Oleh; Oleh; Ley Hay*
Peta Tambrauw |
Aybogiar dalam suhu sepuluh
derajat celcius di waktu pagi. Suhu seperti ini tentu membuat Pohef enggan
meninggalkan rumah pondoknya. Pohef adalah seorang lelaki remaja yang tangguh,
tangannya cukup kuat untuk mengangkat beban berat. Pohef bermukim di Kampung
Aybogiar (salah satu kampung di Kabupaten Tambrauw), bersama saudara laki
lakinya Masar. Kepribadian Masar tentu berbeda dengan Pohef, Masar dikenal
sebagai orang yang baik dan pekerja keras sedangkan Pohef cenderung cerdik dan
agak malas, padahal kondisi fisik Pohef lebih berstamina dibandingkan Masar.
Pohef selalu mencari alasan untuk tidak melakukan pekerjaan berat, ia cenderung
menyuruh Masar.
Kampung Aybogiar memiliki sedikitnya tujuh
rumah yang berpenghuni, Kondisi topografinya tidak datar, begitupun dengan
kondisi geografisnya yang sulit dijangkau. Jalan menuju kampung ini berliku
liku, dan banyak jurang yang terjal. Perkembangan kampung ini belum seperti kampung lain yang telah
memiliki jaringan listrik, sehingga kampung ini benar benar jauh dari
keramaian.
Suhu pagi ini tentu membekukan semangat Pohef,
ia masih saja terbaring pulas dan tak berinisiatif untuk melakukan apapun,
sedangkan Masar. Ia telah dahulu bangun dan membuat bara api untuk menghangatkan
tubuhnya. Pagi ini, Masar sedang berpikir untuk mendapatkan bahan makanan. Ia
memutuskan untuk masuk hutan hendak memburu beberapa binatang, namun selain berburu, Masar kadang mencari
beberapa tanaman obat untuk diramu.
Kepercayaan tentang khasiat
tanaman hutan sudah ada sejak Yefun menciptakan alam semesta (Yefun dalam
bahasa Miyah Madik adalah Pemegang kuasa tertinggi). Masyarakat penduduk
kampung Aybogiar mempercayai bahwa didalam hutan belantara mereka, tanaman obat
merupakan salah satu peninggalan Yefun selain sruon.
Sruon adalah tempat kehidupan
kekal bagi roh masyarakat suku Miyah** yang telah mengalami kematian, namun
kadang mereka yang masih hidup, sering
terjebak dan masuk dalam lingkaran wilayah sruon itu. Ada banyak sruon di
wilayah suku Miyah, masyarakat ini meyakini bahwa didalam hutan yang rimba,
sungai yang dalam, dan batu yang kokoh disitu terdapat sruon. Sruon juga
menghubungkan orang mati dan hidup, hal itu dapat dibenarkan ketika salah satu
masyarakat dari kampung Aybogiar yang mati di kampung lain akan ditandai dengan
bekas kaki, pohon yang tumbang di wilayah sruon berada. Beberapa peristiwa
alami seperti itu tentu saja memberi arti bahwa kampung Aybogiar memiliki daya
mistik yang masih ada di jaman modern ini.
Masar yang sejak pagi tadi berburu, belum
pulang juga sehingga membuat marah Pohef yang terkaget bangun dan merasa lapar.
Pohef menyusul Masar melalui bekas kakinya, pelan pelan setelah menyusuri hutan
itu, Ia menemukan Masar yang tengah asyik mendirikan tungku hendak membakar
binatang buruannya, tanpa pikir panjang, Pohef langsung saja mendekati Masar dan
membuka sebuah obrolan tipu hendak mengelabui Masar. Pohef mengambil semua
daging buruan itu dan membawanya pergi tanpa meninggalkan sepenggalpun. Masar
hanya ikhlas menghadapi sifat Pohef tanpa memukul atau bertindak kasar. Dengan
perut yang menjerit lapar, Masar
berjalan pulang sambil mengunyah beberapa helai tumbuhan obat yang
digenggamnya. Sesampainya dirumah, ia bertemu Pohef yang sedang kekenyangan,
tetapi Masar tidak mempersoalkan kejadian tadi. “Pohef, kenapa ko tidur lagi ?” tanya Masar, padahal karena
berlebihan makan, Pohef sedikit mual dan hal itu membuatnya tak bergairah.
Pohef langsung saja meminta
pertolongan Masar untuk membantunya, katanya “Masar, sa sakit. Ko bantu cari ramuan untuk sa !”, tegas Pohef, lalu Masar mulai meracik tumbuhan obat tadi dan menyuruh
Pohef memakanya. Masar dengan sabar membantu Pohef. Dalam perbincangan mereka,
Masar berkata “Pohef, karena sa sudah bantu urus ko sakit, jadi besok ko
bantu sa buat kebun, ini bukan sa saja yang nikmati hasil tapi ko juga”
kata Masar. “yang penting, sa sehat dulu.
Itu gampang, besok sa akan bantu ko” jawab Pohef.
Malam berganti Pagi, itu
berarti hari telah berganti. Pohef berekspresi baik dan tidak mengeluh sakit
lagi. Untuk memenuhi janjinya, Pohef bergegas dahulu ke lokasi kebun,
sesampainya disana, ia mulai menebang beberapa pohon. Masar yang agak telat ke
lokasi kebun, terhentak kaget dengan Pohef yang mendadak rajin, Ia menyapu
bersih beberapa pohon besar itu. Seketika kemudian, langit tampak gelap, awan
hitam menyelimutinya dan hujan langsung
saja mengguyur mereka berdua. Masar bergegas lari mencari tempat berteduh
sambil berkata “Besok saja baru tong lanjut”.
Tetapi reaksi Pohef berbeda.
Pohef tidak berlari, Ia justru tetap ditempat. Ia bahkan menyuruh Masar untuk
tidak usah pergi, katanya “Masar, ko tra
usah lari. Tetap disitu saja”. Lalu, pelan – pelan Pohef mulai menundukan
kepalanya, ia menggenggam tanah dan mulai berkata kata dengan bahasa yang sukar
disebutkan oleh Masar. Beberapa menit kemudian, hujan berhenti dan cuaca tampak
bersahabat. “Pohef, ko panggil Yefun ka
?” tanya Masar terheran heran. Rupanya tadi Pohef sedang membaca mantra, dalam
suku Miyah hal seperti itu biasa terjadi, untuk menenangkan hujan, mengelabui
musuh, dan mendapatkan sesuatu yang berharga, mereka biasanya mengucapkan vito sebagai mantra. Vito bagi suku
Miyah (kampung aybogiar dan sekitarnya) merupakan rangkaian kata manjur yang
memiliki daya holistik.
Setelah hujan ditahklukan,
Masar memuji kehebatan Pohef. Lokasi kebun kini siap untuk ditanami beberapa
jenis sayuran. Walau Pohef sedikit malas tetapi sebenarnya ia mengetahui banyak
hal.
*Ley Hay adalah mahasiswa Papua di Yogyakarta, dan penulis novel Love Is Prayer
** Miyah adalah salah satu suku di wilayah Kabupaten Tambrauw,
Papua – Barat.
0 Komentar