reaksinya bukanlah kemarahan
melainkan kepedihan, sejak saat itu mereka berhati-hati untuk tidak
mengganggunya, karena sebagian besar mengerti bahwa kepasifannya bukanlah
kepasifan pahlawan yang sedang bersantai tetapi kepasifan revolusi yang sedang
tidur.
Pendeta Gonzaga menahan kericuhan orang ramai dengan resep terinspirasi
oleh pembantu wanitanya ketika menunggu kedatangan kesimpulan akhir atas
sifat-sifat tangkapan. Tapi surat dari Roma tidak menunjukkan sesuatu yang
penting. Mereka menghabiskan waktu mencari tahu apakah tangkapannya memiliki
pusar, apakah dialeknya berhubungan dengan bahasa aramaic, berapa kali dia
dapat memasukkan peniti ke kepala peniti atau bukankah ia adalah orang Norwegia
yang mempunyai sayap. Sedikit surat itu tentu akan datang dan pergi sampai
kiamat jika suatu kejadian yang membawa keberuntungan tidak akan mengakhiri
cobaan bagi pendeta itu.
Itu terjadi berkali-kali pada waktu itu, di antara begitu banyak
pertunjukan karnaval, tiba di kota pertunjukan keliling dari wanita yang telah
berubah menjadi laba-laba karena tidak mematuhi orang tuanya. Karcis untuk
melihatnya tidak hanya lebih murah dari karcis untuk melihat malaikat, tapi
orang-orang diizinkan untuk menanyakan segala macam pertanyaan tentang
bentuknya yang ganjil dan mengujinya sehingga tidak ada yang ragu akan
kebenaran cerita yang mengerikan itu. Dia adalah tarantula yang mengerikan
dengan ukuran kambing dan berkepala perawan sedih. Yang memilukan bukanlah
bentuknya yang ganjil, melainkan penyesalannya yang tulus ketika ia
menceritakan rincian kemalangannya. Ketika ia masih kanak-kanak, dia menyelinap
dari rumah orang tuanya untuk pergi berdansa. Dan ketika ia pulang ia melewati
hutan setelah berdansa sepanjang malam tanpa izin, guntur menggelegar
mengerikan membelah langit menjadi dua dan lewat rekahan langit keluar petir
dan batu neraka yang merubahnya menjadi laba-laba. Satu-satunya makanannya
adalah bola daging yang dilemparkan oleh orang-orang yang bermurah hati.
Pertunjukan seperti itu, begitu penuh dengan kebenaran manusiawi dan pelajaran
yang menakutkan, dikemas untuk mengalahkan tanpa sekalipun mencobakannya pada
malaikat angkuh yang jarang berkenan untuk menampakkan wajahnya pada kaum fana.
Selain itu, beberapa keajaiban yang disandang oleh malaikat menunjukkan
sejumlah kelainan mental, seperti orang buta yang tidak pulih penglihatannya
tetapi tumbuh tiga buah gigi baru, atau orang lumpuh yang tidak segera dapat
berjalan tetapi hampir menang lotere, atau penderita kusta yang dari lukanya
tumbuh bunga matahari, telah merusak reputasi malaikat ketika wanita yang telah
berubah menjadi laba-laba akhirnya benar-benar mengalahkannya. Itu sebabnya
Pendeta Gonzaga sembuh selamanya dari insomnia dan halaman Pelayo kembali sepi seperti
saat hujan selama tiga hari dan kepitingpun berjalan-jalan dalam kamar tidur.
Pemilik rumah tak punya alasan untuk bersedih. Dengan uang yang telah
mereka tabung, mereka telah membangun rumah besar bertingkat dua dengan
balkon-balkon dan taman serta jaring tinggi supaya kepiting tidak masuk ke
rumah saat musim dingin dan terali besi pada jendela agar malaikat tidak akan
masuk. Pelayo juga membangun peternakan kelinci di dekat kota dan berhenti
sebagai bailiff untuk selamanya, dan Elisenda membeli beberapa selop satin
dengan tumit tinggi dan banyak baju dari sutra berwarna-warni, jenis yang
dipakai hari minggu oleh wanita-wanita tercantik di kota itu. Kandang ayam
adalah satu-satunya hal yang tidak mendapat perhatian. Jika mereka mengguyurnya
dengan kreolin dan membakar dupa di dalam begitu sering, itu bukanlah
penghormatan untuk malaikat tapi untuk mengusir bau busuk kotoran ternak yang
masih tergantung di mana-mana seperti hantu dan merubah rumah baru menjadi
rumah lama. Awalnya, ketika si anak belajar berjalan, mereka sangat
berhati-hati supaya dia tidak terlalu dekat dengan kandang ayam. Tetapi mereka
mulai kehilangan rasa takut mereka dan terbiasa dengan baunya dan sebelum si
anak tumbuh gigi keduanya dia telah masuk ke kandang ayam untuk bermain, yang
mana pagar kawat sudah tercabik-cabik. Si malaikat tidak kurang terkucil
dengannya daripada makhluk fana lain, tetapi dia menoleransi kekejaman yang
paling memalukan dengan kesabaran seekor anjing yang tak punya ilusi. Mereka
berdua terjangkit cacar ayam bersamaan. Dokter yang merawat si anak tak dapat
menahan godaan untuk mendengar detak jantung malaikat, dan dia menemukan begitu
banyak detak jantung dan begitu banyak siulan di ginjalnya sehingga
kelihatannya tidak mungkin untuknya untuk bertahan hidup. Yang paling
mengejutkannya, bagaimanapun, adalah logika tentang sayapnya. Itu terlihat
begitu alami pada organisme manusia lengkap itu yang tidak dapat ia pahami
mengapa orang lain tak memilikinya.
