Duelaga Kesayangan yang Rewel

Oleh; Arnold Belau

Saya tangkap Duelaga itu di Kembetapa. Saat pulang bersama Mama dari kebun kami di Kembetapa. Kebun yang Bapak bikin sejak tiga tahun lalu. Seperti biasa, saya pikul kayu bakar satu ikat dan rumput Komabo untuk Kelinci yang kami piara di rumah, saat itu.
Duelaga sudah mulai bernyanyi. Bising Duelaga sangat merdu seperti merdunya paduan suara rohani yang sering saya dengar di tape tua milik Bapak saya. Dan paduan suara di gereja tua di kampung saya, Bilogai.  Bising Duelaga di telinga saya terdengar seperti irama Mbigigi Bapak saya. Nyanyian Mbigigi selalu tengiang di telinga saya. Tersimpan rapi di lubuk hati dan ingatan saya yang paling terdalam, hingga saat ini. Karena Bapak saya selalu tarik mbigigi di Nduni saat sebelum saya tidur pada malam hari. Dan pada subuh menjelang pagi sebelum saya bangun.

Saban-saban Bapak saya tarik Mbigigi hanya untuk sekedar mencari ide untuk besok. Dan untuk memahami sebuah masalah. Melalui alunan suara Mbigigi jiwanya pergi ke mana-mana, entah sampai di mana. Saya merasakan itu dari nyanyiannya merdu melalui suara yang dihasilkan dari Mbigigi.
Merana rasanya mengingat kembali kebiasaan Bapak terkasih itu. Kini ia sudah pergi. Hanya bisa membayangkan kisah bersama laki-laki terganteng yang pernah saya punya di dunia ini. Ah… entah-lah.
Kami sampai di Kembesiga. Mama lalu minta untuk sandarkan kayu di tempat yang agak tinggi. Dan Mama cuci Mbalaga yang baru saja dipanen dari kebun kami. Saya duduk manis menunggu di dekat Mama sambil menunggu. Sesekali saya ajak Mama bicara. Agar Mama tidak tenggelam dalam lamunannya.
Satu ekor Duelaga menemplok di pohon Domo Bo yang muda dan tidak terlalu tinggi. Saya tidak beritahu Mama. Saya berdiri dari tempat saya duduk tadi, lalu saya pergi dengan hati-hati. Dengan memperhitungkan setiap langkah dengan baik untuk tangkap Duelaga itu.
Kini Duelaga itu sudah ada di dalam genggaman tangan saya. Ia menjerit. Saya tidak mengerti. Saya tetap tutup rapat dalam genggaman saya. Ia terus menjerit sambil sesekali menggerakan sayapnya. Suara khasnya pun didengunkan walaupun terputus-putus. Ia ingin dibebaskan. Tetapi tetap saya bersih keras untuk genggam erat Duelaga itu.
Mama saya diam. Tetapi tetap memperhatikan apa yang saya buat dengan penuh seksama dan teliti. Karena Mama sudah tahu aksi spontan yang saya lakukan. Lantas Mama menasehati saya, layaknya orang tua. Lalu minta saya bebaskan si Cengkerik yang sedang menjerit dalam genggaman saya itu.  
Mama sudah isi semua Mbaga atau Mbalaga yang baru panen di kebun tadi. Mama juga sudah pilah mana Mbalaga (Wogo Mbaga) untuk dikomsumsi oleh ternak dan mana Mbaga untuk dikomsumsi manusia (Mene Mbaga). Mama minta saya cuci tangan. Setelah saya cuci tangan Mama ajak pulang.
