Sebuah papan
dengan terang memberi harapan. Semangatku kembali bangkit setelah beberapa kali
gagal menemukan kamar kos di kota ini. Setiap tempat yang aku hampiri selalu
memberi jawaban yang sama. Kos penuh.
Di ujung
jalan sempit, di Daerah Istimewa ini, semangatku menggebu meski peluh terus
menembusi kulitku yang kian menghitam. Seorang laki-laki paruh baya sedang asik
mengulum rokok pada pelataran salah satu kamar kos tempat papan tadi berdiri.
Untuk meyakinkan
diriku sendiri, kuberanikan diri mengusik kesibukannya merokok, “Masih ada kamar kosong kah kaka?”
“Masih ada
mas” jawabnya singkat sambil menunjuk papan yang tepat berada di belakangku
Aku
mengulang tulisan pada papan tersebut di kepalaku: “Kos pria, masih ada yang kosong”.
Lagi aku
bertanya pada laki-laki itu, “Kaka, Pemilik Kosnya ada ka?”
Ia berdiri
dan mengajakku ke bangunan yang terletak di samping kos. Aku mengekor dari
belakang. Tas yang melekat di punggungku terasa sedikit ringan dan koper kecil
di tangan kananku pun menjadi semakin enteng. Pencarianku sebentar lagi
selesai.
Ia mengetuk
pintu depan bangunan tersebut, tak lama kemudian seorang bapak dengan kumis tipis
di atas bibirnya muncul di hadapan kami. Matanya langsung menatap ke arahku.
“Pak ini ada
mahasiswa baru yang cari kos” demikian laki-laki tadi memberitahukan maksud
kehadiranku. Setelah itu ia berlalu, meninggalkan aku berdiri sendirian di hadapan
pemilik kos. Tengah bingung hendak memulai dari mana, bapak pemilik kos itu
sudah bicara terlebih dahulu.
“Maaf ya de,
kos di sini udah penuh”
Laki-laki yang
tadi mengantarku belum begitu jauh meninggalkan kami, ketika ia mendengarkan
ucapan bapak kos tersebut. Ia spontan berbalik, aku melirik padanya. Ada
kerutan tipis pada dahi dan matanya memicing seperti keheranan.
****
Ketika
melewati papan pemberitahuan itu lagi, aku masih menyimpan tanda tanya yang
besar. Aku yakin sekali bahwa mataku tidak salah melihat. Papan itu jelas
memberitahukan bahwa masih ada kamar yang kosong. Aku teringat ayah. Mungkin nasehat
ayah yang didengungkan setiap pagi terlalu dalam menancap pada pikiranku.
Setiap hari, saat matahari akan berjanjak naik, dengan pakaian sederhana yang
menggantikan kotekanya, ayah selalu berpesan
“Ko jangan
terus saja mimpi sehingga ko tidur lama sekali gara-gara mimpi tarlalu enak.
Bangun dan pikirkan sesuatu karena seluruh dunia pasti bantu ko untuk dapat
itu”
Entah dari
mana ayah memungut kata-kata itu, aku baru sadar sebagian kata-kata itu mirip
dengan tulisan Paulo Coelho dalam Alchemis yang kutemukan di atas meja kos mas
Oyik saat pertama kali menginjakkan kaki di Jogja.
Tak pernah
sekali pun aku mempertanyakan dari mana asal kata-kata itu, yang pasti aku seperti
merasakan kekuatan darinya. Ayahku yang tak mengenal huruf sama sekali, tentu
tak pernah tahu Paulo Coelho, apalagi soal kalimat-kalimat bijak yang ia
tuliskan. Ayahku, sama seperti aku, tidak peduli tentangnya, karena kami yakin kata-kata
itu nyata dalam hidup kami yang begitu sederhana di pelosok negeri. Kami yang
hanya mampu memandang langit berkabut setiap hari. Sesekali pada langit itu,
pesawat AMA jenis Pilatus melintas menghindari bukit hingga turun dengan suara
keras menghantam kerikil kecil di bandara Netahua yang miring.
