Oleh: Selphy Emigay Yeimo *)
Foto : Selfhy Yeimo (kanan) bersama Pdt.Dr. Beny Giyai (kiri) |
DALAM Antropologi menjelaskan bahwa secara universal ada
tujuh unsur kebudayaan di setiap komunitas, suku/etnik, kaum, dan bangsa. Tujuh
unsur kebudayaan yang dimaksudkan adalah Bahasa, kesenian, organisasi sosial,
Teknologi atau peralatan hidup, religi, sistem pengetahuan dan sistem
mata pencaharian hidup.
Tujuh unsur kebudayaan ini tentunya tidak terlepas dari
kehidupan setiap insan. Dan ketujuh unsur ini saling berkaitan antara satu dan
lainnya.
Jika salah satu dari ketujuh unsur ini tidak diwariskan dari generasi
satu kepada generasi berikutnya maka akan berujung pada punuhnya
unsur tersebut.
Penulis akan lebih menjelaskan pada salah satu unsur
kebudayaan yaitu Bahasa. Sebagaimana kita ketahui, bahasa terdiri atas
kata-kata atau kumpulan kata.
Masing-masing mempunyai makna, yaitu, hubungan
abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili
Kumpulan kata atau kosakata itu oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis, atau
menurut urutan abjad, disertai penjelasan artinya dan kemudian dibukukan
menjadi sebuah kamus atau leksikon.
Bahasa pada intinya adalah penunjuk atau
pengenal diri atau indentitas dari pada suatu etnik atau suku. Seseorang dapat
diketahui dari mana asalanya dari apa yang diucapkannya.
Kita kembali melihat Papua dengan jumlah bahasa
yang tersebar disetiap etnik, di Papua terdapat 276 bahasa yang
tersebar dari Sorong hingga Merauke. Begitu kompleks dan sangat beragam.
Dengan adanya beragam bahasa ini membuat Papua lebih unik dan menarik untuk
dipelajari, di telusi dan diteliti. Kebudayaan yang ada di Papua sesungguhnya
lebih banyak masih berupa lisan yang diucapkan. Jumlah sebanyak 276 bahasa
memang tidak sedikit.
Dalam Tulisan ini penulis ingin menjelaskan satu
masalah krusial yang mengancam Kehidupan generasi muda papua di
atas tanahnya sendiri yaitu "Masalah KEHILANGAN IDENTITAS diri
sebagai bangsa Papua yang sejati".
Pertegas lagi bahwa ketika kita berbicara
tentang bahasa maka kita berbicara yang berhubungan dengan Identitas yang kian menepi disenja kelabu.
Menurut salah satu dosen antropologi Fisip Uncen “Bapak Hanro Lekitoo” Bahasa Di Papua yang adalah 276 bahasa 5
diantaranya sudah punah. Daerah–daerah yang bahasanya telah punah antara lain
di daerah Teluk Wondama yaitu dua bahasa, di Waropen satu bahasa,
diperbatasan satu bahasa yaitu bahasa Nambla dan di daerah Kaimana satu bahasa
yaitu bahasa Pitjit iha.
Sementara itu menurut penelitian Jurusan antropologi
angkatan 2009 Dalam PPL satu distrik Depatre, Kabupaten Jayapura, dalam
seminar penelitian yang dipresentasikan bahwa secara garis besar penutur
bahasa daerah di Kampung-kampung yang tersebar di Distrik ini mengalami
perubahan yang sangat besar.
Hampir generasi muda di daerah ini telah
meninggalkan tradisi budaya mereka salah satunya yaitu bahasa. Dalam seminar
PPL Satu para mahasiswa ini menjelaskan bahwa Penutur bahasa yang ada
yaitu kurang lebih diatas usia 30-40 tahun ke atas. Sementara generasi di bawah
dari itu lebih banyak menggunakan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Punahnya bahasa di beberapa daerah di atas serta situasi riil dalam kehidupan
generasi muda di lapangan saat ini menunjukkan bahwa akan ada ancaman
serius bagi generasi muda dalam hal kehilangan identitas di atas
tanahnya sendiri.
