Penduduk asli menganggap Waigeo sebagai tanah
ada sukunya. Tetapi selain penduduk asli, terdapat juga penduduk yang berasal
dari Helmahera, Tidore, Ternate, Seram, Sulawesi Selatan serta mereka yang
datang dari Timur Papua. Karena itu mereka bercampur baur dan menerima berbagai
macam pengaruh dari luar sehingga ciri-ciri Papua menjadi hilang.
Melalui orang-orang Seram, Tidore, Bugis Dan
Makassar yang datang dan menetap disana sebagai pedagang, agama islam masuk dan
mempengaruhi kehidupan, tetapi tidak mempengaruhi adat penduduk setempat.
Para pemuka dengan gelar kalana atau raja
adalah orang-orang asing; mereka yang pada zaman dahulu adalah kaki tangan
Sultan Ternate, dan mereka harus membayar rampasan perang. Wilayah pantai tetap
dianggap sebagai “medan berburu” mereka untuk mendapatkan berbagai rampasan
perang.
Lebih ke daerah Selatan, di jazirah yang di
namakan Bomberai, bermukim sejumlah suku. Ke arah Barat terdapat Jazirah
Kapauer atau Onin sebagai pusat pemerintah, di bagian Utara terdapat wilayah
Kokas, sebagai pelabuhan tempat kapal-kapal bersandar.
Jazirah Kapauer merupakan wilayah terpenting
karena disana terdapat sekitar 8 kerajaan kecil antara lain; Arguni, Sekar,
Pikpik, Wartuar, Pattipi, Rumbiati, Fatigar, dan Atiati. Raja-raja dari semua
kerajaan kecil itu adalah keturunan yang datang dari Pulau Seram dan Goram.
Mereka adalah kaki tangan Sultan Ternate dan Ia yang mengangkat mereka menjadi
raja.
Pemerintah Belanda banyak menggunakan pengaruh
dari raja-raja tersebut karena tidak mengetahui hubungan dan konsisi sosial
masyarakat saat itu. Pemerintah Belanda tidak mengetahui bahwa raja-raja itu
sudah menggeser peran kepala suku dalam adat masyarakat setempat. Akibatnya
pengaruh raja-raja ini semakin besar.
Salah satu sumber; Het gebied der Kalana fat of
vier Radja's in Westelijk Nieuw-Guinea, F S A de Clercq, Leiden : Brill, 1889.
Foto; KLTIV
Foto; KLTIV
0 Komentar