Fenomena "Batu Bertuah" di Manokwari

Oleh; Rini Irmayasari





Ilustrasi; plus.google.com



Sebagian orang menganggap "batuan unik" dalam tumbuhan dan hewan tertentu sebagai "mutiara" dan meyakininya berkhasiat. Perlu kajian ilmiah.

SAAT berkunjung ke rumah sahabat saya sejak kecil di Fanindi ST, Manokwari, saya mendapat sebuah cerita cukup menarik tentang benda berasal dari hewan atau tanaman yang biasa disebut "mutiara." Bukan mutiara dari kerang laut sejenis Pinctada Sp, namun lebih pada konsep “mustika” atau benda “keramat” atau “batu bertuah” yang diperoleh dari hewan atau tumbuhan tertentu. Atau, kadang dari fenomena alam lainnya. 

Saat itu, ibu teman saya (Betty Rumayomi) bercerita tentang seorang lelaki yang ke rumahnya dan menawarkan “mutiara kelapa” yang masih tercantel pada sebatok kelapa yang dibelah, plus sebuah mutiara lainnya yang telah lepas. Dari sinilah gagasan munculnya catatan ini.

Catatan ini hanya memotret pendapat dan pengalaman sejumlah warga kota Manokwari yang pernah bersentuhan, mengoleksi atau mendengar kisah tentang jenis benda ini. Benda padat yang diyakini punya kegunaan atau kekuatan tertentu yang bisa mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi pemilik atau pemakainya. Anggapan yang boleh dipercaya, boleh tidak karena merupakan pilihan individual. 

Saya melacak jenis-jenis mutiara, mustika, batu bertuah melalui metode sederhana: wawancara dan pencarian data melalui peer-respond. Satu informan kunci akan mengacu informan lain, selain pengambilan sampel random di kalangan orang Papua asli atau non-Papua yang besar di tanah ini.

Pencarian responden dilakukan secara langsung dengan melemparkan “kata kunci”  dan pertanyaan dasar (open-question) seperti, Pernah dengar tentang benda X? Bila responden menjawab “pernah,” maka pertanyaan pun dikembangkan dalam obrolan kasual dengan mengeksplorasi pertanyaan berjenis 5 WH dan ramifikasinya beserta  analisa sikap responden tentang benda X.  Bukan sebuah analisa ilmiah, tetapi sekadar deskripsi.  

“Mutiara kelapa,”  berwarna putih susu dan keras seperti batu, berbentuk persis tombong kelapa kecil (bakal tanaman/lembaga) ditemukan pada lokasi terpancangnya tombong. Tapi agak lonjong di bagian pangkal. Menurut Mama Betty Rumayomi di rumahnya, seorang lelaki Buton datang menawarkan dua butir mutiara kelapa dua minggu sebelumnya Rp 150.000 per buah.


Katanya, benda-benda itu didapatkannya dari kelapa-kelapa yang dibeli dari pulau Numfor untuk usaha kelapa parut. “Batu putih”  keras itu menempati posisi tombong kelapa. Ia mendapatkan dua buah dan berinisiatif menjual keduanya karena tak tahu mau diapakan. Mama Bet menyarankan lelaki itu menawarkan ke orang lain.

Mama Fenny Doirebo, sepupu mama Betty yang kebetulan datang berkunjung di saat kunjungan saya, berujar pernah melihat sebutir mutiara kelapa yang dibawa salah satu kerabatnya. Konon, umumnya, mutiara kelapa berasal dari buah-buah kelapa di pulau Wundi, di kabupaten Biak (bagian timur). 

Buah-buah kelapa hanyut ke beberapa bagian pulau Biak, termasuk nyasar ke Numfor. Makanya, ada pula mutiara kelapa yang ditemukan pada buah kelapa asal pulau Numfor. Buah-buah kelapa yang dijual-belikan di Manokwari  umumnya berasal dari pulau Numfor.

Beberapa teman dan kenalan yang saya mintai konfirmasi juga memperkuat cerita-cerita tentang mutiara jenis ini. Marlon Huwae bercerita,  sewaktu masih kuliah di Uncen Jayapura pada 2002, pernah ia ditawari mutiara kelapa berwarna putih susu sebesar kelereng seharga Rp 30.000. Ia enggan membelinya karena tak paham manfaatnya.

