Dinas Pendidikan se-Papua Harus Serius Memikirkan Kurikulum Muatan Lokal

Foto; www.antarafoto.com
Jayapura, Sastra Papua -- Pegiat Budaya Papua, Andi Tagihuma mengatakan, budaya Papua saat ini menuju kepunahan. Oleh sebabnya, Dinas Pendidikan se-tanah Papua perlu serius menanganinya melalui kurikulum muatan lokal di sekolah guna mengangkat eksistensi budaya Papua.

"Antropologi klasik belajar tentang masa lalu untuk melihat masa depan. Sama dengan motto Mambesak 'kita menyanyi dahulu sekarang dan nanti', kita belajar budaya, belajar kembali tradisi lisan dan tradisi lokal," kata Andi kepada majalahselangkah.com, Jumat (09/1/15).


"Dalam taradisi lisan itu (bahasa) ada perumpamaan, nasihat, pantun yang tidak dipergunakan atau di dengar lagi. Seharusnya bisa kita gunakan untuk belajar tentang moral, nilai-nilai kehidupan. Kalau bahasa tidak digunakan pesan-pesan yang terkandung didlamnya akan hilang. Kita punya nilai sangat cepat hilang hanya dalam puluhan tahun, padahal belum sampai ratusan tahun. Ini juga karana hilangnya para penutur," katanya.


"Jadi masing-masing kelompok masyarakat harus mengelola dan menemukan kembali nasihat, nilai-nilai dalam sukunya masing-masing. Kita bisa lihat dari titik mana kita mengangkat budaya untuk dipelajari, karena budaya melingkupi semuanya sisi kehidupan," harapnya.


Ia meminta, pemerintah, dalam hal ini dinas pendidikan fokuskan pada pendidikan muatan lokal (kurikulim). Hal tersebut untuk menjaga dan melesatarikan nilai yang baik dalam satu kelompok atau satu wilayah masyarakat di mana dinas itu berada. Dinas pendidikan Jayawijaya misalnya, mereka harus melestarikan budayanya, begitupula dengan dinas pendidikan di kabupaten lain.


Mengapa di Papua tidak ada satu suku yang dominan?


Kata dia, itu karena tiap suku sudah paham batas wilayah tanah, selain suku keluarga paham batas keluarga. Ketika satu orang mengambil melewati batas wilayah yang bukan miliknya, orang tersebut akan diperingatkan untuk tidak pergi ke batas orang lain.


"Pengetahuan nilai lokal tentang batas wilayah itu yang hilang. Dahulu setiap suku saling menghargai wilayah suku yang lain. Setiap keluarga menghargai keluarga yang lain. Misalanya, orang Wamena tidak akan mengambil tanah orang Yali karena dia tahu batas tanah suku orang Yali. Orang Lani tidak bisa ambil orang Dani pu tanah karena tahu batas wilayahnya. Begitu juga dengan orang Nduga, orang Biak tidak bisa ambil tanah di orang Serui, kecuali sudah terbangun kekerabatan, maka keluarga akan mengikuti keluarga yang berada di satu daerah itu," jelasnya.


"Tanpa melakukan pelesatarian dan menjaga nilai, kita akan menjadi bangsa yang jalan tanpa arah seperti layang-layang yang putus dari talinya," kata Andi. (Hendrikus Yeimo)

Posting Komentar

0 Komentar