Bagiku,
kenyataan hiduplah yang melahirkan kata-kata tersebut. Kenyataan hidup kami
yang mengharuskan kami berusaha keras. Aku selalu takut bermimpi, karena
kedinginan di Samenage akan membuatku terlelap dan enggan bangkit. Namun, tidak
jarang aku juga mengidamkan sesuatu yang membuatku berhasil menyentuh mobil di
Wamena, atau melihat motor yang tak jatuh meski tak ada yang menopangnya. Aku
memimpikan pendidikan yang lebih tinggi dari Sekolah Dasar yang seringkali tak
ada gurunya. Aku berhasil menggapainya di Wamena melalui bantuan banyak orang
yang juga tidak begitu aku kenal.
Sayangnya,
kata-kata itu justru membuatku bingung saat ini. Aku tak menemukan kenyataan
yang tergambar indah itu di sini. Padahal aku begitu yakin sebelumnya, apa yang
aku idamkan bisa aku dapatkan di kota ini. Kini keyakinan itu perlahan surut.
Penerimaan dan bantuan dari Mas Oyik di kota ini sempat membuatku percaya, aku pasti
berhasil di sini. Akan tetapi hanya Penolakan demi penolakan yang aku terima.
****
Laki-laki
paruh baya yang mengantarku menemui bapak kos tadi telah kembali ke tempatnya semula
menikmati rokok. Sisa kerutan pada wajanya masih ada. Keringat di wajah hitamku
membuatnya iba sehingga ia menawarkan segelas air putih. Aku sedang menyesap
air minum tersebut dengan serius ketika dua orang pria tiba-tiba masuk ke
halaman kos-kosan terus menuju ke bangunan samping, tempat rumah bapak kos berada.
Sepertinya mereka sedang mencari kamar kos, sama sepertiku. Kupastikan bahwa
mahasiswa baru tadi akan tertunduk lesu sepertiku.
Aku
berpamitan pada laki-laki baik hati yang sudah menawarkan bantuan dan air minum
di siang terik ini. Tetapi ia menahanku untuk melihat apa yang akan terjadi. Meskipun
bingung dan tidak mengerti, aku turuti saja permintaannya. Tak lama kemudian,
kedua pemuda tadi muncul bersama bapak kos menuju salah satu kamar yang kosong.
Aku tak percaya pada apa yang terjadi. Tapi aku tak punya kuasa untuk sekedar
bertanya atau marah. Pemuda baik hati itu tiba-tiba bicara, “Sudah
sering begitu. Anak-anak Papua selalu ditolak di kos-kosan ini meskipun masih
banyak kamar kosong. Hm..aku akan coba membantumu, kamu tak perlu kecewa atau
sedih.”
Aku masih
diam. Sementara ia terus bercerita.
“Bapak Kos
selalu menolak mahasiswa asal Papua. Alasannya karena mahasiswa Papua suka
membuat keributan, minum sampai mabuk dan juga beberapa dari mereka sangat
separatis.” Ia berdehem sebentar lalu melanjutkan lagi, “Apa
kurangnya pemerintah sehingga orang Papua ingin memisahkan diri. Terlalu banyak
uang yang mengalir ke Papua tetapi orang Papua masih ingin berpisah dari
Indonesia. NKRI itu harga mati, terlalu banyak orang Jawa yang dulu menjadi
korban saat membebaskan Papua dari penjajahan Belanda. Mereka itu adalah
Pahlawan yang membuat orang Papua sekarang ini tidak dijajah oleh Belanda lagi.
Orang Papua harusnya bersyukur pada pemerintah bukan malah memberontak.” ungkap
pemuda tadi mengulang kata-kata yang pernah disampaikan bapak kosnya.
Aku menyimak
dan merenungkan pendapat pemilik kos yang muncul dari kenangan laki-laki itu.
