Kepulauan “Para Raja” Raja Ampat (Bagian 3)



Oleh; Ayu Arman*
Wallace survived 12 years in the tropics collecting specimens (Image: Evstafieff/Down House, Downe, Kent, UK/English Heritage Photo Library/Bridgeman). www.newscientist.com

Alfred Russel Wallace ketika pertama kali memasuki pulau Waigeo pada 1860 mencatat dalam buku magnum opus-nya, The Malay Archipelago (1869), bahwa penduduk yang tinggal di Waigeo bukan penghuni asli pulau itu.

Penduduk pulau ini adalah orang-orang Alfuro dan ras campuran; sebagian dari Gilolo (Jailolo) dan sebagian dari New Guinea. Orang Melayu dan Alfuro dari Jailolo mungkin telah lama berpindah ke pulau ini dan kemudian menikah dengan perempuan Papua.

Wallace juga menuliskan dalam catatannya bahwa pulau Waigeo saat itu di bawah pemerintahaan Kesultanan Tidore. Setiap tahun penduduk harus membayar upeti berupa cendrawasih, kulit penyu, atau sagu. Mereka juga memberikan perahu-perahu, armada perang, dan laki-laki Papua sebagai budak.
Hubungan masa silam itu yang kemudian mempengaruhi budaya, politik, dan agama masyarakat Papua pada umumnya dan Kepulauan Raja Ampat pada khususnya. Sejarah mencatat ketika Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah mengangkat Sultan Tidore Zainal Abidin Syah menjadi gubernur pertama Papua pada 1956-1961. Adapun ibukota Papua saat itu dipusatkan di Pulau Tidore, Soasiu.
www.newscientist.com

Melihat sejarah, tradisi, dan keragaman alam di empat pulau besarnya yang demikian itu wajar kemudian bila Raja Ampat disebut-sebut sebagai Indonesia mini dengan semangat toleransi yang tinggi. Di situlah habitus berkolaborasinya masyarakat asli suku Maya, Wauyai, Matbat, Ambelwaren, Laganyan, Syam, Tepin Renkri, Fyawat, Kawe, Batanta, dan suku Matlau, dengan suku pendatang Biak-Numfor Papua dan Seram-Halmahera-Ternate-Tidore Maluku.

Dalam tradisi keagamaan misalnya, penduduk Kepulauan Raja Ampat sebagian besar menganut agama Islam dan Kristen. Dua kelompok agama ini hidup berdampingan secara harmonis. Mereka saling membantu pada saat perayaan-perayaan agama dan pesta adat.

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, umumnya masyarakat etnik menganut kepercayaan mon, yaitu pemujaan kepada roh-roh halus yang menghuni alam semesta. Dalam kepercayaan mon, semesta dikuasai roh-roh halus yang kasat mata. Roh-roh halus itu memiliki kekuatan-kekuatan magis yang bisa mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan kepada manusia apabila manusia berbuat kebaikan. Sebaliknya, roh-roh itu mendatangkan malapetaka bagi manusia jika ternyata berbuat hal-hal yang buruk dan tercela.

Dunia roh itu dianggap sebagai dunia hunian arwah leluhur yang sewaktu hidup melakukan amal kebajikan, mempunyai ilmu kesaktian, serta kekuatan magis yang tak dimiliki orang lain. Artefak-artefak dari praktik kepercayaan mon itu masih bisa kita temukan dalam dunia pengobatan penyakit maupun kegiatan ekonomi antarsuku seperti pembukaan dan pengolahan tanah baru dan penyelaman mutiara. Ritual dari kepercayaan mon itu terabadikan sebagai cara warga bersyukur pada arwah leluhur atas segala keberuntungan yang diperoleh dalam satu masa tertentu atau rasa terimakasih karena terlindungi dari amukan penyakit.

Islam merupakan agama asing pertama yang masuk di daerah tersebut. Diperkirakan agama Islam masuk melalui pengaruh kesultanan-kesultanan Maluku Utara di daerah Kepulauan Raja Ampat tidak lama setelah agama Islam diterima di Maluku Utara (Leeden 1980: 393) pada masa terbentuknya sistem kesuItanan penama di Ternate oleh Zainal Abidin pada akhir abad ke 15. Sementara agama Kristen membuka pos penginjiian yang pertama di Nieuw Guinea pada tanggal 5 Februari 1855 di pulau Mansinam (Manokwari) baru melakukan perjalannya ke kepulauan Raja Ampat (pertama-tama di Saonek, pulau Waigeo) pada tahun 1915).

Setelah dimekarkan dari Kabupaten Sorong pada 2003, kepulauan ini tumbuh dan berkembang dengan pesat karena menjadi tujuan wisata bahari dunia sehingga asmilasi budaya pun terjadi dengan cepat. Dan seiring waktu, budaya masyarakat Raja Ampat kian unik dan multikultur dengan hadirnya para pendatang seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku Utara, Ambon, dan juga wisatawan mancanegara.

Meski begitu, nilai-nilai budaya masyarakat lokal tetap dijaga dan diwariskan  warga Raja Ampat. Karena energi budaya lokal akan menjadi konfigurasi memperkuat kawasan; bukan hanya kekuatan ekonomi, tapi juga memberi ketahanan identitas masyarakat Raja Ampat dalam pergaulan dunia. Sebab energi budaya lokal akan memberi tanda kesiapan masyarakat menyambut dunia luar dan berinteraksi di dalamnya.

* Ayu Arman penulis buku, Mengantar Raja Ampat ke Pentas Dunia, Biografi Drs. Marcus Wanma (2009), Pusaka Raja Ampat, History and Culture (2012), Derap Langkah Marinda Pembangunan Raja Ampat Periode 2005-2015 (20150, Misool Is Kingdom of The Sea, The Best Island in Raja Ampat (2017) dan buku lainnya.




Posting Komentar

0 Komentar