Hari sudah sore. Makin samar-samar. Saya menggalas kayu di bahu. Mama pikul hasil panenan kebun. Saya masih genggam Jangkrik tadi. tujuan saya, saya mau piara di rumah. Ini hal yang paling sering kami lakukan (saya dan anak-anak seumuran saya di kampung) saat masih kanak-kanak.
Nyanyian Jangkrik mulai berkurang. Lalu gelap pun menghampiri. Kami pun tiba di rumah. Saya simpan Duelaga itu di tempat yang aman. Sesungguhnya saya bukan mau piara. Saya hanya ingin tahu, dari mana dan bagaimana Duelaga keluarkan suara nyaring dan merdu.
Sehari penuh, Duelaga yang saya bawa dari Kembetapa masih ada di tempat yang saya simpan. Saya tidak tahu apakah Jangkrik itu sudah makan atau belum. Saya juga tidak tahu Duelaga itu makan apa. Sore itu, saya letakkan Duelaga itu di pohon Jeruk yang ada di halaman rumah saya. Saya ingin mendengar suaranya. Jika sampai ada suara nyaring, saya harus tibakan dia di genggaman lagi. Agar keinginan saya tercapai.
Tidak lama setelah saya letakkan di pohon Jeruk, ia pun mulai bersuara. Tetapi masih putus-putus. Alasannya hanya dua, pertama karena tidak berdaya akibat berada dalam genggaman saya dan ke dua karena tidak makan. Itu yang saya pikir. Karena seharian penuh ia masih ada di tempat saya simpan semula.
Ia pun mulai rewel seperti Duelaga lainnya. Mereka kompak. Benar-benar seperti paduan suara di gereja. Merdu, nyaring tetapi bisingnya mengganggu juga.
Di Bilogai, dan hampir semua kampung yang ada di Sugapa, jika Duelaga sudah mulai dengan aktivitasnya, maka orang pada tahu bahwa sudah waktunya untuk pulang. Kalau Duelaga mulai bernyanyi, maka orang tahu bahwa itu sudah pukul stengah enam sore atau jam enam sore atau bahkan setengah tujuh malam.Jadi, Duelaga itu seperti pengingat untuk semua orang, bahwa sebentar lagi hari sudah malam. Maka semua harus bergegas pulang. 
Di tempat ini, semenjak saya datang lima tahun lalu, tidak pernah mendengar nyanyian Duelaga lagi. Ketika saya pulang ke Bilogai, bising suara Duelaga menjadi nayanyian wajib didengar setiap sore. Dan itu sudah biasa. Jadi, di sana warga tahu jika Duelaga mulai bernyanyi bertanda hari sudah sore.
++++++
Saat saya kerja di salah satu usaha foto kopian di negeri Singkong, saya banyak menjumpai teman sesama karyawan. Kami selalu kerja apa adanya. Jujur dalam kerja adalah semangat kami. Pelayanan yang baik adalah melayani dengan jujur dan melayani tamu dengan sebaik mungkin.
Di negeri Singkong, dalam dunia foto kopian saja, banyak sesama teman yang main jelek. Bermain jelek agar mendapatkan bonus dari perusahaan. Dengan bermain kotor itu pula, banyak teman saya berlagak seperti orang berada. Saya sering menjumpai banyak orang yang juga masih memberikan uang sisah dari biaya jasa foto kopian di tempat saya kerja. Banyak orang yang baik hati dan pemurah. Lantas, satu pertanyaan yang menggangu saya adalah ketika saya berfikir, mengapa saya harus menipu untuk mendapatkan bonus dari perusahaan? Sementara honor saja sudah lebih dari cukup.

