Mee Yagamo yang Malang







 Cerpen Selpina Tekege )*
 

“Dokter, tolong.”
“Mari bu.”
“Kamu mau melahirkan?”
“Tidak dokter, saya mau suster periksa bayi saya”
“Baiklah bu, kamu tenang dulu.”
“Cepat suster.”

Segera dilakukan pemeriksaanya. Ternyata anak dalam kandunganku meninggal karena pukulan yang selalu dilemparkan. Saya duduk dan menangis. Pikranku semakin kacau. Saya memahami bagaimana kebiasaannya yang diterima umum dan saya semakin bingun apa yang harus saya lakukan. Beribu rasa beradu di benak. Air mata tak bisa kuhentikan. Apakah yang akan terjadi kedepannya jika saya tak punya anak?

***
Dasar wanita tidak berguna. Pembawa sial. Pemalas. Kata-kata itulah yang selalu jadi teman dalam hidup hari-hariku sekarang. Dicap setelah saya berada di beranda ini. Rumah yang penuh dengan tangisan. Penuh dengan kedengkian. Penuh dengan pilu. Penuh dengan segala rasa yang membosankan. Tak pernah ada sapaan manis. Sapaan yang membuatku tenang. Sungguh ini membosankan.

Semenjak itu tak pernah ada pelukan manja yang menghentikan tangisanku. Ketika saya lapar. Ketika saya sakit. Ketika saya tertekan. Saya sepeti hidup di neraka. Terakhir kali saya mendapatkan pelukan manja adalah saat ibu menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit sejak saya berumur tiga tahun. Saya bahkan lupa bagimana rasanya dipeluk atau memeluk dengan penuh kasih..

Saya dibenci oleh seluruh isi rumah ini. Dari anak kecil sampai yang besar. Jerewelan yang kecil sampai yang besar adalah sentuhan yang kukenal di setiap hari-hariku.

Awalnya, hanya Yusuflah yang menyentuhku. Yusuf adalah pamanku. Saya diambil dan dibesarkan oleh paman setelah ibuku meninggal. Tangan paman besar. Bulu-buku tangan juga tebal. Selalu meninggalkan rasa pedih di pipiku, terasa hingga sekujur tubuhku.

Beberapa waktu lalu, saya lupa membuang sampah yang berisi sisa makan yang berada di depan kamarnya paman. Tong sampah itu terinjak oleh paman. Suara paman menggelegar memanggil namaku. Dengan gementar saya mendatangi paman. Paman sepeti berubah menjadi raksasa yang tak sabar melahapku. Tangan yang besar itu melahapku dengan tamparan yang sungguh luar biasa. Kali ini di telinga. Sekujur tubuhku ikut gementar dan saya tak tahu lagi bagaimana segera buat langkah, bergegas pergi pun tidak, saya tersihir. Tidak menyangka.

Tamparan kali ini adalah salah satu tamparan yang saya dapatkan dari sekian tamparan. Segala jenis sentuhan yang kurasakan sepertinya tak dialami oleh saudara laki-laki yang sama-sama berada di rumah itu. Bahkan seluruh desa itu tamparan terhadap perempuan sebagai budaya mereka. Anak lelaki tak pernah di jewer ataupun dimarah meskipun mereka main sampai berlari-larian merusak rumah maupun kebun. Dapat jatah makann yang lebih banyak dari perempuan. Anak laki-laki diperlakukan seperti raja. Bahkan sampai sekarang saya meykini bahwa budaya itu masih ada dan dipelihara.

Sore yang sunyi. Sunset yang meram bepergian ke barat. Pancarannya memberiku warna yang indah. Merah kekuningan yang membentuk warnah jingga, indah, memelukku dengan hangatnya. Tak ada suara apapun yang terdengar. Tak ada makluk yang bergerak selain dedaunan yang memberiku lambaian mengikuti arah angin.

Samping teras rumah hanya ada saya. Di atas meja yang bentuknya bundaran ada segelas teh. Di situ terdapat dua kursi yg berwarna coklat. Satunya menghadap dari timur ke selatan dan yang satunya dari selatan ke timur. Satu yang dari selatan ketimur ada saya yang terduduk sambil memadangi sunset. Rupanya seluruh saudara laki-laki pergi bermain. Memang itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Paman pun sering pulang malam.

“Ting ting sret sret...”

Suara hentakan kaki mulai terdengar dari arah pintu. Ini tidak lain, paman, si badan besar itu. Sudah biasa kalau jalan semua rumah hampir goyang. Sekejap saya berbalik arah, pamannya dari pintu mendekatiku dengan senyumannya yang khas. Tangannya menentang bungkusan. Aku merinding. Paman duduk di depanku, di kursi yang kosong. Saya bingung. Haruskah saya memandangi dengan wajah yang tersenyum ataukah saya harus menundukkan kepala?

“Kau sudah makan?”

“Sudah paman.”

“Kau tau minggu depan adalah pesta (yuwo)”

“Saya tahu, hari itu yang selalu saya nantikan.”

Yuwo adalah salah satu pesta adat yang terdapat di desaku. Pesta seperti ini dimeriahkan dengan banyak jenis acara. Ada tarian adat dan menjual barang yang dimiliki oleh setiap keluarga. Yuwo ini adalah salah satu acara yang didominasi dengan gensi antar suku. Di yuwo itulah sebagian orang menemukan jodoh dan mendapatkan pasangan hidunya.

“Saya sudah menemukan calon suami yang baik untuk kamu,” suara gembira paman memecahkan lamunanku.

“Bersiaplah. Minggu depan engkau akan kunikahkan.”
Ia melanjutkan perbicanganya sambil memberikan bungkusan itu.

