Saya tangkap Duelaga
itu di Kembetapa. Saat pulang bersama Mama dari kebun kami di Kembetapa. Kebun
yang Bapak bikin sejak tiga tahun lalu. Seperti biasa, saya pikul kayu bakar
satu ikat dan rumput Komabo untuk
Kelinci yang kami piara di rumah, saat itu.
Duelaga sudah
mulai bernyanyi. Bising Duelaga
sangat merdu seperti merdunya paduan suara rohani yang sering saya dengar
di tape tua milik Bapak saya. Dan paduan
suara di gereja tua di kampung saya, Bilogai. Bising Duelaga
di telinga saya terdengar seperti irama Mbigigi
Bapak saya. Nyanyian Mbigigi selalu tengiang di telinga saya. Tersimpan rapi di lubuk
hati dan ingatan saya yang paling terdalam, hingga saat ini. Karena Bapak saya
selalu tarik mbigigi di Nduni saat sebelum saya tidur pada malam
hari. Dan pada subuh menjelang pagi sebelum saya bangun.
Saban-saban Bapak saya tarik Mbigigi hanya untuk sekedar
mencari ide untuk besok. Dan untuk memahami sebuah masalah. Melalui alunan
suara Mbigigi jiwanya pergi ke mana-mana, entah sampai di mana. Saya merasakan
itu dari nyanyiannya merdu melalui suara yang dihasilkan dari Mbigigi.
Merana rasanya mengingat kembali kebiasaan Bapak terkasih
itu. Kini ia sudah pergi. Hanya bisa membayangkan kisah bersama laki-laki
terganteng yang pernah saya punya di dunia ini. Ah… entah-lah.
Kami sampai di Kembesiga. Mama lalu minta untuk sandarkan
kayu di tempat yang agak tinggi. Dan Mama cuci Mbalaga yang baru saja dipanen dari kebun kami. Saya duduk manis
menunggu di dekat Mama sambil menunggu. Sesekali saya ajak Mama bicara. Agar Mama
tidak tenggelam dalam lamunannya.
Satu ekor Duelaga menemplok
di pohon Domo Bo yang muda dan tidak
terlalu tinggi. Saya tidak beritahu Mama. Saya berdiri dari tempat saya duduk
tadi, lalu saya pergi dengan hati-hati. Dengan memperhitungkan setiap langkah
dengan baik untuk tangkap Duelaga
itu.
Kini Duelaga itu
sudah ada di dalam genggaman tangan saya. Ia menjerit. Saya tidak
mengerti. Saya
tetap tutup rapat dalam genggaman saya. Ia terus menjerit sambil
sesekali
menggerakan sayapnya. Suara khasnya pun didengunkan walaupun
terputus-putus. Ia ingin dibebaskan. Tetapi tetap saya bersih keras
untuk genggam
erat Duelaga itu.
Mama saya diam. Tetapi tetap memperhatikan apa yang saya
buat dengan penuh seksama dan teliti. Karena Mama sudah tahu aksi spontan yang
saya lakukan. Lantas Mama menasehati saya, layaknya orang tua. Lalu minta saya bebaskan si Cengkerik yang sedang menjerit
dalam genggaman saya itu.
Mama sudah isi semua Mbaga
atau Mbalaga yang baru panen di kebun
tadi. Mama juga sudah pilah mana Mbalaga
(Wogo Mbaga) untuk dikomsumsi oleh
ternak dan mana Mbaga untuk dikomsumsi manusia (Mene Mbaga). Mama minta
saya cuci tangan. Setelah saya cuci tangan Mama ajak pulang.
Hari sudah sore. Makin samar-samar. Saya menggalas kayu di
bahu. Mama pikul hasil panenan kebun. Saya masih genggam Jangkrik tadi. tujuan
saya, saya mau piara di rumah. Ini hal yang paling sering kami lakukan (saya
dan anak-anak seumuran saya di kampung) saat masih kanak-kanak.
Nyanyian Jangkrik mulai berkurang. Lalu gelap pun menghampiri. Kami
pun tiba di rumah. Saya simpan Duelaga itu di tempat yang aman. Sesungguhnya
saya bukan mau piara. Saya hanya ingin tahu, dari mana dan bagaimana Duelaga keluarkan suara
nyaring dan merdu.
