Potret Interaksi yang Mendalam


Foto: Raka Denny/Jawa Pos
Keunikan ragam budaya dan kehidupan suku pedalaman menjadi ketertarikan Evi Aryati Arbay sejak lama. Perempuan yang lahir di Jakarta 35 tahun silam itu sering berinteraksi dengan suku-suku pedalaman. Buku etnofotografi Dani the Highlander menjadi saksi ikatan eratnya dengan suku Dani di Papua.


BUKU setebal 230 halaman itu di-launching tepat pada perayaan ke-25 Festival Lembah Baliem 7 Agustus tahun lalu. Evi mengungkapkan, pembuatannya tidak mudah. Pertama berkenalan dengan suku Dani pada 2003, perempuan yang lahir di Jakarta 30 Juni 1979 tersebut langsung jatuh cinta.

Aktivitasnya sebagai tour operator yang mengkhususkan pada destinasi petualangan, remote area, membuatnya sering berinteraksi dengan suku-suku pedalaman. Anak kedua dari tiga bersaudara itu tidak sulit melakukan pendekatan kepada mereka. ’’Secara alami saja. Selama kita niatnya baik, mereka pasti menyambut baik,’’ tuturnya saat ditemui di kantornya, Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, pekan lalu.

Ya, Evi merupakan PNS di kementerian tersebut. Alumnus jurusan Akuntansi STIE Ramawangun itu menjalani profesinya sebagai abdi negara sekaligus tetap memenuhi passion-nya terhadap kultur budaya. Bergabung dengan pencinta alam semasa kuliah, kemudian magang di beberapa travel agent, membuatnya melihat fenomena bahwa orang-orang di pedalaman Indonesia sulit mengembangkan wilayahnya. Lewat Indonesia Trip Advisor yang dibentuk, Evi ingin menjadi advisor bagi pengembangan wilayah pedalaman.
’’Media sosial, banyaknya komunitas jalan-jalan, klub fotografi, sangat berpengaruh meningkatkan pariwisata domestik,’’ ungkapnya. Bila sebelumnya peminat wisata remote area didominasi turis asing, sekitar lima tahun belakangan jumlah wisatawan domestik mulai meningkat.

Februari 2012, ketika mengantar rombongan antropolog AS berkeliling Papua selama sebulan, Evi ditanya mengapa orang Indonesia tidak menulis tentang suku-suku pedalaman yang menyimpan kekayaan budaya. Dia merasa tertantang. ’’Saya bilang, nanti saya yang akan menulis,’’ ujarnya.

Beberapa lama ide itu sempat menguap, Evi lantas teringat bahwa Agustus 2014 merupakan perayaan 25 tahun Festival Lembah Baliem. Dia bertekad menyusun buku sebagai kado untuk masyarakat Dani. Mulailah dia menginventarisasi foto sejak 10 tahun silam. Evi memutuskan membuat buku etnofotografi. ’’Lebih banyak bercerita lewat foto, menggambarkan tradisi suku Dani,’’ ucapnya.

Suku Dani merupakan suku paling dominan yang menyebar di hampir seluruh wilayah Papua. Evi menguraikan, suku Dani memiliki berbagai tradisi unik. Di antaranya, bakar batu yang tidak sekadar acara makan bersama, tetapi menunjukkan rasa persaudaraan yang kuat. Ada pula tradisi membuat mumi bila ada kepala suku atau orang yang dihormati meninggal. Serta, tradisi potong jari terhadap perempuan Dani sebagai wujud duka cita mendalam ketika anggota keluarganya meninggal.

Setelah pembuatan sekitar satu setengah tahun, buku bertajuk Dani the Highlander tersebut diluncurkan pada momen istimewa, 7 Agustus 2014. Kali pertama, launching buku dilakukan di Lembah Baliem, Wamena, karena bukunya pun lahir di sana, dengan ekpose media asing maupun lokal. ’’Isu disintegrasi menguat dalam dua tahun terakhir. Buku ini untuk menjawab isu tersebut bahwa kita adalah satu kesatuan,’’ tuturnya.

Memuat 383 karya foto Evi selama perjalanannya menelusuri Lembah Baliem, buku tersebut menyelami kehidupan masyarakat Dani. Itu menjadi bukti potret interaksi yang mendalam. Bahkan, saking dekatnya, dia sudah dianggap bagian dari keluarga Mabel dan mendapat marga Mabel di belakang namanya.
Menjelajah wilayah-wilayah pedalaman membuatnya bangga menjadi orang Indonesia. Komunikasi dengan suku pedalaman dilakukan dalam bahasa Indonesia. ’’Bahasa Indonesia jadi pemersatu. Meski terpisah jauh, berbeda pulau dari ujung ke ujung, menggunakan bahasa Indonesia. Saya rasa tidak ada negara lain yang seperti ini,’’ ungkapnya. (nor/c19/dos)

Sumber; Jawapos.com

Posting Komentar

0 Komentar