Ketika si anak mulai sekolah, tiba saat-saat ketika matahari dan hujan
menyebabkan runtuhnya kandang ayam. Malaikat menyeret dirinya ke sana-kemari
seperti orang sekarat yang kesasar. Mereka akan mengusirnya keluar dari kamar
tidur dengan sapu dan sesaat kemudian mereka akan menemukannya di dapur. Dia
terlihat ada di begitu banyak tempat dalam waktu yang sama sehingga mereka
mulai berfikir bahwa dia telah menggandakan diri di seluruh bagian rumah, dan
Elisenda yang jengkel dan gusar berteriak bahwa betapa hidup yang mengerikan
dalam neraka penuh dengan malaikat itu. Dia dapat makan jarang dan matanya yang
antik juga telah menjadi begitu kabur sehingga berkali-kali menabrak tiang.
Yang tersisa darinya hanyalah tulang telanjang dari bulu terakhirnya. Pelayo
membungkusnya dengan selimut dan berbaik hati membiarkannya tidur di gudang,
dan baru kemudian mereka menyadari jika temperatur badannya naik di malam hari
dan mengigau dengan lidah terpilin seperti orang Norwegia tua. Itu adalah
sedikit dari saat-saat mereka merasa khawatir karena mereka berfikir dia akan
mati dan bahkan tetangga wanita yang bijak tidak pula mampu mengatakan apa yang
harus mereka lakukan dengan malaikat mati.
Walau demikian dia tidak hanya bertahan dari musim dinginnya yang
terburuk. tetapi rupanya dia memanfaatkan hari terang pertama. Dia tetap tak
bergerak selama beberapa hari di sudut halaman, di mana tak ada yang akan
memperhatikannya, dan saat awal bulan Desember beberapa bulu besar yang kaku
mulai tumbuh di sayapnya, bulu orang-orangan sawah, yang lebih mirip kemalangan
lain atas kerentaannya. Tetapi dia tentu mengetahui alasan perubahan itu,
karena ia sangat berhati-hati agar tak ada yang memperhatikannya, sehingga tak
ada yang mendengar nyanyian laut yang kadang-kadang ia senandungkan di bawah
bintang-bintang. Suatu pagi, Elisenda sedang mencincang beberapa ikat bawang
untuk makan siang saat semilir angin yang nampak bertiup dari laut masuk ke
dapur. Kemudian dia mendekati jendela dan melihat malaikat saat mencoba terbang
pertama kali. Sayap-sayapnya begitu canggung sehingga kukunya menorehkan alur
di gundukan tanah dan dia nyaris merobohkan gudang dengan kepakan canggung yang
memancarkan cahaya dan tak mampu mendapat keseimbangan di udara. Tetapi ia
berhasil meraih ketinggian. Elisenda menghembuskan nafas lega, untuk dirinya
dan malaikat, ketika ia melihatnya melintasi rumah terakhir, membawa dirinya
terbang dengan kepakan mengkhawatirkan seekor burung nazar pikun. Dia terus
memandanginya bahkan ketika ia selesai mencincang bawang dan dia terus
memandanginya sampai tidak mungkin lagi untuk melihatnya, karena kemudian ia
bukan lagi gangguan dalam hidupnya tetapi titik imajiner di horizon laut.
Diterjemahkan oleh Eka Kurniawan dan pernah dimuat di situs bumimanusia.or.id 28 Mei 2001 - 16:22. Pemuatan di sastrapapua.com atas seijin penterjemah.
0 Komentar