Adanya penjualan mutiara kelapa juga dialami Oki Sahetapy. Sekitar 2004 atau 2005, di depan rumahnya di daerah Wosi, seorang ibu Papua (mungkin orang Biak atau Serui) menawarkan 3 butir mutiara kelapa dalam sebuah kotak korek api Rp 25.000 per butir. Karena masih awam, dan bingung untuk apa, ia pun tak membeli. Apalagi dari cerita yang didengar, kalau memang “berjodoh” dengan benda seperti ini, mestinya  menemukannya sendiri, bukan dengan membeli.

Agak berbeda dengan sikap keluarga teman saya, Shella Ariks. Ibunya memilih membeli sebutir mutiara kelapa berwarna putih susu, sebesar telur cicak, dari seorang Papua pada 2006. Hanya karena faktor “keunikan” semata. Harganya sekitar Rp 200 ribu. Mutiara ini kemudian dijadikan hiasan cincin yang dihadiahkan untuk neneknya di Surabaya.

Kisah mutiara kelapa ini diamini juga oleh beberapa teman yang saya wawancarai. Seorang teman kuliah di Unipa dulu, Falen Baransano berkisah, pada 2009, seorang kerabatnya dari pulau Numfor menanyainya info pasar untuk sepasang mutiara kelapa berwarna putih susu, hampir sebesar kelereng. Sayang, Falen tak tahu pasaran benda ini.

Ada pula mereka yang sekadar pernah mendengar cerita, seperti Novi Taroreh, senior saya yang tumbuh besar di Manokwari. Ia pernah samar mendengar kisah tentang mutiara. 

Rekan kerja saya yang lain, Denny Sianturi juga berujar, sewaktu tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sekitar 1996, ia pernah mendengar cerita mutiara. Namun, saat itu, ia belum begitu paham.

Ada pula cerita lain tentang “mutiara mambruk”  berupa batu “permata” yang ditemukan pada burung mambruk yang disembelih. Batu ini biasanya mendekam di tembolok atau organ pencernaan burung bernama lain dara mahkota (crowned pigeon)  ini. Menurut tuturan sejumlah orang, ukuran mutiara mambruk bervariasi, mulai dari sebesar kelereng ukuran besar hingga sebesar telur ayam kampung. Warnanya biru langit. Harga jualnya pun bervariasi, namun umumnya di atas Rp 1 juta.

Mama Fen yang tinggal di Reremi berkisah, ia memiliki mutiara ini. Beberapa tahun lalu, seorang perempuan Papua menawarinya mutiara itu di pasar Sanggeng, Manokwari. Awalnya, dipasang tarif Rp 500 ribu, setelah tawar-menawar, mama Fen membara pulang mutiara ini dengan hanya Rp 100 ribu.

Mama Ondi, warga Wosi, guru sekolah dasar. Ia ingat dua tahun sebelumnya, di luar pagar sekolahnya, ia dan beberapa rekan guru ditawari seorang perempuan Bintuni sebuah batu (permata) yang, katanya, berasal dari burung mambruk. Batu bulat, berwarna biru tua, berkilap dan berukuran sebutir telur ayam kampung itu dihargai Rp 3 juta. Namun, tak seorang pun berminat. Bukan lantaran harga yang lumayan besar, tetapi juga manfaatnya.

Mama Ondi yang, dibesarkan di Serui berkisah, semasa kecilnya di sana, beberapa saudara dan kerabat lelakinya suka menjerat mambruk di hutan. Biasa orang-orang tua mengingatkan agar memeriksa hasil tangkapan saat disembelih, jangan-jangan ada batu di bagian dalam. Saat itu, ia belum mengerti apa maksud kata-kata itu.

Konon, ada pula “mutiara cenderawasih,” seperti cerita mama Fen Doirebo. Mutiara mambruk juga terletak dalam organ cernanya. Mutiara ini, konon berwarna cokelat tua. Namun, tuturan narasumber lain kurang menopang adanya mutiara jenis ini. Alias, belum ada pengalaman empiris.

Ada lagi kabar tentang mutiara kasuari.  Konon, mutiara ini mirip mutiara mambruk: berwarna biru langit, sebesaran telur ayam. Zakeus Duwiri di Fanindi Maskeri berkisah,  sekitar 2010, kala berbelanja di pasar tingkat Manokwari, ia ditawari lelaki Biak, mutiara kasuari seharga Rp 50.000. Zakeus membelinya, walau tak tahu fungsinya.