Berikut akan dijelaskan
beberapa faktor mengapa bahasa itu dapat Punah di Papua:
1. Pengaruh IPTEK dan Globalisasi
Penutur bahasa di Papua punah terutama di kalangan
generasi muda, karena generasi mudanya lebih menggunakan bahasa yang datang
dari luar atau bahasa asing.
Banyak generasi muda Papua yang beranggapan bahwa
menggunakan bahasa daerahnya itu merasa dirinya kuno, kampungan, tidak gaul dan
lainnya. Sehingga menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Dan
tidak menggunakan lagi bahasa daerahnya.
2. Sistem pendidikan yang diterapkan di Papua
Sistem pendidikan yang diterapkan Di Papua pun sangat
berpengaruh terhadap kelestarian bahasa yang adalah identitas diri sebagai
Orang Papua. Ada tiga kelompok kategori pendidikan di Papua dari zaman
Gereja hingga saat ini.
a. Lembaga Pendidikan Yayasan oleh Gereja.
Setelah gereja masuk di tanah Papua, Gereja lebih
dahulu mempelajari budaya, adat istiadat, kebiasaan, dan filosofi hidup
masyarakat Papua sehari-hari.
Setelah para misionaris mempelajari semua itu,
kemudian orang asli setempat dikaderkan untuk membantu mereka. Sebagian
dikaderkan menjadi guru buta huruf, perawat, tukang kebun, nelayan, bertani,
tukang bangunan, juru masak, penjahit dan lainnya. Dan Alkitab yang adalah
Kitab Suci kaum nasrani diterjemahkan kedalam bahasa masyarakat setempat.
Sehingga mencapai tujuan utama dari penginjilan.
Sistem yang dipakai lembaga-lembaga pendidikan
berbasis Yayasan seperti YPK, YPPK, YPPGI, dan Advent adalah memproteksi
nilai-nilai budaya bangsa Papua, "Memanusikan manusia Papua dalam ke-Papua-an."
Tenaga pengajar yang bertugas di kampung- kampung kebanyakan mengajar dengan
pengabdian tinggi. Sehingga identitas diri dari bangsa Papua dapat dilestarikan
dari generasi tua kepada generasi muda.
b. Pendidikan di masa Pendudukan Belanda
Pendidikan di masa pendudukan Pemerintah Belanda secara
nyata dimulai sejak 1960-an. Pendidikan di masa ini dikenal dengan istilah Papuanisering
atau Papuanisasi di segala bidang sebagai langkah mempersiapkan
orang–orang Papua yang akan menduduki dan mengisi kemerdekaan.
Seperti
pendirian Sekolah Pamong Praja di lembah Makanwai – Kota NICA dan kini dirubah
Pemerintah RI menjadi Kampung Harapan. Sekolah Pelayaran Di Hamadi. Sekolah
Teknik di Kotaraja luar, kini SMK N 3.
Pemerintah Belanda mengaderkan orang Papua menjadi
juru masak, juru ketik, mekanik, perawat, ahli bangunan, pamong praja,
mengkaderkan orang Papua dalam bidang politik, membantu dan mempersilakahkan
orang Papua mendirikan partai politik dan sebagainya. Sehingga orang
Papua benar-benar diberdayakan. Dan kebudayaan mereka pun dapat terlestarikan.
c. Pendidikan di masa Pendudukan Pemerintah Republik
Indonesia.
Setelah menduduki tanah sejak 1 Mei 1963, Pemerintah
Indonesia melakukan penghancuran dan membunuh sistem pendidikan yang
dijalankan oleh lembaga gereja dan pemerintah Belanda.
Sistem pendidikan
dari tingkat Sekolah Dasar (SD) –Perguruan Tinggi (PT) pendidikan yang
membunuh indentitas ke-Papua–an dan menggantinya dengan Ke-Indonesia-an.
Contoh kasus Sekolah–sekolah yang bestatus YPK, YPPK, YPPGI, Advent
dan banyak yang dirubah menjadi Negeri, atau paling tidak kurikulum
bersifat sentralistik, yaitu Jawanisme.
