Raja siang menyinari bumi, tempat kita berpijak
dengan cahayanya dengan ganas. Langit biru terlihat jelas. Awan, selimut bumi
pun tidak terlihat, segumpal pun. Nampaknya si raja siang marah. Kemarahan si
raja siang sudah saya tebak. Karena mimpi semalam masih terbayang. Di mana, dalam
mimpi saya tadi, Zabu yang saya tanam dua hari lalu loyo tak berdaya.
Di bawah pohon Gerseng, tempat yang selalu kami, berteduh untuk
berbagi cerita lepas. Saya kemudian berhenti sejenak untuk berteduh sambil
menikmati sedikit angin yang hanya bisa dirasakan oleh tubuh. Keganasan si raja
siang akhirnya tergambar jelas. Rumput-rumput bergoyang sambil menunduk diterpa
angin. Semakin jelas, hari ini raja siang marah. Sangat marah. Ya sangat marah.
Sinar si raja siang terpancar melalui sela-sela dedaunan
pohon Gerseng. Saya lau kemudian sadar. Kemarin, di atas langit kota ini
diselimuti oleh asap. Gelap. Nyaris tidak bisa melihat langit berwarna biru. Tetapi
suhunya luar biasa panas. Dan kini balasannya. Tidak ada orang yang bisa
meminta ampun padanya.
Teringat masa kecil saya dulu di Bilogai, tempat tanah
tumpah darah saya. Di sana, kalau cuaca buruk, satu hari, saya tidak bisa melihat
si karpet abadi berwarna biru di langit. Hanya bisa menikmati selimut putih
yang terhampar luas bagai salju di langit Bilogai.
Kalau cuca bagus, gunung Mbulumbulu
di ujung Timur Bilogai bersih. Biru. Dan
cerah. Setiap sudut dan setiap anak-anak gunung bisa kita lihat dengan mata. Di
saat itu, selimut putih pun menghilang entah ke mana. Lalu ketika matahari
terbit, ia akan menyinari bumi Sugapa dengan cahayanya yang tidak bisa ditadah.
Walaupun panas, angin sejuk selalu menghampiri. Tercipta kesejukan alami yang
tidak bisa digambarkan.
Di bawah pohon Gerseng itu, jiwa saya pergi sejauh mungkin. Saya melamun. Di dalam lamunan itu, saya tidak temukan siap pun di sana. Hanya ruang hampa. Di sana jiwa saya bingung. Di saat yang sama, di dunia nyata sinar matahari tetap mengintai saya. Kulit lengan saya yang hitam menjerit. Saya pun kaget.
Butuh waktu lima detik untuk kembalikan kesadaran saya. Saya
terbangun dari lamunan. Tidak terasa jarum jam tangan saya mununjukkan tepat
ada di pukul 12.00 siang. Ini sudah tengah hari.
Teringat juga, lonceng di gereja tua berdentang, di tempat saya
sekolah minggu dulu. Di gereja Santo Missael, Bilogai.
Saya tidak berdoa Angelus atau dalam bahasa Indonesia, ia
biasa disebut Doa Malaikta Tuhan. Dalam tradisi agama katolik, Doa Malaikat Tuhan
adalah satu devosi untuk menghormati penjelmaan Tuhan menjadi manusia. Dan didoakan
tiga kali dalam sehari, pada pagi hari, siang hari dan sore hari, ketika
lonceng dibunyikan. Doa Malaikat Tuhan terdiri dari tiga kali doa Salam Maria
yang diselingi dengan beberapa ayat, jawaban, dan sebuah doa.
Karena sejak saya menginjak remaja, saya tidak setuju
prinsip dan semangat gereja Katolik. Yang kini makin menjauh dari misi sang
pencipta. Ya… tapi entalah. Sejak menginjak remaja, saya sudah tidak berdoa
Angelus. Intinya saya tidak berdoa di jam 12 itu. Tetapi saya selalu bersyukur
atas kemurahan sang pelukis khalik nan abadi.
Setelah terbangun dari lamunan saya, saya pun melangkah,
pergi ke pondok tua dan lapuk yang sudah ada sejak tiga tahun lalu di kompleks
tempat saya tinggal. Semenjak saya pindah ke sini, dua tahun lalu, pondok itu
masih terrawat.
Mimpi semalam masih menghantui perjalanan saya. Hati saya
risau dan tidak tenang. Banyak fikiran menghantui saya dengan berbagai asumsi
yang sesungguhnya ngeri untuk saya.
Saya kemudian berusaha melawan mimpi semalam itu dengan
mencoba melihat kembali beberapa bunga yang ada di bagian depan pondok itu. Banyak
yang tidak terawat. Gulma sudah hidup berbaur dengan bunga. Sebagian makanan
yang harusnya dikomsumsi oleh bunga dirampas dari mulut bunga. Bunga yang kita
tanam tampak kurus dan daun-daunnya menguning. Akibat kerakusan gulma tersebut.
Tersentuhlah hati saya untuk mendekati bunga itu. Hati saya
merasa terpanggil untuk menyentuh dan memisahkan tumbuhan yang menjadi parasit
dan bunga-bunga itu. Tetapi hati saya bimbang. Di satu sisi, si tumbuhan yang
menjadi gulma ini pun punya hak untuk hidup. Lalu kenapa saya harus
menyingkirkannya? Gejolak dalam hati pun dimulai.