Dosen Universitas Negeri Papua (Unipa), YN, bertutur,  ia membeli jenis mutiara ini pada 2008, di depan sebuah toko di pusat Manokwari. Batu sebesar kelereng ini dilepas empunya dengan Rp 200 ribu. 

Setahun berikutnya, di tempat yang sama, seorang Papua lain menyodori YN sebutir batu seukuran telur puyuh berwarna biru laut bercampur abu-abu. Penjual mengatakan, itu batu buaya yang diambil dari dalam badan buaya. YN membeli mutiara buaya itu Rp 250 ribu. Si penjual berpesan: batu buaya dan mutiara kasuari tak boleh dibiarkan kering, tetapi harus direndam dalam cairan, misalnya, minyak kelapa asli, minyak gosok cap tawon atau air. YN merendam batu “bertuah”-nya dalam minyak kelapa.

Emanuel Tuturop berkisah tentang sejenis batu yang pernah didapati saudaranya dari dalam tubuh seekor belut saat survei di kawasan hutan kampung Sipatnanam, Distrik Fakfak Barat pada 2010. Kepada belut keras seperti batu saat di-toki. Ternyata, di dalam kepala mendekam sebuah batu berwarna putih mengkilap. Karena tak paham fungsinya,  batu itu tercecer dan hilang di rumah. 

Dosen Fakultas Sastra Unipa, Novie Taroreh menambahkan, di daerah asalnya, Sulawesi Utara, ada sejenis “mutiara tanaman” (disebut mestika). Sejenis batu “mulia” di bagian dalam tanaman atau makhluk hidup dan dipercaya membawa rezeki tertentu bagi pemiliknya. Ia bercerita tentang “mestika buluh,” mestika di rongga bambu tertentu. Soal warna dan harga, Novi tidak merinci. Saya dijanjikan akan diperkenalkan untuk menanyakan pada kenalan jauhnya yang kolektor mestika.

Ani Malawat bertutur, oom-nya mempunyai sebuah “mutiara” berwarna putih sebesar bola pingpong yang didapuk sebagai “mutiara naga.” Bentuknya seperti batu giok. Mutiara itu ditebus jutaan rupiah. Kata Ani, mutiara itu membawa rezeki bagi keluarga oom-nya. Tak heran mutiara ini disimpan baik dalam kantong kain agar tak cacat tergores.

Marlon Huwae dan Olivia Waren berkisah, pada 2011 ini, mereka pernah ditawari  sejenis mutiara saat berbelanja di Pasar Sanggeng, Manokwari. Mutiara yang ditawarkan dua lekaki Biak berwarna hijau kehitaman. Kedua lelaki mengupayakan biaya pulang ke Biak. Marlon dan Olivia sepakat membantu uang sekedarnya, namun menolak membawa benda tersebut.

YN (yang disebutkan sebelumnya), pernah melakukan penelitian di kampung Sendrawoi, Wasior, Kabupaten Teluk Wondama beberapa tahun silam. Suatu saat, ia diperlihatkan batu oleh warga yang diakuinya diambil dari tebangan pohon kelapa yang hangus disambar petir. Konon, batu hitam, runcing ini tertancap di inti batang kelapa. YN tidak memastikan apakah batu ini sejenis pecahan meteorit atau benda angkasa. Ia tak membelinya.

Wawancara singkat saya dengan sejumlah narasumber menunjukkan,  mereka meyakini benda-benda keras yang mereka namakan mutiara ini sebagai “berharga” (bertuah). Mengutip tuturan mama Hegemur, mama Fen mengatakan, mutiara dari tanaman atau hewan di Papua unik dan langka. Seperti yang mengendap di bagian dalam mambruk, cenderawasih, kasuari.


Mereka yakin, mutiara dari burung endemik ini hanya menyebar di kalangan orang Papua sendiri dan merupakan “harta” keluarga yang dirawat karena dianggap mendatangkan rezeki. 

Mama Fen, misalnya, sempat berujar, sejak ia memiliki mutiara mambruk, walau tak berlimpah rezeki atau “kaya mendadak”  tapi setidaknya ia tak pernah kekurangan uang. Selalu saja ada uang, entah Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. Beberapa dari mama ini pun berujar, mutiara-mutiara unggas Papua adalah “karuni” orang Papua; sayang bila beredar keluar Papua.

