Kisah dari; Rayori. Zaman Kita, Koran TRITON, diterbitkan di Hollandia, Nieuw Guinea tahun 1950-an.
Hari petang, matahari telah berlindung dibalik gunung, hanjalah sisa-sisa tjahajalah jang masih menerangi sudut kota tempat diaiu Adrian lima beranak.
Dimuka pondoknja duduklah ia menghadapi setjangkir kopi panas.
Perlahan-lahan isi tjangkir jang panas itu menjegarkan tubuhnja, sambil
kadang-kadang dikemudiakan oleh asap rokok sigaret tjap "Lincoln".
Sambil merenung, dipandangnja kedua anaknja jang sedang bermain-main
diatas bangku pandjang dihalaman, lalu matanja diarakkan ke barat,
mengamati gunung jang biru-biru, karena tjuatja petang itu sedang
terang.
Meskipun pemandangan sekitarnja dapat menarik hati, pula angin darat jang sepoi-sepoi dapat menjegarkan perasaannja, diiringi oleh kopi dan sigaret, tetapi mukanja tinggal murung djuga. Rupanja Adrian sedang menjadari nasib.
Lampu telah terpasang dan anaknja telah siap makan mulai meng hadapi "huiswerk" dari sekolahnja. Isteri Adrian jang baik hati itu menengok sebentar dari pintu keluar, tetapi suaminja masih ter terduduk pada tempatnja sedjak tadi. Setelah teko kopi dipenuhkannja, pergilah ia mengantarkan teko itu, lalu duduklah ia dekat suaminja.
"Eeeeh Adrian, sudah dua minggu lamanja saja lihat engkau tidak senang. Duduk murung, mandi hampir tidak betul, muka selalu kusut-kusut, seperti orang sakit. Kami toch tidak susah bukan? Joo, memang perkara wang, tentu tidak, tetapi apa jang ada, dipakai dengan hemat-hemat asal djangan mati lapar, ditanah orang. Rumah, ja, pondok busuk-busuk ini memang buruk dimata orang, tetapi ja apa boleh buat, engkau sudah perbaiki dia sampai tidak botjor, tjukup udara bersih, kurang panas, nah biar menahan asal djangan kena hudjan, atau sesak-sesak dirumah orang lain."
"Ahhh, engkau ini salalu suka meraju-raju sadja".
Tjoba lihat rupamu, baru tiga anak sadja sudah kurus-kurus dan putjat. Kalau dibanding dengan orang lain jang sedjaman dengan kita, mereka senang, biar ada jang beranak empat, lima! Tidak lain, sebab jang nomor satu, itulah mereka bergadji lebih besar dari saja, rumahnja Iebih bagus, bukan kandang ajam seperti ini".
"0, o, o, ooo, Adrian, djangan tjepat iri hati, sebab iri hati itulah pekerdjaan Iblis. Mesti pikir baik-baik tentang asal-usul kelebihan mereka! Ada jang menjiku kanan-kiri, menendan sana-sini, mener djang muka-belakang memantjing dalam belanga, barulah berun tung! Tetapi sebahagian lain memang memakai djalan jang sah".
"Djalan sah apa?"
"Ja, itu memang kakak sendiri sudah tahu, tetapi kalau kakak hendak mengudji bolehlah saja mendjawab. Tjoba lihat kawan kita sekelas disekolah sambungan itu. Meskipun ia ta’lulus untuk masuk vrij dalam sekolah vak ini, itu, sana-sini, sedang nasib hidupnja sudah sekolah sambungan, lebih buruk kita, apalagi isterinja, ka¬kak sendiri dapat melihat itu. Lain tidak, karena dua kali ia menang udjian dalam kursus petang, sehingga gadji berlipat naik menurut verklaring jang diterimanja. Sedang kalau kesempatan itu kakanda pakai serta buang waktu ,"overwerk", tentu nasib itu ada djuga pada kita."
Tentu kakak tahu kalimat ini: "Asal hati mau, apa djuga boleh djadi", bukan? Tjoba kakak turut kursus jang kelak dibuka bulan depan itu. Tentang belandja tambahan dari "overwerk", biarlah, apalagi beberapa bulan lalu mamak anak-anak ini telah naik pangkat, sehingga dalam suratnja ia menjatakan bahwa mulai bulan depan wang sekolah seorang diantara kedua anak jang bersekolah itu ditanggungnja, dan benar-benar, sebab kemarin telah tiba surat wesel jang besarnja 50 rupiah".
Adrian terdiam mendengar nasehat-nasehat isterinja itu. Sambil memikirkan nasib isterinja jang tjantik molek itu pula anak-anaknja jang sangat didjagai oleh isterinja itu tentang kesehatan dan persekolahannja, maulah ia menurut kata isterinja itu.
"Baik, nanti saja ikut, mudah-mudahan berhasil".
