Zabu Yang Layu – Harapan yang Terkandas

Oleh; Arnold Belau

Raja siang menyinari bumi, tempat kita berpijak dengan cahayanya dengan ganas. Langit biru terlihat jelas. Awan, selimut bumi pun tidak terlihat, segumpal pun. Nampaknya si raja siang marah. Kemarahan si raja siang sudah saya tebak. Karena mimpi semalam masih terbayang. Di mana, dalam mimpi saya tadi, Zabu yang saya tanam dua hari lalu loyo tak berdaya.
Di bawah pohon Gerseng, tempat yang selalu kami, berteduh untuk berbagi cerita lepas. Saya kemudian berhenti sejenak untuk berteduh sambil menikmati sedikit angin yang hanya bisa dirasakan oleh tubuh. Keganasan si raja siang akhirnya tergambar jelas. Rumput-rumput bergoyang sambil menunduk diterpa angin. Semakin jelas, hari ini raja siang marah. Sangat marah. Ya sangat marah. 
Sinar si raja siang terpancar melalui sela-sela dedaunan pohon Gerseng. Saya lau kemudian sadar. Kemarin, di atas langit kota ini diselimuti oleh asap. Gelap. Nyaris tidak bisa melihat langit berwarna biru. Tetapi suhunya luar biasa panas. Dan kini balasannya. Tidak ada orang yang bisa meminta ampun padanya.
Teringat masa kecil saya dulu di Bilogai, tempat tanah tumpah darah saya. Di sana, kalau cuaca buruk, satu hari, saya tidak bisa melihat si karpet abadi berwarna biru di langit. Hanya bisa menikmati selimut putih yang terhampar luas bagai salju di langit Bilogai. 
Kalau cuca bagus, gunung Mbulumbulu di ujung Timur Bilogai bersih.  Biru. Dan cerah. Setiap sudut dan setiap anak-anak gunung bisa kita lihat dengan mata. Di saat itu, selimut putih pun menghilang entah ke mana. Lalu ketika matahari terbit, ia akan menyinari bumi Sugapa dengan cahayanya yang tidak bisa ditadah. Walaupun panas, angin sejuk selalu menghampiri. Tercipta kesejukan alami yang tidak bisa digambarkan.