Novie Taroreh, berpandagan senada; mestika sebagai pusaka atau sekadar koleksi kerap diyakini membawa “rezeki”. Begitu halnya YN, walau pendapatnya sekadar dari pengalaman pribadi dan keluarga, bukan berdasar ilmiah. Karena fonomena seperti ini butuh kajian.

Saat ia membeli “batu” buaya dan kasuari, penjual mengatakan, benda-benda itu akan membawa rezeki. YN coba-coba menggunakan minyak kelapa rendaman kedua batu sebagai minyak “obat.”

Putra YN yang masih SD dan atlet Tae Kwon Do juga biasa menggunakan minyak rendaman. Si anak meraih juara I dan II dalam kejuaraan tingkat regional, nasional di Jakarta untuk kelasnya. Entah, ini akibat kesaktian batu buaya dan kasuari, atau sugesti semata, seperti efek placebo. Pembaca memilih sendiri.

Andaikan “mutiara” atau “batu bertuah” mengandung energi, dapatkah energi itu beralih kepada manusia pemilik atau pengguna?


Bagaimanapun tubuh manusia terdiri atas banyak subtansi dan ion-ion positif dan negatif dengan medan magnet bumi di sekitar. (Ini asumsi serampangan saya yang awam). Yang pasti, fisikawan bisa menjelaskan secara empiris.

Orang-orang yang pernah bersentuhan, memiliki ataupun mengetahui kisah mutiara ini, menduga benda-benda yang mendekam dalam tubuh hewan dan tanaman ini berasal dari makanan atau asupan makanan dari habitat. 

Misalnya, mutiara burung, awalnya, tak lain dari batu-batuan atau mineral lain yang ditelan bersama makanan dan kemudian mengkristal dalam organ pencernaan. Entah, “batu ginjal” dalam tubuh manusia juga sebentuk kristalisasi? Atau pendaman batu dalam tubuh hewan tertentu juga sebentuk kelainan (penyakit), seperti kasus batu ginjal pada manusia?

Memuaskan rasa penasaran, saya pun mencari dan menanyakan fenomena ini kepada beberapa dosen kehutanan dan bilogi Unipa.

Dosen Fakultas Kehutanan YR, mengatakan pernah mendengar kisah mutiara kelapa, sewaktu SMA di Garut, Jawa Barat, 20-an tahun silam. Katanya, mutiara jenis ini cukup mahal dan biasanya dikoleksi pribadi. Namun, dari sisi ilmiah, butuh pembuktian. Ia berasumsi, ada dua faktor penyebab terbentuknya lapisan keras pada lembaga buah kelapa sebagai cikal-bakal tanaman kelapa baru. Yakni, faktor lignin dan mineral tertentu.

Lignin adalah salah satu zat kimia dalam kayu (selain unsur lainnya, seperti selulosa, hemi selulosa) yang membuat sifat kelenturan dan kekokohan kayu. Setahu dia, tingkat konsentrasi lignin dalam tanaman kelapa memang lumayan tinggi dilihat dari liukan pohon saat diterpa angin.

Mineral merupakan salah satu unsur kimia kayu, namun terkecil dari empat unsur lainnya yang umumnya berfungsi sebagai katalis. Namun faktor konsentrasi, jenis mineral dan jenis kelapa juga sangat menentukan proses terbentuknya “mutiara” kelapa. Termasuk ‘bonita’ (lokasi tumbuh) dari pohon kelapa tersebut.  Bisa dikatakan, terbentuknya “mutiara”  dalam tanaman sebagai disfungsi fisiologis. Namun,  bagaimana persisnya, master lulusan Belanda ini tidak bisa memastikan.

Dari narasumber yang saya wawancarai, ada sebuah benang merah tentang muasal "mutiara kelapa", umumnya berasal dari pulau Numfor atau dari kabupaten Biak Numfor. Mungkinkah ada unsur tertentu dalam tanah di daerah ini mempengaruhi terbentuknya lapisan keras dalam lembaga buah kelapa?