Beberapa tahun kemudian, ternjatalah hasil nasihat isteri Adrian itu. Kini Adrian kita itu telah insaf bahwa kalau ada kesempatan, maka pakailah kesempatan itu, asal hati mau dan isteri jang menundjang suami, mendatangkan bahagia.
Dari; Rayori. Zaman Kita.
@AR. Foto Kota Emas Muara Kali Miei, 2012
Meskipun pemandangan sekitarnja dapat menarik hati, pula angin darat jang sepoi-sepoi dapat menjegarkan perasaannja, diiringi oleh kopi dan sigaret, tetapi mukanja tinggal murung djuga. Rupanja Adrian sedang menjadari nasib.
Lampu telah terpasang dan anaknja telah siap makan mulai meng hadapi "huiswerk" dari sekolahnja. Isteri Adrian jang baik hati itu menengok sebentar dari pintu keluar, tetapi suaminja masih ter terduduk pada tempatnja sedjak tadi. Setelah teko kopi dipenuhkannja, pergilah ia mengantarkan teko itu, lalu duduklah ia dekat suaminja.
"Eeeeh Adrian, sudah dua minggu lamanja saja lihat engkau tidak senang. Duduk murung, mandi hampir tidak betul, muka selalu kusut-kusut, seperti orang sakit. Kami toch tidak susah bukan? Joo, memang perkara wang, tentu tidak, tetapi apa jang ada, dipakai dengan hemat-hemat asal djangan mati lapar, ditanah orang. Rumah, ja, pondok busuk-busuk ini memang buruk dimata orang, tetapi ja apa boleh buat, engkau sudah perbaiki dia sampai tidak botjor, tjukup udara bersih, kurang panas, nah biar menahan asal djangan kena hudjan, atau sesak-sesak dirumah orang lain."
"Ahhh, engkau ini salalu suka meraju-raju sadja".
Tjoba lihat rupamu, baru tiga anak sadja sudah kurus-kurus dan putjat. Kalau dibanding dengan orang lain jang sedjaman dengan kita, mereka senang, biar ada jang beranak empat, lima! Tidak lain, sebab jang nomor satu, itulah mereka bergadji lebih besar dari saja, rumahnja Iebih bagus, bukan kandang ajam seperti ini".
"0, o, o, ooo, Adrian, djangan tjepat iri hati, sebab iri hati itulah pekerdjaan Iblis. Mesti pikir baik-baik tentang asal-usul kelebihan mereka! Ada jang menjiku kanan-kiri, menendan sana-sini, mener djang muka-belakang memantjing dalam belanga, barulah berun tung! Tetapi sebahagian lain memang memakai djalan jang sah".
"Djalan sah apa?"
"Ja, itu memang kakak sendiri sudah tahu, tetapi kalau kakak hendak mengudji bolehlah saja mendjawab. Tjoba lihat kawan kita sekelas disekolah sambungan itu. Meskipun ia ta’lulus untuk masuk vrij dalam sekolah vak ini, itu, sana-sini, sedang nasib hidupnja sudah sekolah sambungan, lebih buruk kita, apalagi isterinja, ka¬kak sendiri dapat melihat itu. Lain tidak, karena dua kali ia menang udjian dalam kursus petang, sehingga gadji berlipat naik menurut verklaring jang diterimanja. Sedang kalau kesempatan itu kakanda pakai serta buang waktu ,"overwerk", tentu nasib itu ada djuga pada kita."
Tentu kakak tahu kalimat ini: "Asal hati mau, apa djuga boleh djadi", bukan? Tjoba kakak turut kursus jang kelak dibuka bulan depan itu. Tentang belandja tambahan dari "overwerk", biarlah, apalagi beberapa bulan lalu mamak anak-anak ini telah naik pangkat, sehingga dalam suratnja ia menjatakan bahwa mulai bulan depan wang sekolah seorang diantara kedua anak jang bersekolah itu ditanggungnja, dan benar-benar, sebab kemarin telah tiba surat wesel jang besarnja 50 rupiah".
Adrian terdiam mendengar nasehat-nasehat isterinja itu. Sambil memikirkan nasib isterinja jang tjantik molek itu pula anak-anaknja jang sangat didjagai oleh isterinja itu tentang kesehatan dan persekolahannja, maulah ia menurut kata isterinja itu.
"Baik, nanti saja ikut, mudah-mudahan berhasil".
Beberapa tahun kemudian, ternjatalah hasil nasihat isteri Adrian itu. Kini Adrian kita itu telah insaf bahwa kalau ada kesempatan, maka pakailah kesempatan itu, asal hati mau dan isteri jang menundjang suami, mendatangkan bahagia.
Dari; Rayori. Zaman Kita.
@AR. Foto Kota Emas Muara Kali Miei, 2012
0 Komentar