Saat itu, pilihannya hanya dua dengan resiko yang berat. Pertama,
kalau saya singkirkan tanaman liar, berarti saya harus mencabutnya hingga ke
akar. Dan itu berarti saya salah. Karena saya terlalu bodoh dan jahat untuk
memperpendek hak hidup si tumbuhan itu. dan itu artinya saya terlalu egois. Dan
kalau saya membiarkannya, tetapi tetap saja bunga tadi akan menjerit tak
berdaya. Karena tumbuhan liar menguasai makanan dan hak hidupnya.
Saya benar-benar ambigu. Mata saya hanya melotot
memperhatikan tumbuhan itu. Gejolak dalam hati saya masih terus berjalan. Sinar
matahari yang amat panas tidak saya hiraukan. Bunga-bunga tadi semakin layu. Gejolak
terus berlangsung tak terhindarkan.
Di sini saya mendapat pelajaran yang luar biasa. Mengambil sebuah
keputusan harus dengan hati dan bijaksana. Mengambil keputusan tidak harus
melukai siapa pun. Saya mengerti, bahwa pertempuran yang sesungguhnya tidak
dengan senjata. Atau pun tidak harus selalu dengan sebuah kekerasan. Tetapi gejolak
dan pertarungan yang sesungguhnya adalah ketika harus memutuskan dan mengambil
sebuah keputusan yang bijak.
Lalu, saya memutuskan
untuk hanya membersihkan seperlunya. Sayang.. daun-daun bunga semakin lemas dan
layu diterpa sinar mata hari.
Lima pot bunga yang ada sudah selesai dibersihkan. Legah
rasanya.
Saya kemudian melirik ke sudut kiri pondok itu. Di sana ada
satu pot bunga. Pot yang dua hari lalu saya buat sedemikian rupa. Lalu saya isi
tanah dan humus secukupnya. Lalu saya tanam satu pohon Zabu satu pohon. Ia saya
temukan di bawah pohon rindang di pinggiran kali Kampwolker. Lalu karena Zabu
itu masih mudah, saya bawa dan buatkan pot apa adanya lalu saya tanam di pot
bunga yang saya buat dari botol minuman mineral.
Wah….!
Di luar dugaan saya. Daun zabu itu sudah mengering. Harapan saya untuk
memelihara dan membuat dia menjadi lebih baik dan bisa memberikan warna
yang berbeda pun kandas seketika.
Tidak ada
harapan untuk hidup dan bertumbuh lagi. Umurnya baru 48 jam, tetapi harapan
untuk bertahan suram. Saya rasa bersalah. Saya hendak minta maaf, karena telah
memaksa dia untuk ikut kemauan saya. Tetapi belum sampai dua hari, ia mulai nampak
bahwa sudah tidak ada harapn lagi. Kalaupun saya harus menyiramnya, pagi, siang
dan sore, nampaknya susah. Apakah dia akan mendengar permintaan maaf saya? Dan apakah
dia akan memaafkan saya?
Terlintas di pikiran saya, adakah obat yang bisa membuatnya
kembali segar dan bisa bertumbuh lagi. Semua orang sudah mencoba. Semua orang puny
aide untuk mencoba membuat bunga itu segar dan tegar. Tetapi, nampaknya, hingga
saat ini belum ada satu penelitian, atau pun cara paling ampuh untuk membuat
zabu itu hidup lagi.
Saya yakin, semua orang di dunia ini sudah mencobanya. Tetapi
sangat susah. Saya kemudian menyalahkan diri saya sendiri. Karena saya tidak
bisa membuat zabu itu hidup.
Pada hal, saya berharap supaya zabu yang saya tanam ini
memberikan warna yang berbeda dari bunga yang sedang bertumbuh di lima pot yang
ada di depan pondok itu.
Zabu kini menjadi tren di semua kalangan. Siapa yang tidak
kenal zabu o atau kalung anggrek? Ia hanya ada di Papua. Zabu o kini sudah
banyak orang yang sulapi dia menjadi kalung.
Zabu … Mungkin, akan tinggal kenangan untuk saya. Dan mereka
yang sering datang hanya untuk
nongkrong maupun berbagi cerita-cerita lepas
sudah tahu dan sudah terlanjur memuji kehadiranmu itu. Karena dari awal mereka
senang, bahkan mereka sampai heran. Karena dari awal zabu itu ada di pondok
ini, ia telah memberikan kesan yang baik. Tetapi kemudian ia akan kering dan
tentu tidak akan bertumbuh lagi.
Sesungguhnya, dari awal saya senang. Karena zabu yang akan
saya rawat ini akan memberikan warna yang berbeda untuk orang-orang dan mereka
yang sering nongkrong di pondok itu. Tetapi, ya itulah…. Karena salah saya,
saya tidak melihat kemampuan saya untuk merawatnya, lalu saya hanya bawa dan
tanam.
Dan akhirnya ia akan tinggal kenangan. Karena dua hari sudah cukup lama.
Ia sudah cukup banyak yang lihat. Saya yakin, mereka yang lain pasti ingin
melakukan hal yang sama. Tetapi mungkin dengan cara yang lain. Tidak seperti
yang saya lakukan.
Kalau sudah begini, saya harus bikin apa….?
NB:
Zabu :
Anggrek (Dalam Bahasa Migani)
Zabu o :
Kalung Anggrek (Dalam bahasa Migani)
0 Komentar