Oleh; Joost W. Mirino*
Tienjarenplan
Angota Nieuw Guinea Raad saat berkunjung ke Belanda 14 december 1961. Foto; Henk Lindeboom/Anefo Nationaal Archief |
“…Indonesia dalam kenyataan tidak ada. Apakah ada
sebuah semenanjung, sebuah pulau, sebuah bangsa, sebuah tarian, suatu makanan
atau apa saja, yang asa-usul namanya dapat dihubungkan dengan Indonesia? Tidak
ada. Indonesia adalah nama gabungan. Ia tidak memiliki jati diri sendiri, maka
mengapa saya harus meninggalkan jati diri saya untuk menjadi orang Indonesia?
[.....] bukan karena saya pro atau kontra Indonesia, tetapi hanya karena
idenya…Indonesia dalam dirinya tidak mengenal kebudayaan dan batasan-batasan yang
tetap, dan di dalamnya kita dipaksa untuk berjalan bersama-sama? […..]
Tentu saja ada satu entitas politik dengan nama itu,
akan tetapi apabila Anda ingin melebur semua bangsa dan semua kebudayaan di
dalamnya menjadi satu keseluruhan, maka Anda menghadapi suatu tugas yang sangat
sulit. Apalagi peleburan yang dipaksakan itu sebenarnya bertentangan dengan
semboyan negara Indonesia: kesatuan dalam keanekaragaman [Bhinneka Tunggal Ika].
Sekarang keanekaragaman dikorbankan demi kesatuan dan itu tidak benar. Harus
ada keseimbangan, bagaimana hubungan kelompok-kelompok etnis dengan negara.
Semua kelompok etnis itu memiliki hak hidup yang sama. Kalau keanekaragaman
dihormati oleh negara, dan tiap orang merasa betah olehnya di dalam kerangka
itu, maka kesatuan dicapai, sebagai akibat pengakuan terhadap keanekaragaman.
Sekarang ada satu nasionalisme yang kaku, yang dipaksakan dan sebenarnya
kosong. Dan karena kosong, sangat besar upaya untuk mempertahankannya, untuk
selalu mengarang hal-hal baru agar menghidupkannya. Akhirnya, hal itu
menghambat kebebasan setiap masyarakat untuk berkembang sesuai kebutuhannya
masing-masing.
Imigrasi besar-besaran adalah suatu usaha untuk
memaksa kami ke dalam kesatuan yang dipaksakan itu, dan karena itu ia merupakan
salah satu bahaya terbesar bagi eksistensi kami sebagai bangsa. Akibat
selanjutnya adalah bahwa kami berubah dari sebuah bangsa dengan suatu wilayah
tanah air, menjadi satu kelompok termarjinalisasi di bawah pemerintahan negara
asing.”
(Viktor
Kaisiepo)
GEJOLAK sosial-politik di
Papua selama ini tidak muncul begitu saja dari kehampaan (creatio ex nihilo). Ia punya latar kisah. Dipicu sebuah rencana
dadakan pemerintah Belanda tempo doeloe untuk memajukan Nieuw-Guinea.
Dinamakan Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun. Rencana yang tak tunai dilakukan
dan akhirnya mewariskan beban tak tepermanai.
Pemerintah Belanda tempo doeloe
berniat menyiapkan Papua (Nederlands-Nieuw-Guinea) untuk menentukan nasibnya
sendiri mulai 1970. Niat itu hendak diwujudkan dalam sebuah rencana yang
disebut “Rencana Pembangunan 10 Tahun”/Tienjarenplan
(voor sociaal-economische en
politieke ontwikkeling van Nieuw-Guinea).
Berdasarkan landasan itu, pemerintah
Belanda hendak mewujudkan pemerintahan dan kedaulatan sendiri “segera dan
sebaik mungkin.” Rencana itu−yang telah dibahas Parlemen Belanda (Tweede Kamer) pada Maret 1961−akan
diimplementasikan dalam beberapa tahap.
Landasan dari rencana pembangunan 10
tahun ini direncanakan dimulai 1950-1960−diuraikan dalam buku “Nederlands-Nieuw-Guinea,
Sebuah Bangsa yang Menuju Hak Menentukan Nasib Sendiri” yang
diterbitkan Lembaga Nieuw-Guinea di Rotterdam pada 1960.
Dalam rencana itu, diutamakan
perkembangan kesadaran politik yang hendak dicapai dengan mempersiapkan
anak-anak negeri (“putra-putri daerah”) untuk menangani sendiri pemerintahan,
peningkatan bidang pendidikan dan perluasan landasan ekonomi negeri.
Sebagai titik-berangkat (starting
point) implementasi rencana ini, dipaparkan angka-angka mengenai perkembangan
terakhir (1959) sejumlah bidang penting di Nederlands-Nieuw-Guinea.
