Nyanyian AMUNGME
Di sebelah Utaranya asap api di ladang berkepul naik
Di puncak gunung yang lain nampak puncak salju yang putih,
Dalam kehidupan orang Amungme, mereka selalu bertutur kata menggunakan
kiasan, menggubah berbagai jenis lagu dan nyanyian yang ada sebagai
hiburan dikala duka maupun senang.
Kalau mereka berjalan kaki dan sampai di atas bukit dan dari sana tampak di kejauhan puncak-puncak gunung yang hijau dengan dilatarbelakangi langit biru yang bersih, dengan sedikit awas "Cirrus", sementara di lereng lain terlihat asap api yang mengepul lurus ke angkasa;
Apalagi kalau mereka melihat puncak gunung Nemangkawi yang putih bersih, mereka akan mengeluarkan siulan khas pegunungan tengan dengan cara melipat lidah dan menghembuskan nafas. Ketika seorang mengeluarkan bunyi tanda kegembiraan itu, teman-teman seperjalanannya yang lain langsung menyambut dengan bunyi-bunyian yang sama.
Di lain waktu, ada yang sejenak berdiri atau duduk dengan rileks di suatu tempat sambil memandang panorama yang indah, mereka lantas menyanyikan sebuah lagu Tem, untuk mengenang suatu tempat di mana ia pernah berburu dan membawa pulang hasil untuk dimasak oleh ibunya dan disantap bersama. Nyanyian tersebut berbunyi demikian:
"Kele Wawunia kele, ae, oa, haa
Niare Wawnia niare, ae, ao, haa"
Kadang-kadang dinyanyikan pula lagu purba Amungme, yang artinya pun tidak begitu dipahami oleh orang Amungme generasi sekarang, apalagi kita yang tidak mengenal dan mengerti falsafa hidup mereka. Lagu tersebut berbunyi begini:
Angaye - angaye
No emki untaye
Angaye hao, aa, hao
Angaye - angaye wagana nikavo
Morae hanago, hao, aa, hao
Antok anu ae ango, hao, hao
Jilki untae hawano, hao, hao
Inti dari lagu ini adalah ungkapan orang-orang purba yang mengisahkan gunung, lembah, hutan dan rimbah mereka hidup dan mengembara.
Kurang lebih arti dari lagu purba Amungme ini adalah:
Kukasih gunung-gunung
Yang agung mulia
Dan Aman yang melayang
keliling puncaknya"
"Kukasih hutan rimba
Pelindung tanahku
Kusuka mengembara
Di bawah naunganmu
Oh, betapa hebanya sastrawan purba suku Manusia Utama ini! Ia mengisahkan keindahan alam mereka yang tetap dipelihara kelestarian itu.
Apakah generasi masa kini yang maju dan modern dan sementara mengolah gunung serta hutan rimbah akan tetap melestarikan keindahan alam itu bagi generasi akan datang?
(Arnold Mampioper; AMUNGME Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz, 2000)
Mari kitorang merenung, dan maratap, dan MELAWAN; nasib tanah dan negeri Papua yang semakin tercabik-cabik oleh keegoisan diri sendiri, yang dengan mudah menjual harga diri dan menggadaikan hak kesulungan bangsa kita, dengan sebungkus "mie selera pedas", demi sebuah kursi dan nama baik.
Di nukil oleh. AR, Depok, 2 Oktober 2014.
Kalau mereka berjalan kaki dan sampai di atas bukit dan dari sana tampak di kejauhan puncak-puncak gunung yang hijau dengan dilatarbelakangi langit biru yang bersih, dengan sedikit awas "Cirrus", sementara di lereng lain terlihat asap api yang mengepul lurus ke angkasa;
Apalagi kalau mereka melihat puncak gunung Nemangkawi yang putih bersih, mereka akan mengeluarkan siulan khas pegunungan tengan dengan cara melipat lidah dan menghembuskan nafas. Ketika seorang mengeluarkan bunyi tanda kegembiraan itu, teman-teman seperjalanannya yang lain langsung menyambut dengan bunyi-bunyian yang sama.
Di lain waktu, ada yang sejenak berdiri atau duduk dengan rileks di suatu tempat sambil memandang panorama yang indah, mereka lantas menyanyikan sebuah lagu Tem, untuk mengenang suatu tempat di mana ia pernah berburu dan membawa pulang hasil untuk dimasak oleh ibunya dan disantap bersama. Nyanyian tersebut berbunyi demikian:
"Kele Wawunia kele, ae, oa, haa
Niare Wawnia niare, ae, ao, haa"
Kadang-kadang dinyanyikan pula lagu purba Amungme, yang artinya pun tidak begitu dipahami oleh orang Amungme generasi sekarang, apalagi kita yang tidak mengenal dan mengerti falsafa hidup mereka. Lagu tersebut berbunyi begini:
Angaye - angaye
No emki untaye
Angaye hao, aa, hao
Angaye - angaye wagana nikavo
Morae hanago, hao, aa, hao
Antok anu ae ango, hao, hao
Jilki untae hawano, hao, hao
Inti dari lagu ini adalah ungkapan orang-orang purba yang mengisahkan gunung, lembah, hutan dan rimbah mereka hidup dan mengembara.
Kurang lebih arti dari lagu purba Amungme ini adalah:
Kukasih gunung-gunung
Yang agung mulia
Dan Aman yang melayang
keliling puncaknya"
"Kukasih hutan rimba
Pelindung tanahku
Kusuka mengembara
Di bawah naunganmu
Oh, betapa hebanya sastrawan purba suku Manusia Utama ini! Ia mengisahkan keindahan alam mereka yang tetap dipelihara kelestarian itu.
Apakah generasi masa kini yang maju dan modern dan sementara mengolah gunung serta hutan rimbah akan tetap melestarikan keindahan alam itu bagi generasi akan datang?
(Arnold Mampioper; AMUNGME Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz, 2000)
Mari kitorang merenung, dan maratap, dan MELAWAN; nasib tanah dan negeri Papua yang semakin tercabik-cabik oleh keegoisan diri sendiri, yang dengan mudah menjual harga diri dan menggadaikan hak kesulungan bangsa kita, dengan sebungkus "mie selera pedas", demi sebuah kursi dan nama baik.
Di nukil oleh. AR, Depok, 2 Oktober 2014.
0 Komentar