Setelah sekolah–sekolah ini dirubah
kenegri/Inpres maka kurilum yang digunakan dalam bahan ajar pun dirubah. Yang
sebelunya masih menggunakan kearipan lokal menjadi namun pelajaran yang
diberikan antara lain, Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan ( PPKN), Pancasila, UUD 1945.
Mata
pelajaran ini diajarkan secara terus menerus. Diajarkan sejarah-sejarah yang
terjadi di Pulau Jawa. Mengapa dikatan Jawanisasi? Mari simak sontoh sederhana
berikut ini “ Ini ibu Budi….. Ini Bapa Budi….. Wati kakak Budi…. Budi Pergi
ke sawah……….. Sawah Budi Itu Subur…. dan sebagainya yang sama
sekali asing dan tidak pernah terbayang di dalam benak dan pikiran
Bangsa Papua. Di Papua tidak ada sawah, jarang ada nama Budi, Wati dan lain –
lainnya.
d. Kurangnya Pendidikan Orang Tua Dalam
Mewariskan Bahasa kepada Anak- anak (Generasi selanjutnya).
Pendidikan paling mendasar ada didalam keluarga.
Keluarga adalah komunitas terkecil dari masyarakat. Pendidikan dasar diperoleh
di dalam keluarga. Biasanya apa yang diterapkan atau ditanamkan
dirumah seperti itulah karakter seorang anak terbentuk. Kembali kepada punahnya bahasa di kalangan generasi mudah Di Papua.
Terkadang dalam hal pewarisan bahasa di lupakan, para
orang tua lebih memilih menggunakan bahasa sehari-hari dalam rumah dengan
bahasa Indonesia sedangkan bahasa daerahnya tidak.
Hal inilah yang mempengaruhi
generasi selanjutnya tidak dapat menuturkan lagi bahasa yang adalah indentitas
diri itu. Dalam hal ini juga terjadi karena faktor orang tua yang melakukan
perkawinan campur. Sehingga bahasa kedua orang tua tidak digunakan dalam
percakapan sehari-hari.
Akhir dari tulisan saya, bahwa penggunaan bahasa daerah
sangat penting sekali karena dengan bahasa maka indentitas kita akan dikenal.
Satu unsur dari kebudayaan ini sangat penting sekali bagi kehidupan suatu suku
bangsa. Jika satu unsur kebudayaan ini tidak digunakan lagi maka akan
mempengaruhi unsur kebudayaan lainnya.
Ada beberapa hal yang musti dilakukan oleh generasi muda Papua, orang tua dan juga pemerintah agar bahasa daerah itu dapat terjaga
dan terlestarikan:
1. Orang tua sebagai guru utama dalam masa tumbuh kembang anak-anak nya setidaknya dapat mengajarkan bahasa daerah. Jika bisa terapkan aturan rumah dengan memajang slogan di depan rumah “RUMAH INI WAJIB BAHASA BIAK“ jika etnik Biak begitu pula dengan keluarga etnik lainnya.
2. Saran bagi para orang tua yang melakukan perkawinan campur dengan etnik yang berbedah maka ajarilah kedua bahasa baik itu bahasa ayah dan ibu sekaligus.
3. Bagi generasi muda, pengaruhi globalisasi itu harus terjadi sesuai dengan perkembangan zaman namun tidak menuntutp kemungkinan kita menggunakan bahasa asing lalu meninggalkan bahasa etnik kita. Dengan anggapan yang dangkal (misalnya; kuno, kampungan, ketinggalan zaman, tidak gaul dan lain –lainnya).
4. Bagi pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten ingatlah bahasa adalah pemberian Tuhan dan harus dilestarikan. Jik bisa bahasa di masukan didalam kurikulum pelajaran di TK, PAUD, SD dan seterusnya di Papua. (*)
Catatan; Seblumnya Tulisan ini pernah dmuat di www.suluhpapua.com.
Penulis adalah Alumna Antropologi Fisip-Uncen
Jayapura*)
0 Komentar