by; Ibiroma Wamla
Ini hari Jumat, sekolah pasti rame. Kayu bakar yang kemarin sudah sa
kumpul, sa angkat ke pundak. Setelah pamit, sa dengan langkah riang
menuju sekolah.
Di jalan, sa ketemu teman-teman, tong jalan
sama-sama sambil cerita dan merencanakan aktivitas setelah pulang
sekolah. Tiga kilo berjalan di antara rimbun pohon yang masih di selimuti
embun membuat kitorang tak merasa lelah.
Tak terasa kitorang
sudah sampai di depan gerbang SD Inpres Bokondini. Kami menuju sebelah
kiri tiang bendera, tepat di depan kelas tiga, di situ sudah ada
tumpukan kayu bakar milik teman-teman yang sudah datang lebih dahulu.
Ya hari Selasa dan hari Jumat adalah hari wajib membawa kayu bakar
untuk guru-guru. Kayu bakar yang kami bawa sebagai pengganti uang
sekolah. Pada waktu itu kami tidak membayar uang sekolah sepeserpun.
Yang di tuntut dari kami hanyalah kemauan untuk sekolah.
Selain
sebagai hari "kayu bakar" hari Selasa dan Hari Jumat adalah hari pasar.
Di Bokondini haya dua hari inilah yang orang bisa datang berbelanja
sayur mayur dan kebutuhan dapur lainnya.
Tentu dua hari tersebut,
hari yang paling ramai, karna masyarakat yang dari kampung terjauh
seperti Abimbak dan Bokoneri (Kampung di perbatasan antara Kecamatan
Karubaga dan Bokondini) pun bisa datang ke kota Bokondini.
Waktu
bel berdentang tanda pelajaran telah selesai dan waktu pulang telah tiba
kami berhamburan keluar, saya dan Abami mencari teman yang di kelas
empat, kami berenam bersepakat untuk tidak melewati jalan umum. Kami
melewati jalan setapak, menuruni jurang dan tiba langsung di pinggir
bandara.
Kitong mulai melompati beberapa kayu di belakang seolah
dan menelusuri jalan setapak. Semak yang rimbun kami sibak agar tidak
menggangu perjalanan, hingga kami tiba kebun buah merah (pandanus
conoideus lamk). Kebun ini berada di bibir sungai, kami berjalan cepat
untuk menghindari lintah.
Air di sungai ini sangat jernih, dan
tentu segar. Di sebelah kanan ada mata air yang keluar dari lereng di
pinggir sungai. Kitorang menuju mata air itu untuk menyegarkan dahaga.
Di mata air itu sudah di pasang daun pandan sehingga air mengalir di
atas daun pandan, kami secara bergantian, ada yang memakai tangan, ada
yang langsung mendekatkan mulut ke bawah daun pandan.
Setalah
segar, kami mulai melompat-lompat dari satu batu ke batu yang lainnya,
resikonya, kalau salah melompat dan menginjak batu yang licin bersiaplah
untuk basah kuyup. Hari itu kami semua berhasil sampai ke seberang
sungai, tak ada yang jatuh.
Kitorang perlahan-lahan bergerak naik
jurang, kontur bebatuan di jurang ini kurang bersahabat. Ada sebagian
batu yang pipih, tipis. Kalau salah menginjaknya kaki bisa luka sobek.
Kurang sepertiga jengkal kitong tiba di atas jurang, sa salah injak
batu, sobeklah separuh telapak kaki hingga bagian dagingnya kelihatan.
Tertatih-tatih sa melangkah di bantu teman-teman. Sampai di atas
jurang, sa pu luka di bersihkan, lalu dengan lincah Abami mencari
rumput. Beberapa batang rumput yang di dapatnya di peras hingga airnya
keluar lalu di siram ke sa pu luka. Pedihnya jangan di tanya, air mata
pun menetes. Bukan karena luka, tetapi karena air dari rumput yang
membuat sa tra tahan.
Rencana mo senang-senang, sial datang.
Kitong berjalan pelan-pelan, saya tidak ikut teman-teman ke pasar. Abami
langsung mengantar saya pulang ke rumah. Setibanya di rumah saya
langsung tidur, karena badan terasa demam.
Sa bangun saat mata
hari mulai hilang di balik bukit yang berada di belakang rumah. Sambil
menunggu listrik dinyalakan, mama menyalakan pelita. Ia menatapku dengan
senyum, "Ko sudah bangun?"
"Iyo mama, sudah,"
Luka di kaki
tidak terasa nyeri lagi. Karena pensaran sa pergi ke dekat pelita lalu
duduk dan memperhatikan luka di telapak kaki. Ternyata sebagian luka
sudah mulai menutup. Obat yang sangat mujarap.
Sa menggeser
posisi duduk, menjauh dari pelita, kalau terlalu lama duduk dekat
pelita, pagi saat bangun tidur hidung pasti mirip knalpot. Hitaaam....
@kabut-071114
Foto; bokondini.blogspot.com