Namanya juga daun-daun berharga. Memang setiap orang membutuhkan uang. Tetapi tidak perlu dengan cara kotor untuk mendapatkannya. Haram...!!
Saya bersama empat teman saya, bekerja di salah satu fotokopian terbesar di kota Singkong. Ada seorang teman saya dari negeri seberang. Kami kerja di tempat yang sama. Kebiasaannya adalah banyak protes hasil kerja kami. Juga sering melaporkan setiap kesalahan kepada pimpinan foto kopian itu. Kami tidak berani melaporkannya. Kami tahu, satu hal yang sedang dia bikin adalah hanya pencitraan. Itu yang kami tahu.
Kemudian, acap kali ia tidak segan-segan melakukan tagihan pada kami. Alasannya macam-macam. Mulai dari alasan untuk perbaiki motor, bayar rumah kos dan masih banyak alasan lainnya. Kami memakluminya. Karena selain alasan-alasan itu, kami tahu bahwa apa pun yang selama ini dibicarakan kepada kami adalah hanya omongan di bibir saja.
Kami mulai mempelajari sifatnya. Kami bereempat hanya saling mengetahui. Kami selalu menjadi pendengar setia. Walaupun tidak ingin mendengar omongan-omongan dan janji-janjinya palsunya kepada kami.
Suatu waktu, kami masing-masing mendapat satu pekerjaan dari salah satu kantor. Memperbanyak satu rancangan peraturan daerah hingga 100 eksemplar.
Saya mendapat tugas untuk memperbanyak dua puluh rangkap. Begitu pun ketiga teman saya. Juga satu teman kami yang bandel ini. Ketika kami kerja, ia banyak melakukan propaganda. Ketika bos datang, dia sering kali berlagak seperti seorang karyawan yang setia dan taat pada peraturan kerja. Pada hal, sesungguhnya ia adalah karyawan yang kepala batu, tahu banyak bicara dan tidak bisa bekerja. Ia tidak lebih dari Duelaga, kecil tapi bunyi besar. Buktinya tidak membawa dampak apa-apa.
Ya… gaji kami hanya cukup untuk biaya hidup kami selama sebulan. Tidak segan-segan teman kami ini biasa melakukan cara apa pun agar apa yang diingininya tercapai.
Tugas kami itu, sudah kami kerjakan. Ternyata masih kurang 10 eksemplar.  Kurang karena si rewel tidak mengerjakannya dengan alasan sakit. Lalu kami yang menyelesaikan tugasnya.
Imbasnya pemilik perusahaan marah kami. Bahkan honor kami terancam dipotong, hanya gara-gara ulah satu rekan kerja kami. Secara pribadi saya tidak terima. Karena menurut saya tidak adil. Ketiga rekanan kerja saya pun menolak ancaman itu.
Tetapi, kami sudah prediksi bahwa si rewel tidak akan kerja lagi di tempat kami. Karena sudah lebih dari ketentuan tidak masuk kerja. Maka itu, kami terus bekerja. Setelah sebulan, kami mendengar di bekerja sebagai salah satu pemimpin perusahaan ternama di kota Singkong. Kami tidak kaget, karena prediksi kami sudah tepat. Kami tidak terpengaruh dengan apa pun. Kami hanya tekuni apa yang kami kerjakan hari ini.
Tetapi,… kami tahu, bahwa perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan yang dimanfaatkan untuk mendapat daun-daun berharga banyak oleh orang tak bertanggungjawab.
Kini sudah lebih dari setahun saya masih di tempat kerja dulu. Makin banyak relasi yang saya bangun. Sehingga banyak yang pesan dan kami kebanjiran pesanan dan permintaan. Menjelang tahun ke dua, perusahaan yang dipimpin oleh rekan kerja kami dulu, bangkrut dan terancam ditutup. Lantas rekan kerja kami meminta untuk dapat melamar lagi. Namun pemimpin perusahaan menolaknya.
Saya jadi semakin mengerti, orang yang bicaranya banyak, jelas tidak bisa membuktikan kemampuannya dengan membuat sebuah tindakan nyata. Hanya bicara dan bicara adalah hobinya. Maka lakukanlah apa yang menurutmu bisa hari ini.

 *Tulisan ini dipersembahkan untuk ketiga teman saya di negeri singkong, kabupaten Atmosfir,              provinsi Bulan dan Negara Dunia.

NB: Di bawah ini adalah beberapa kata yang ada di dalam cerita di atas yang diambil dari bahasa Migani. Di bawa ini adalah artinya dalam bahasa Indonesia.
Duelaga : Jangkrik  
Domo Bo : Pohon Cemara 
Mbaga/mbalaga : Ubi atau petatas 
Mene mbaga : Ubi untuk manusia
Wogo mabag : Ubi untuk ternak
Kembetapa : Nama tempat  
Mbigigi : Pikon/pingkol
Nduni : Rumah khusus untuk laki-laki Migani

Posting Komentar

0 Komentar