Satu tahun telah berlalu. Bahkan sang pengujar yang ketika itu berstatus sebagai ‘senioritas’ itu pun telah berlalu direnggut sakit yang diidapnya. Tapi petuah hidup yang disampaikannya dimalam itu tampaknya sedikit masih membekas di ruang ingatan saya. Dan rasanya ganjil jika saya biarkan apa yang terpatri diruang ingatan saya tidak saya bagikan lewat media ini, supaya kemudian bisa diketahui sekaligus menjadi batu loncatan bagi setiap pembaca.
Awal Agustus dan babarapa bulan seterusnya tahun lalu (2015), bagi kami Mahasiswa Baru (MABA) yang datang untuk ‘belajar’ di kota gudeg ini adalah masa dimana kami baru menempati, mengenal serta memahami situasi kondisi dan toleransi di kota Yogyakarta. Oleh karenanya, mungkin sebab sudah menjadi sesuatu yang biasa, maka disuatu malam (hari dan tanggalnya saya lupa) diawal bulan Agustus, kami, baik yang mahasiswa baru dan yang telah ada sebelum kami datang berkumpul ‘duduk bersama’ dalam bentuk lingkaran di selasar barak belakang Asrama Dogiyai, Yogyakarta.
Beberapa sesi yang menjadi agenda dalam momentum “duduk bersama” ketika itu adalah pertama, Sekilas Perkenalan; kedua, Beber Situasi oleh Baik Kami yang Baru Datang Tentang di Daerah Disana Maupun Mereka yang Telah Disini Tentang Disini; dan Serba-serbi. Selanjutnya, dalam sesi serba-serbilah dia (alm) menyampaikan setidaknya beberapa hal.
* * *
Pertama yang dikatakannya adalah bahwa di masing-masing kota studi itu dari hal yang baik hingga buruk semua ada. Dan untuk memilih dan melakoninya, dia bilang, semua tergantung dari pribadi kita masing-masing.
Kalau untuk di Jogja sini, dia mengurai, ada organisasi Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Katolik Tanah Papua (FKPMKP) DIY; Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire Paniai Dogiyai Deiyai (IPMANAPANDODE) Yogyakarta-Solo; Orang Muda Katolik (OMK); Organisasi-organisasi intra di masing-masing kampus yang akan menjadi pilihan; Forum Kepemudaan Kristen, misalnya di GKII “Filipi Family” Yogyakarta; dan masih ada banyak lagi.
“Pokoknya ko mau pilih yang mana, semuanya kembali ke ko pu pribadi sendiri. Dan ingat. Bahwa masing-masing pilihan yang ko ambil itu pasti ada konsekuensinya. Jadi, sebagaimana filosofi kita orang mee, Dou, maksudnya tilik dulu apa yang ko mau tempuh, Gai, maksudnya pikir masak-masak dulu tentang manfaat apa yang bisa ko dapat kemudian hari dari yang ko mau tempuh, baro ekowai, maksudnya tempuh atu jalani,” katanya.
Pria bekas editor di majalahselangkah.com (semasa masih aktif) tersebut juga melanjutkan, guru atau dosen itu bukan hanya sosok yang berdiri depan ruang kelas, tapi guru juga bisa hadir dalam bentuk buku yang kita baca dan telaah. Oleh karena itu, dia bilang, budayakan gemar membaca itu bagus.
Dia juga menyayangkan sepak terjan kalangan mahasiswa yang menurut pengamatannya tampak jauh dari praktik “kutu buku”. Padahal, menurutnya, buku adalah gudang pengetahuan.
“Trus, lagi yang sa mau kasih tahu buat adik-adik yang baru datang, yaitu, jangan pernah mau jadi orang lain. Artinya, nanti kalau sudah masuk di kampus jangan terlalu bikin logat jawa atau apa dan sebagainya. Kalau mau ngomong dengan dosen atau teman dikampus, bicara saja pakai bahasa Indonesia yang baku. Karena kalau kamu pakai logat mereka, nanti didengar lucu dan kamu ditertawakan. Ini berdasarkan pengalaman saya yang saya kasih tahu,” kata dia.
Dia juga bilang, bahwa kalian, baik mahasiswa maupun mahasiswi yang sekarang ini enak, karena diperhitungkan oleh pemerintah daerah. Ya, yang kita nikmati sekarang misalnya seperti Asrama (Asrama Pemda Dogiyai Yogyakarta, red) yang sekarang kita tempati ini. Bayangkan. Lalu kami itu, jelasnya, tinggal di kost atau kontrakan. Dan untuk bayar uang kost atau kontrakan ketika itu, itu bukan butuh uang yang sedikit. Belum lagi uang makan dan sebagainya. Kalau kamu di asrama Dogiyai disini enak. Karena setiap bulan hanya beriuran untuk bayar uang listrik saja.
“Terakhir saya cuma mau pesan sama adik-adik bahwa kuliah, kuliah yang baik. Serius. Supaya nanti bisa selesai sesuai target yang ditentukan. Saya tidak ingin kalian seperti saya yang lama-lama di Jogja sini,” pesannya.
* * *
Kira-kira kurang lebih beberapa hal diatas inilah yang disampaikannya ketika itu. Dan saat itu memang dia dalam keadaan sakit beringus yang tergolong payah. Jalan suaranya pun sedikit tersendat-sendat karena serak. Namun dia hadir dan beri beberapa petuah hidup. Entah. Seakan rohnya kala itu bisik ke dia, bahwa inilah saat yang tepat untuk kau petuahi adik-adikmu, karena tahun depan kau akan telah tiada di asrama, jogja, bahkan juga di dunia ini.
Akh, kaka Teus. Mungkin Tuhan sengaja urungkan Pelatihan Jurnalistik yang kaka mau saji buat kami, kaka pu adik-adik pada awal bulan April 2016 lalu. Padahal saat itu tempat, materi bahan pelatihan, baliho, dan lain-lain semua sudah kelar.
Trimst kaks, Rest In Peace!
Yogyakarta, 18 Agustus 2016
* Heman E Degei adalah mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Yogyakarta.
0 Komentar