Pemikiran itu menyakitkan. Mengapa perjuangan kemerdekaan oleh bangsa Papua
dipandang sebagai separatisme. Kami orang Papua menginginkan kemerdekaan. Itu
bukan separatisme. Bagi kami, berpisahnya Papua hanya konsekuensi dari
kemerdekaan yang tidak kami temukan dari Negara ini.
Laki-laki
itu berbicara lagi, “Aku heran,
mengapa persoalan perjuangan kemerdekaan justru dihubungkan dengan penerimaan
mahasiswa Papua dengan tempat tinggal di perantau. Ini tidak benar. Mungkin
kami yang beda Suku ini harusnya berpikir, kenapa orang Papua ingin merdeka.
Secara pribadi menurutku, perjuangan kemerdekaan itu bisa terjadi karena adanya
penindasan. Kalau pemerintah Indonesia tidak ingin orang Papua berjuang untuk
merdeka, maka hentikan penindasan terhadap bangsa Papua. Seperti yang terjadi
di sini beberapa waktu lalu. Itu juga merupakan penindasan. Mahasiswa Papua
sering sekali didiskriminasi, termasuk kawan-kawan saya sendiri. Kasihan
mereka. Mereka bilang itu yang memicu mereka untuk memperjuangan kemerdekaan
Papua.”
Laki-laki
itu terus bicara, sementara aku hanya diam dan memikirkan kenyataan bahwa lahir
sebagai orang Papua di zaman ini berarti siap untuk ditangkap, disiksa, dibunuh
juga ditolak di kota istimewa ini. Mungkin juga di kota lain di Indonesia
termasuk di Papua sendiri.
Kutinggalkan
nomor hapeku padanya lalu pergi tanpa sempat menanyakan siapa namanya.
****
Mas Oyik
menjemputku di mulut gang di mana kos tadi berada. Tanpa bersuara aku naik ke
atas motor dan kami pun berlalu. Aku hanya ingin kembali ke tanahku, Papua. Di mana
kata-kata yang aku yakini itu selalu mendapat makna dalam hidup. Di sini, di
dunia yang dipadati sekolah dan pengetahuan bahkan ilmuwan, kata-kata itu justru tidak mendapat tempat samasekali. Kebaikan
Mas Oyik dan sang laki-laki tadi seolah-olah menjadi seperti iklan yang membuat
tempat ini masih istimewa. Selebihnya, kata-kata dari mulut renta ayahku tak
mewujud di sini. Mungkin aku terlalu naïf atau memang begitu saja mempercayai
segalanya dapat dengan mudah didapatkan.
“Jogja tidak
seperti dulu lagi. Sekarang agak susah bagi masyarakat menerima mahasiswa Papua
di kosnya, tapi kita jangan putus asa, masih banyak orang yang baik dan
bersedia menerima mahasiswa Papua, sebagaimana masih banyak mahasiswa Papua
juga yang baik. Tidak seperti yang dipikirkan orang-orang” begitu pesan Mas
Oyik sebelum mengantarku mencari kos
Sore ini, dengan
harapan yang besar, aku justru mendapatkan kekecewaan yang sama besarnya. Seandainya
aku bisa memilih, aku tidak pernah mau terlahir hitam dan keriting pada
keluarga miskin di pedalaman Papua. Aku akan memilih lahir sebagai anak seorang
pejabat kaya, berkulit putih dengan rambut lurus yang bisa membantuku menggapai
apa saja yang aku idamkan.
Tapi aku tidak
tega membiarkan teman-temanku di Papua mengalami nasib ini. Aku tak akan pernah
mau memilih lahir dari pejabat kaya di negeri yang membuatku dan teman-temanku
seperti pengemis di negara ini. Aku akan memilih memindahkan kemiskinan,
kemelaratan dan penyiksaan dari Papua ke lautan, sehingga aku dan teman-temanku
bisa menikmati hidup itu. Andai saja.
+-+Selesai+-+
0 Komentar