Tiga Sandera Terakhir + GIVEAWAY

Oleh; Luckty Giyan Sukarno

Judul                       : Tiga Sandera Terakhir
Penulis                    : Brahmanto Anindito
Penyunting              : Hermawan Aksan, Miranda Harlan
Penata aksara         : Aksin Makruf
Desainer sampul      : Oesman
Penerbit                  : Noura Books
Terbit                      : Mei 2015
Tebal                       : 309 hlm.
ISBN                      : 978-602-0989-47-1

Perang suci ini harus kita menangkan. Penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan! Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan! (hlm. 14)


Penyanderaan brutal terjadi di sebuah desa di Papua. Korbannya lima orang –warga negara Indonesia, Australia dan Prancis. Semua telunjuk segera mengarah ke OPM, Organisasi Papua Merdeka. Namun, OPM sendiri menyangkalnya. Mereka menegaskan bahwa pihaknya sudah lama tidak menggunakan cara-cara ekstrem seperti itu, demi perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Lantas, siapa dalang penyaderaan itu? TNI enggan berteka-teki terlalu lama. Satuan Antiteror Kopassus di bawah pimpinan Kolonel Larung Nusa segera diturunkan ke Bumi Cenderawasih. Tapi, malang tak bisa ditolak. Korban malah berjatuhan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus. Salah seorang anggota bahkan dinyatakan hilang secara misterius di belantara Papua.

“Kamu punya rumah, kami tak punya. Kamu punya tanah, kami tak punya. Kami ini dijajah sendiri. Sekarang, Indonesia kas balik apa yang kami, OPM, mau.” (hlm. 26)

“Sejak kapan Indonesia menjajah Papua? Bukankah Papua sendiri yang memilih bergabung dengan Indonesia, alih-alih Belanda, sang penjajah yang sebenarnya?” (hlm. 43)

Menurut WIKIPEDIA, Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan. Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.

Bahkan sampai saat ini, OPM masih beredar di luaran sana. Sebenarnya bukan tanpa alasan mereka ingin merdeka. Jangankan mereka yang tinggal di Papua, saya saja yang tinggal di ujung Sumatera paling dekat dengan Pulau Jawa, sangat merasakan perbedaan pembangunan antara di Pulau Jawa dan Pulau Luar Jawa. Ketika Pulau Luar Jawa memiliki kekayaan berlimpah tetapi dieksplorasi terus menerus, pembangunan justru berpusat di Pulau Jawa melulu. Tanya kenapa?!?

Saya jadi teringat, Mbak dari ibu sambung saya yang sekarang tinggal di Timika mengikuti suaminya yang bekerja di sana. Dia pernah bercerita, jika biaya hidup di sana lumayan jauh berbeda dibandingkan hidup di Metro (kota yang saya tinggali memang termasuk lima besar kota dengan biaya hidup termurah se-Indonesia). Uang seratusribuan berasa kayak uang sepuluhribuan. Oya, dia juga pernah bilang, jika kompleks yang dia tinggali hampir seratus persen adalah pendatang seperti dirinya. Rata-rata cari uang, yang nantinya suatu saat bakal ke kota masing-masing dan meninggalkan Papua. Lalu kemanakah rakyat asli Papua?!?

“Kamu tahu, kenapa pembangunan Papua sangat lambat? Karena Indonesia hanya pikirkan Jawa! Papua tanah kaya, tapi penduduknya miskin. Lihat saudara-saudara kami di Papua Nugini. Mereka makmur semua!” (hlm. 53)

“Kalian semua sama saja! Pigi ke tanah kami, untuk apa? Untuk menguasai kitorang pu pasar!mengeruk kitorang pu uang!” (hlm. 66)

Jika buku ini membahas OPM, di buku Engkau Angin, Engkaulah Samudera yang ditulis Tasaro GK membahas GAM. Meski berbeda cerita, benangnya merahnya setipe. Sama-sama membahas pergerakan kemerdekaan agar lepas dari Indonesia dengan berbagai alasan. Meski buku ini merupakan kisah fiksi, tapi sangat terasa sekali nuansa risetnya yang bisa dikatakan seperti kisah nyata. Ya, kisah ini menurut penulisnya terinspirasi dari tragedi penyanderaan para peneliti Lorentz selama 130 hari di desa Mapnduma, Irian Jaya. Penyanderaan itu terjadi pada 8 Januari 1996. Kisah penyanderaan dan pembebasan para sandera ini dibukukan dalam sebuah buku yang berjudul “Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapenduma“, yang ditulis oleh Ray Rizal dan dilanjutkan oleh Nina Pane, berdasarkan penuturan Adinda Arimbi Saraswati, salah seorang sandera yang selamat.

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Penampilan selalu bisa menipu. (hlm. 13)
  2. Hanya dibutuhkan sepotong ucapan keliru untuk memantik sebuah pembantaian. (hlm. 18)
  3. Harus berani! Harus kuat! Malu, dong, kalau suka mabuk begitu! (hlm. 21)
  4. TNI, bahkan pasukan elitenya, tak lebih dari ayam sayur. (hlm. 167)
  5. Kapan Papua bisa maju, kalau orang-orangnya masih banyak yang model begini? (hlm. 192)
  6. Jangan pura-pura lagi. (hlm. 201)
Ketika susah mereview sebuah buku sebenarnya hanya ada dua alasan; buku itu jelek jadi nggak bakal kuat selesai membacanya atau buku itu benar-benar bagus jadi sampe bingung mereviewnya biar nggak spoiler. Nah, buku ini tipikal yang kedua. Saya berusaha tidak membocorkan isinya. Dari halaman pertama saja sudah terasa sekali nuansa ala-ala thriller. Ya, ini adalah novel thriller kedua yang terbit tahun ini menjadi favorit setelah Misteri Patung Garam-nya Mbak Ruwi Meita. Jika di buku Misteri Patung Garam, pilihan tokoh favorit jatuh pada sosok Kiri Lamiri, di buku ini pilihan favorit jatuh pada Larung Nusa. Ah, seandainya di Indonesia ada dua orang militer yang benar-benar seperti mereka ini di dunia nyata, pasti banyak kasus di Indonesia yang terungkap! Butuh sekuel nih!


Posting Komentar

0 Komentar