Sehari penuh, Duelaga yang saya bawa dari Kembetapa masih ada di tempat yang saya
simpan. Saya tidak tahu apakah Jangkrik itu sudah makan atau belum. Saya juga
tidak tahu Duelaga itu makan apa. Sore itu, saya letakkan Duelaga itu di pohon
Jeruk yang ada di halaman rumah saya. Saya ingin mendengar suaranya. Jika sampai
ada suara nyaring, saya harus tibakan dia di genggaman lagi. Agar keinginan
saya tercapai.
Tidak lama setelah saya letakkan di pohon Jeruk, ia pun
mulai bersuara. Tetapi masih putus-putus. Alasannya hanya dua, pertama karena
tidak berdaya akibat berada dalam genggaman saya dan ke dua karena tidak makan.
Itu yang saya pikir. Karena seharian penuh ia masih ada di tempat saya simpan
semula.
Ia pun mulai rewel seperti Duelaga lainnya. Mereka kompak. Benar-benar
seperti paduan suara di gereja. Merdu, nyaring tetapi bisingnya mengganggu
juga.
Di Bilogai, dan hampir semua kampung yang ada di Sugapa, jika Duelaga
sudah mulai dengan aktivitasnya, maka orang pada tahu bahwa sudah waktunya
untuk pulang. Kalau Duelaga mulai
bernyanyi, maka orang tahu bahwa itu sudah pukul stengah enam sore atau jam
enam sore atau bahkan setengah tujuh malam.Jadi, Duelaga itu seperti pengingat untuk semua orang, bahwa sebentar lagi hari sudah malam. Maka semua harus bergegas pulang.
Di tempat ini, semenjak saya datang lima tahun lalu, tidak
pernah mendengar nyanyian Duelaga lagi. Ketika saya pulang ke Bilogai, bising
suara Duelaga menjadi nayanyian wajib didengar setiap sore. Dan itu sudah biasa. Jadi, di sana warga tahu jika Duelaga mulai bernyanyi bertanda hari sudah sore.
++++++
Saat saya kerja di salah satu usaha foto kopian di negeri
Singkong, saya banyak menjumpai teman sesama karyawan. Kami selalu kerja apa
adanya. Jujur dalam kerja adalah semangat kami. Pelayanan yang baik adalah
melayani dengan jujur dan melayani tamu dengan sebaik mungkin.
Di negeri Singkong, dalam dunia foto kopian saja, banyak sesama
teman yang main jelek. Bermain jelek agar mendapatkan bonus dari perusahaan. Dengan
bermain kotor itu pula, banyak teman saya berlagak seperti orang berada. Saya sering
menjumpai banyak orang yang juga masih memberikan uang sisah dari biaya jasa
foto kopian di tempat saya kerja. Banyak orang yang baik hati dan pemurah. Lantas,
satu pertanyaan yang menggangu saya adalah ketika saya berfikir, mengapa saya harus menipu untuk
mendapatkan bonus dari perusahaan? Sementara honor saja sudah lebih dari cukup.
Namanya juga daun-daun berharga. Memang setiap orang membutuhkan uang. Tetapi tidak perlu dengan cara kotor untuk mendapatkannya. Haram...!!
Namanya juga daun-daun berharga. Memang setiap orang membutuhkan uang. Tetapi tidak perlu dengan cara kotor untuk mendapatkannya. Haram...!!
Saya bersama empat teman saya, bekerja di salah satu fotokopian terbesar
di kota Singkong. Ada seorang teman saya dari negeri seberang. Kami
kerja di tempat yang sama. Kebiasaannya
adalah banyak protes hasil kerja kami. Juga sering melaporkan setiap
kesalahan
kepada pimpinan foto kopian itu. Kami tidak berani melaporkannya. Kami
tahu,
satu hal yang sedang dia bikin adalah hanya pencitraan. Itu yang kami
tahu.
Kemudian, acap kali ia tidak segan-segan melakukan
tagihan pada kami. Alasannya macam-macam. Mulai dari alasan untuk perbaiki
motor, bayar rumah kos dan masih banyak alasan lainnya. Kami memakluminya. Karena
selain alasan-alasan itu, kami tahu bahwa apa pun yang selama ini dibicarakan
kepada kami adalah hanya omongan di bibir saja.