Tapi, mengapa “mutiara” hanya terdapat pada tanaman kelapa dan bambu?  Saya belum mendengar mutiara dari tanaman, seperti pohon matoa. Apa karena faktor lignin? Kan matoa juga cukup lentur dan kokoh?  Mungkin juga, karena sampai sekarang masih ada perdebatan antara para ahli kehutanan tentang kelapa apalagi bambu.

Ada yang berpendapat, “kedua tanaman itu bukan masuk kategori kayu karena anatomi fisiologis yang berbeda dengan jenis kayu lainnya,” jelas YN. Butuh penelitian mendalam guna membuktikan konsentrasi lignin atau mineral. Sebelum itu, ujung-ujungnya: pandangan dan keyakinan berbau mistis. 

Dari jurusan biologi, YN yang, mendalami tumbuhan menyampaikan tambahan penjelasan. Menurutnya, pada beberapa tumbuhan tertentu ada mekanisme pembentukan zat padat yang keras bila mendapat perlakuan tertentu benda asing (bandingkan dengan mekanisme kerang Pinctada Margaritafera Sp menghasilkan lapisan mutiara atas intervensi pasir di tubuhnya). Misalnya, pada pohon damar (Agathis Sp) yang menghasilkan resin dari getahnya kala mendapat iritasi kulit (disayat).

Resin adalah getah damar yang keras dan padat yang digunakan hingga kini sebagai pengganti lilin di beberapa daerah pedalaman Papua. Digunakan sebagai pengganti sumbu pada wadah berisi minyak kelapa dan dibakar. Pada dunia modern, umumnya digunakan sebagai bahan baku industri aromaterapi.

Menurut YN, mutiara kelapa dan bambu bisa diasumsikan sebagai sebuah bentuk kelainan genetis. Bagaimana terjadi dan seberapa besar kelainan ini, dibutuhkan penelitian mendalam yang, sayangnya belum pernah dilakukan di Papua saat ini.


Masih penasaran mencari jawaban atas masalah “kristalisasi” pada tubuh hewan, saya menanyai rekan dosen biologi, AY, yang mendalami hewan. Master dari IPB Bogor ini bercerita, bangsa burung (aves) memiliki pola berbeda dalam meningkatkan daya cerna.

Aves umumnya akan menelan sejumlah kerikil, tergantung besaran paruh dan tubuhnya, guna membantu proses pencernaan. Kerikil berfungsi sebagai semacam grinder (mesin giling) yang membantu penghancuran makanan. Unggas seperti cenderawasih dan mambruk umumnya mengonsumsi biji-bijian, bukan buah-buahan. Kerikil sangat dibutuhkan dalam temboloknya. Mambruk lebih banyak mencari makanan di permukaan tanah, sehingga kemungkinan menelan kerikil. 

Lantas, bagaimana dengan warna-warni pada batu-batuan dalam tubuh unggas? AY memperkirakan, ada pengaruh dari jenis makanan, nutrisi dan habitat burung (jenis kerikil yang ditelan). Tentang kemungkinan adanya proses endapan mineral, batuan atau kristalisasi, ibu dosen ini tidak memastikan. Alasanya, belum ada kajian ilmiah. Batu ginjal pada manusia, misalnya, bersarang di organ ekskresi, sementara batu-batuan pada unggas ada di organ cerna.

Catatan akhir. Bisahakah dewan adat atau budayawan Papua menetapkan harga patokan jenis-jenis “mutiara”? atau diserahkan saja pada mekanisme pasar? Dapatkah dibentuk semacam lembaga otorisasi yang bisa menetapkan asli-tidaknya benda-benda “unik” ini dari penipuan terhadap peminat? Bagaimana informasi disebarkan?

Jika peminat mutiara unggas semakin banyak, jelas pemburuan liar bisa mengakibatkan kepunahan unggas-unggas endemik ini di tanah Papua? Saya harap, saya salah.

Akhirnya, apakah “batu bertuah” disebabkan kelainan genetis, disfungsi fisiologis atau konventor energi? Pembaca yang menentukannya sendiri. Seperti kata pepatah Inggris, beauty is in the eyes of its beholder(s). Yang pasti, di Manokwari, fenomena benda ini memang ada dan diyakini masyarakat setempat.*

Artikel ini pernah di muat di Tabloid Suara Perempuan Papua

Posting Komentar

1 Komentar

ricmon mengatakan…
terima kasih tuk ulasannya

sangat membatu tambahan infonya