Di bawah pohon Gerseng itu, jiwa saya pergi sejauh mungkin. Saya melamun. Di dalam lamunan itu, saya tidak temukan siap pun di sana. Hanya ruang hampa. Di sana jiwa saya bingung. Di saat yang sama, di dunia nyata sinar matahari tetap mengintai saya. Kulit lengan saya yang hitam menjerit. Saya pun kaget. 
Butuh waktu lima detik untuk kembalikan kesadaran saya. Saya terbangun dari lamunan. Tidak terasa jarum jam tangan saya mununjukkan tepat ada di pukul 12.00 siang. Ini sudah tengah hari. 
Teringat juga, lonceng di gereja tua berdentang, di tempat saya sekolah minggu dulu. Di gereja Santo Missael, Bilogai. 
Saya tidak berdoa Angelus atau dalam bahasa Indonesia, ia biasa disebut Doa Malaikta Tuhan. Dalam tradisi agama katolik, Doa Malaikat Tuhan adalah satu devosi untuk menghormati penjelmaan Tuhan menjadi manusia. Dan didoakan tiga kali dalam sehari, pada pagi hari, siang hari dan sore hari, ketika lonceng dibunyikan. Doa Malaikat Tuhan terdiri dari tiga kali doa Salam Maria yang diselingi dengan beberapa ayat, jawaban, dan sebuah doa.
Karena sejak saya menginjak remaja, saya tidak setuju prinsip dan semangat gereja Katolik. Yang kini makin menjauh dari misi sang pencipta. Ya… tapi entalah. Sejak menginjak remaja, saya sudah tidak berdoa Angelus. Intinya saya tidak berdoa di jam 12 itu. Tetapi saya selalu bersyukur atas kemurahan sang pelukis khalik nan abadi. 
Setelah terbangun dari lamunan saya, saya pun melangkah, pergi ke pondok tua dan lapuk yang sudah ada sejak tiga tahun lalu di kompleks tempat saya tinggal. Semenjak saya pindah ke sini, dua tahun lalu, pondok itu masih terrawat. 
Mimpi semalam masih menghantui perjalanan saya. Hati saya risau dan tidak tenang. Banyak fikiran menghantui saya dengan berbagai asumsi yang sesungguhnya ngeri untuk saya. 
Saya kemudian berusaha melawan mimpi semalam itu dengan mencoba melihat kembali beberapa bunga yang ada di bagian depan pondok itu. Banyak yang tidak terawat. Gulma sudah hidup berbaur dengan bunga. Sebagian makanan yang harusnya dikomsumsi oleh bunga dirampas dari mulut bunga. Bunga yang kita tanam tampak kurus dan daun-daunnya menguning. Akibat kerakusan gulma tersebut. 
Tersentuhlah hati saya untuk mendekati bunga itu. Hati saya merasa terpanggil untuk menyentuh dan memisahkan tumbuhan yang menjadi parasit dan bunga-bunga itu. Tetapi hati saya bimbang. Di satu sisi, si tumbuhan yang menjadi gulma ini pun punya hak untuk hidup. Lalu kenapa saya harus menyingkirkannya? Gejolak dalam hati pun dimulai. 
Saat itu, pilihannya hanya dua dengan resiko yang berat. Pertama, kalau saya singkirkan tanaman liar, berarti saya harus mencabutnya hingga ke akar. Dan itu berarti saya salah. Karena saya terlalu bodoh dan jahat untuk memperpendek hak hidup si tumbuhan itu. dan itu artinya saya terlalu egois. Dan kalau saya membiarkannya, tetapi tetap saja bunga tadi akan menjerit tak berdaya. Karena tumbuhan liar menguasai makanan dan hak hidupnya. 
Saya benar-benar ambigu. Mata saya hanya melotot memperhatikan tumbuhan itu. Gejolak dalam hati saya masih terus berjalan. Sinar matahari yang amat panas tidak saya hiraukan. Bunga-bunga tadi semakin layu. Gejolak terus berlangsung tak terhindarkan.
Di sini saya mendapat pelajaran yang luar biasa. Mengambil sebuah keputusan harus dengan hati dan bijaksana. Mengambil keputusan tidak harus melukai siapa pun. Saya mengerti, bahwa pertempuran yang sesungguhnya tidak dengan senjata. Atau pun tidak harus selalu dengan sebuah kekerasan. Tetapi gejolak dan pertarungan yang sesungguhnya adalah ketika harus memutuskan dan mengambil sebuah keputusan yang bijak. 
Lalu, saya memutuskan untuk hanya membersihkan seperlunya. Sayang.. daun-daun bunga semakin lemas dan layu diterpa sinar mata hari. 
Lima pot bunga yang ada sudah selesai dibersihkan. Legah rasanya. 
Saya kemudian melirik ke sudut kiri pondok itu. Di sana ada satu pot bunga. Pot yang dua hari lalu saya buat sedemikian rupa. Lalu saya isi tanah dan humus secukupnya. Lalu saya tanam satu pohon Zabu satu pohon. Ia saya temukan di bawah pohon rindang di pinggiran kali Kampwolker. Lalu karena Zabu itu masih mudah, saya bawa dan buatkan pot apa adanya lalu saya tanam di pot bunga yang saya buat dari botol minuman mineral. 
Wah….!
Di luar dugaan saya. Daun zabu itu sudah mengering. Harapan saya untuk memelihara dan membuat dia menjadi lebih baik dan bisa memberikan warna yang berbeda pun kandas seketika. 
Tidak ada harapan untuk hidup dan bertumbuh lagi. Umurnya baru 48 jam, tetapi harapan untuk bertahan suram. Saya rasa bersalah. Saya hendak minta maaf, karena telah memaksa dia untuk ikut kemauan saya. Tetapi belum sampai dua hari, ia mulai nampak bahwa sudah tidak ada harapn lagi. Kalaupun saya harus menyiramnya, pagi, siang dan sore, nampaknya susah. Apakah dia akan mendengar permintaan maaf saya? Dan apakah dia akan memaafkan saya? 
Terlintas di pikiran saya, adakah obat yang bisa membuatnya kembali segar dan bisa bertumbuh lagi. Semua orang sudah mencoba. Semua orang puny aide untuk mencoba membuat bunga itu segar dan tegar. Tetapi, nampaknya, hingga saat ini belum ada satu penelitian, atau pun cara paling ampuh untuk membuat zabu itu hidup lagi. 
Saya yakin, semua orang di dunia ini sudah mencobanya. Tetapi sangat susah. Saya kemudian menyalahkan diri saya sendiri. Karena saya tidak bisa membuat zabu itu hidup. 
Pada hal, saya berharap supaya zabu yang saya tanam ini memberikan warna yang berbeda dari bunga yang sedang bertumbuh di lima pot yang ada di depan pondok itu. 
Zabu kini menjadi tren di semua kalangan. Siapa yang tidak kenal zabu o atau kalung anggrek? Ia hanya ada di Papua. Zabu o kini sudah banyak orang yang sulapi dia menjadi kalung. 
Zabu … Mungkin, akan tinggal kenangan untuk saya. Dan mereka yang sering datang hanya untuk 
nongkrong maupun berbagi cerita-cerita lepas sudah tahu dan sudah terlanjur memuji kehadiranmu itu. Karena dari awal mereka senang, bahkan mereka sampai heran. Karena dari awal zabu itu ada di pondok ini, ia telah memberikan kesan yang baik. Tetapi kemudian ia akan kering dan tentu tidak akan bertumbuh lagi. 
Sesungguhnya, dari awal saya senang. Karena zabu yang akan saya rawat ini akan memberikan warna yang berbeda untuk orang-orang dan mereka yang sering nongkrong di pondok itu. Tetapi, ya itulah…. Karena salah saya, saya tidak melihat kemampuan saya untuk merawatnya, lalu saya hanya bawa dan tanam. 
Dan akhirnya ia akan tinggal kenangan. Karena dua hari sudah cukup lama. Ia sudah cukup banyak yang lihat. Saya yakin, mereka yang lain pasti ingin melakukan hal yang sama. Tetapi mungkin dengan cara yang lain. Tidak seperti yang saya lakukan. 
Kalau sudah begini, saya harus bikin apa….?

NB:
Zabu : Anggrek (Dalam Bahasa Migani)
Zabu o : Kalung Anggrek (Dalam bahasa Migani)

Posting Komentar

0 Komentar