Kami mulai mempelajari sifatnya. Kami bereempat hanya saling
mengetahui. Kami selalu menjadi pendengar setia. Walaupun tidak ingin mendengar
omongan-omongan dan janji-janjinya palsunya kepada kami.
Suatu waktu, kami masing-masing mendapat satu pekerjaan dari
salah satu kantor. Memperbanyak satu rancangan peraturan daerah hingga 100 eksemplar.
Saya mendapat tugas untuk memperbanyak dua puluh rangkap. Begitu
pun ketiga teman saya. Juga satu teman kami yang bandel ini. Ketika kami
kerja,
ia banyak melakukan propaganda. Ketika bos datang, dia sering kali
berlagak seperti seorang karyawan yang setia dan taat pada peraturan
kerja. Pada hal, sesungguhnya ia adalah karyawan yang kepala batu, tahu
banyak bicara dan tidak bisa bekerja. Ia tidak lebih dari Duelaga, kecil tapi bunyi besar. Buktinya tidak membawa dampak apa-apa.
Ya… gaji kami hanya cukup untuk biaya hidup kami selama
sebulan. Tidak segan-segan teman kami ini biasa melakukan cara apa pun agar apa
yang diingininya tercapai.
Tugas kami itu, sudah kami kerjakan. Ternyata masih kurang 10 eksemplar.
Kurang karena si rewel tidak mengerjakannya dengan alasan sakit. Lalu
kami yang menyelesaikan
tugasnya.
Imbasnya pemilik perusahaan marah kami. Bahkan honor kami
terancam dipotong, hanya gara-gara ulah satu rekan kerja kami. Secara pribadi
saya tidak terima. Karena menurut saya tidak adil. Ketiga rekanan kerja saya
pun menolak ancaman itu.
Tetapi, kami sudah prediksi bahwa si rewel tidak akan kerja
lagi di tempat kami. Karena sudah lebih dari ketentuan tidak masuk kerja. Maka itu,
kami terus bekerja. Setelah sebulan, kami mendengar di bekerja sebagai salah
satu pemimpin perusahaan ternama di kota Singkong. Kami tidak kaget, karena prediksi
kami sudah tepat. Kami tidak terpengaruh dengan apa pun. Kami hanya tekuni apa yang kami kerjakan hari ini.
Tetapi,… kami tahu, bahwa perusahaan yang dipimpinnya adalah
perusahaan yang dimanfaatkan untuk mendapat daun-daun berharga banyak oleh orang tak bertanggungjawab.
Kini sudah lebih dari setahun saya masih di tempat kerja
dulu. Makin banyak relasi yang saya bangun. Sehingga banyak yang pesan dan kami
kebanjiran pesanan dan permintaan. Menjelang tahun ke dua, perusahaan yang
dipimpin oleh rekan kerja kami dulu, bangkrut dan terancam ditutup. Lantas rekan
kerja kami meminta untuk dapat melamar lagi. Namun pemimpin perusahaan
menolaknya.
Saya jadi semakin mengerti, orang yang bicaranya banyak,
jelas tidak bisa membuktikan kemampuannya dengan membuat sebuah tindakan nyata.
Hanya bicara dan bicara adalah hobinya. Maka lakukanlah apa yang menurutmu bisa
hari ini.
*Tulisan ini dipersembahkan untuk ketiga
teman saya di negeri singkong, kabupaten Atmosfir, provinsi Bulan dan Negara
Dunia.
NB: Di bawah ini adalah beberapa kata yang ada di dalam cerita di atas
yang diambil dari bahasa Migani. Di bawa ini adalah artinya dalam bahasa
Indonesia.
Duelaga : Jangkrik
Domo Bo : Pohon Cemara
Mbaga/mbalaga : Ubi atau petatas
Mene mbaga : Ubi untuk manusia
Wogo mabag : Ubi untuk ternak
Kembetapa : Nama tempat
Mbigigi : Pikon/pingkol
Nduni : Rumah khusus untuk laki-laki Migani
0 Komentar