Senja di Pantai Pirimapun, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Papua.Foto; KOMPAS/WISNU WIDIANTORO |
RAWA kecoklatan, hijau rimbun dedaunan, dan biru langit
menyambut kami di Asmat, Papua. Beberapa kali terlihat elang terbang
mengitari sarang. Itulah panorama Asmat yang menyegarkan mata,
mendamaikan pikiran.
Kami menyusuri potong Famborep di Kabupaten
Asmat, Papua, Agustus lalu. Sungai itu terasa teduh oleh kanopi
dedaunan. Kami pun terlindung dari sengatan matahari. Longboat yang
dikemudikan Nelson, motoris Keuskupan Agats, meliuk-liuk mengikuti
aliran kali. Tikungan tajam, pohon tumbang, dan dangkalnya air menjadi
tantangan. Air terbelah saat mesin 55 PK menderu kencang. Beberapa kali
Nelson mengurangi laju perahu saat berpapasan dengan perahu lain.
Sensasi
keteduhan dan ketenangan kali potong itu kemudian berganti arus
bergelombang saat kami memasuki Sungai Jetsy yang lebih lebar. Kami
langsung melipat tangan dan badan agar terlindung dari sengatan
matahari. Setelah melaju dengan longboat selama 4 jam, kami tiba di
Dermaga Atsj di pinggir Sungai Bets. Riuh anak sekolah berebut permen
menyambut kami.
Sama seperti di Agats, warga Atsj juga jarang
menginjakkan kaki ke tanah. Jalan, lapangan, halaman, dan rumah semuanya
dibangun di atas tanah rawa berlumpur yang tebal. Hamparan papan kayu
besi sekitar 1,5 meter di atas tanah bagaikan karpet merah bagi tamu
yang datang ke Atsj.
Entah berapa banyak pohon yang ditebang untuk membangun Atsj dan daerah
lain di Asmat. Hampir tidak ada bangunan semen dan batu bata, semuanya
dari kayu. Namun, mulai tahun 2011, di Agats yang menjadi ibu kota
Kabupaten Asmat, pemerintah membangun jalan beton beraspal sepanjang 1
kilometer. Tidak seberapa memang jika dibandingkan total jaringan jalan
di Agats yang mencapai 17 kilometer.
Butuh penyesuaian saat mulai
menyusuri jalanan tanpa pagar pengaman. Walaupun selebar 2 meter, tetap
saja mata terpaku ke jalanan, takut terperosok dan jatuh ke lumpur.
Apalagi, ditambah dengan bunyi berderit dan kayu beradu setiap kali kaki
melangkah.
Sore itu, kami berjalan menyusuri hamparan papan kayu
besi menuju Paroki Atsj, tempat kami menginap. Sapaan ”selamat sore”
terucap dari semua orang yang berpapasan sepanjang perjalanan kami
menuju tempat menginap. Aneh juga rasanya karena tiada hentinya membalas
”selamat sore” kepada orang yang belum kenal.
Memang, orang
Asmat terkenal akan keramahannya. Siapa pun kita, pasti akan mendapat
sapaan serupa dari warga. Bahkan, sepanjang perjalanan dari Agats menuju
Atsj, banyak warga yang melambaikan tangan ke arah kami. Kami membalas
dengan lambaian tangan.
Gelap mulai datang, lampu-lampu senter milik warga mulai menerangi
jalanan. Listrik memang terbatas di Asmat dan hanya tersedia dari jam
enam sore hingga tengah malam. Kami memasak ikan kerapu di dapur
pastoran. Ikan itu kami beli dari penduduk dalam perjalanan menuju Atsj.
Ukiran dan perahu
Keesokan
harinya, kami melihat kegiatan warga memahat ukiran di sanggar seni
Asmat. Karya ukiran itu jugalah yang membuat Michael Rockefeller, putra
Gubernur New York, Amerika Serikat, Nelson Rockefeller, datang ke Asmat
untuk kedua kalinya pada tahun 1961. Ia ingin melengkapi koleksi
keunikan ukiran Asmat yang akan dipamerkan di Museum Primitive Art, New
York. Sayang, ia tewas di belantara Asmat dalam ekspedisi tersebut.
Namun, berkat jasa-jasanya, Asmat dikenal dunia dan dianggap sebagai
situs warisan dunia yang harus dilestarikan.
Pagi itu, enam
pematung tekun mengerjakan ukiran mereka untuk diikutkan dalam seleksi
Pesta Budaya Asmat Ke-27. Pesta yang diselenggarakan pada 9-14 Oktober
lalu itu untuk mewadahi dan memperkenalkan kebudayaan Asmat kepada dunia
luar. Bukan itu saja, ukiran hasil seleksi akan dilelang dengan nilai
fantastis.
Dari kayu yang diukir, tidak terlihat gambar pola yang
biasa dibuat sebelum diukir. Pikiran, mata, dan tangan mereka menyatu
dengan pisau pahat yang terus bekerja. Imajinasi mereka terus
mendampingi selama mengukir. Ketekunan dan kerja keras imajinasi mereka
membuahkan hasil karya yang luar biasa.
Ukiran mempunyai peran
penting dalam kehidupan orang Asmat. Ukiran hadir pada tifa, tameng,
perahu, bahkan dayung. Awalnya, ukiran Asmat dibuat untuk mengenang dan
menghadirkan roh leluhur. Seiring perkembangan zaman, tema ukiran
berkembang. Sekarang ini banyak ukiran dibuat untuk melukiskan kehidupan
sehari-hari.
Sama seperti ukiran, perahu juga mempunyai peran
penting dalam kehidupan orang Asmat yang tinggal di sepanjang aliran
sungai. Selain sebagai alat transportasi, perahu dari satu batang pohon
berukuran besar juga digunakan untuk berburu dan berperang. Bahkan,
sejumlah orang menganggap perahu Asmat adalah jew (rumah adat warga
Asmat) berjalan. Aspek gotong royong dalam perahulah yang membuatnya
disebut demikian.
Untuk membuat perahu dibutuhkan sedikitnya lima orang. Di Distrik Sawa
Erma, Asmat, kami melihat setiap orang mempunyai peranan masing-masing
dalam proses pembuatan perahu. Ada yang berperan sebagai pembuat
cekungan di batang pohon, menghaluskan, dan juga membuat ukirannya. Saat
perahu digunakan, lima hingga enam warga mendayung bersama. Nilai
kebersamaan tergambar dari perahu tradisional Asmat.
Bagi
sejumlah warga, saat ini kebersamaan dan gotong royong semakin luntur
dengan banyaknya bantuan perahu fiber bermesin dari pemerintah. Semangat
mendayung bersama mulai digantikan dengan uang bensin. Warga menyebut
pengguna perahu fiber dengan ”pantat fiber”. Ya, karena mereka tinggal
duduk dan menarik gas, bukan berdiri dan mendayung bersama.
Asmat memang berhadapan dengan perubahan zaman dan gaya hidup. Semoga keteduhan dan keguyuban warga tidak berubah. (Wisnu Widiantoro)
Sumber; http://travel.kompas.com