Hingga akhir 1959, terdapat 980
sekolah dengan 1697 guru dan 47.674 murid. Dengan kata lain, dari 403.000
penduduk di daerah-daerah yang masuk pemerintahan−12 persen dari total rakyat
berdasarkan pendidikan sekolah−dikenakan wajib belajar. Karena itu, 90 persen
dari anak-anak di daerah-daerah dalam lingkup pemerintahan harus bersekolah.
Dari 980 sekolah, terdapat 656
sekolah kampung (dengan 37.574 murid), 8 sekolah untuk pendidikan lanjutan
(dengan 750 murid); 4 sekolah kejuruan (dengan 271 murid) dan 8 sekolah
pendidikan guru (dengan 464 murid).
Jumlah ekspor sebesar £ 31.441.000,
sementara impor senilai £ 80.0950.000 (39 persen). Sepertiga dari barang-barang
ekspor berupa produk lokal, seperti, cokelat, kopra, pala, kayu, kopal, rotan
dan kulit hewan.
Pengeluaran pemerintah sebesar £
138.000.000, sedangkan penerimaan £ 66.000.000. Defisit anggaran £ 72.000.000
ditutup dari anggaran belanja (begroting) Nederlands-Nieuw-Guinea yang
dibantu kas negara Belanda.
Untuk melaksanakan Rencana
Pembangunan 10 Tahun, sejumlah bidang utama direncanakan lebih dulu untuk tiga
tahun pertama.
Pengembangan politik akan diwujudkan
melalui sebuah dewan perwakilan rakyat: Nieuw-Guinea Raad/Dewan
Nieuw-Guinea/Papua. Wakil-wakil di dewan ini sebagian besar orang-orang Papua
yang dipilih dari rakyat melalui dewan yang akan membahas dan menetapkan
masalah selanjutnya menyangkut perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk
ikut menentukan bagaimana melaksanakan hak menentukan nasib sendiri.
Salah satu dari langkah-langkah
penting menuju hak menentukan nasib sendiri adalah pembangunan bidang
pemerintahan di Papua. Sebanyak 52 persen dari 8743 jabatan resmi ketika itu
yang dirangkap orang Papua, hendak ditingkatkan menjadi 95 persen pada 1970.
Untuk mencapai maksud tersebut,
dirasa penting mendidik sejumlah orang terpelajar dalam jumlah memadai untuk
menjalankan tugas itu. Dalam jangka waktu 10 tahun harus tersedia untuk
Nederlands-Nieuw-Guinea lebih dari 2000 lulusan PMS (Primaire Middelbare
School/ Sekolah Menengah Pertama), sekira 600 tamatan sekolah kejuruan rendah,
lebih dari 300 yang didikan sekolah kejuruan lanjutan, lebih dari 200 tamatan
tingkat HBS (Hogere Burger School/Sekolah Menengah Atas), sekira 50 berijazah kejuruan
dan, sebisanya, 40 berijazah universitas.
Terkait dengan itu, dalam Rencana
Pembangunan 10 Tahun telah direncanakan pembangunan sekolah PMS tiga tahun
mendatang. HBS yang sudah ada saat itu akan dilengkapi dengan sebuah kursus
untuk memenuhi tuntutan pendidikan di Nieuw-Guinea. Sementara sekolah kejuruan rendah
akan ditambah dengan sebuah sekolah kejuruan lanjutan. Jumlah sekolah
pendidikan guru kampung akan dilipatgandakan dan masa tempuh pendidikan
ditingkatkan dari tiga menjadi empat tahun.
Produksi di bidang perkebunan hendak
diperbesar pada tiga tahun berikut. Perkebunan kelapa diperluas 20 persen,
penanaman pala 300 persen dan cokelat lebih dari 250 persen. Juga dimulai perkebunan
kopi dan karet. Dari usaha-usaha yang sudah dilakukan tahun-tahun belakangan
diharapkan produksi pertanian akan terus naik dari 5 hingga 10 persen per
tahun. Dari 17.000 hektare tanaman jangka panjang−jika seluruh areal produktif−bisa
dihasilkan £ 8,5 juta.
Di bidang kehutanan, di tahun-tahun
berikut, sejumlah proyek tambahan akan dibuka di beberapa tempat, seperti
Sarmi, Kebar, Teminabuan, Bosnik-Biak dan Sentani. Usaha tersebut dimaksudkan
untuk menarik lebih banyak−dibanding yang sudah ada pada saat itu−perusahaan
swasta (partikelir) untuk terlibat. Hal itu akan dipermulus melalui perbaikan
di bidang pajak.■
*Joost W. Mirino; Jurnalis di Papua
0 Komentar