Saya menjawab perkataan itu dengan anggukan. Pelan-pelan saya ambil dan berjalan menuju rumah sebelah tempat tinggal isti paman.

Belaian manja dari sang ibu pada anaknya yang baru berumur tiga bulan terlintas di mataku di ujung dapur. Kupandangi lagi ke dua kalinya, ibu Marta sedang memandikan anaknya. Karena sudah kuanggap sebagai mama, selalu kupanggl dengan sebutan mama.

“Mama.”

“Ada apa. Mari, sini.”

Saya segera menuju arah mama dan segera genggaman manja dari mama kudapat. Bungkusan itu belum kubuka.

Satu hari jelang yubo, banyak orang dari semua penjuru berdatangan. Orang-orang di desa mondar-mandir sibuk mempersiapkan acaranya besok. Masing-masing rumah punya acara makan-makan. Saya pun sibuk dalam persiapan itu. Namun kesibukkan tak mampu membuatku melupakan bungkusan dan perkataan paman itu.

Suara khas tarian waita sudah di depan rumah. Penjemputan kepala adat mulai berlangsung. Saya bergegas keluar dan saya pun masuk ke dalam suasana bersama sesama perempuan sebaya dan ikut menari. Semua beban yang ada di hati seperti hilang seketika.

Senja mulai tiba. Suara jangkrik mulai terdengar di mana-mana. Kampung itu tak ada orang sama-sekali. Tinggal sisa-sisa makanan. Sampah berhamburan sana-sini. Tubuh yang lemah ini ingin kubaringkan di tempat saya tidur. Dengan lemas segera balik ke rumah.

Tuharr, seluruh isi rumahku dipenuhi manusia. Di sana mereka keliling rumah. Saya diarahkan langsung menuju tengah. Saya tidak habis pikir barang-barangku sudah tersusun rapi dalam tas mungil yang terbuat dari kulit kayu.

“Sekarang ini suami kamu,” kata panam dengan keras menunjuk laki-laki yang seumuran dengan paman. Tua, tidak saya kenal, menyeramkan.

“Sekarang kamu sudah miliknya. uang maskawin sudah saya ambil. Ini sudah saatnya untuk kau balas budi kepada saya yang besarkan kamu.”

Saya hanya tunduk. Menolak berarti babak belur dihajar paman dan mengiyakan artinya membohongi hari nurani. Saya diam dan menunduk. Mereka sudah mulai prosesi nasehat-menasehati yang goblok itu, saya masih menunduk dan menjangkau sebisa mungkin kyalayan yang bisa mengusir kenyataan.

Saya tak ingin kemana-mana. Saya masih ingin disini. Masih banyak yang belum saya pelajari. Saya tahu menjadi seorang mama itu tidak semudah yang orang-orang bayangkan. Bahkan saya belum pikir atau pernah bayangkan. Itu pikiran orang-orang dewasa sana.

“Mengerti?”

Suara paman membuat saya kaget setengah mati, cepat-cepat sadar dari lamunan panjang yang sia-sia saja rasanya. Terburu-buru saya mengangkat kepala. Paman tertawa bahak-bahak dan ia menyerakan saya pergi.

“Sekarang, kamu dua hidup. Baik dan buruk, kalian satu keluarga. Jangan pernah kembali,” itu kata terakhir yang saya dapat tangkap.

Malam itu tak ada bintang. Hanya ada kami yang sedang menuju rumah dia yang bahkan tidak saya ketahui namanya..

Baru tiga hari di rumah itu saya sudah dipukuli babak belur. Rasanya sudah seperti bertahun-tahun saya berada di rumah itu. Kata-katanya tidak mampu saya cerna, emosinya meledak-ledak. Tempat ini seperti di neraka. Saya mulai merasa tidak mampu.

Pagi-pagi seperti biasa saya menuju ke arah dapur. Saya bertemu seorang perempuan tua, dia  memandangiku dari jauh.

“kamu istrinya Ayub?”

“Jadi namanya Ayub?” tanya batinku dalam hati.

“Iya, mama.”

“Dia suamiku juga.”

Dan saya sudah kebal sakit hati.

Sudah dua tahun, saya belum jua punya anak. Seluruh rumahku membenciku. Memukuliku.

Setelah tahun ketiga, saya hamil. Setiap hari saya ke dokter. Kontrol. Namun saat-saat seperti itu selalu kudaat pukulan. Jarunm jam menunjukkan pukul 14;00. Orang-orang di rumah sudah tidur nyenyak istrahat siang. Saya mengambil kesempatan itu untuk segera berlari ke rumah sakit karena saya merasakan bahwa anak dalam kandungan saya tidak bergerak-bergerak padahal sudah 8 bulan.


***

Ternyata anak dalam kandunganku meninggal karena pukulan yang selalu dilemparkan. Saya duduk dan menangis. Pikranku semakin kacau. Saya memahami bagaimana kebiasaannya yang diterima umum dan saya semakin bingun apa yang harus saya lakukan. Beribu rasa beradu di benak. Air mata tak bisa kuhentikan. Apakah yang akan terjadi kedepannya jika saya tak punya anak?

Seluruh tubuh terasa sakit. Saat saya bangun, saya sudah berada di rumah sakit. Tangan kananku berbalut perban. Seorang polisi membawa sebuah berkas yang diselimuti dengan stofmaf warna ungu. Surat itu ada dua kertas. Yang satunya adalah surat cerai. Yang satunya adalah beribu kata-kata yang menurutku tidak asing lagi “perempuan tidak punya rahim, perempuan goblok, perempuan pembawa sial, perempuan tidak berguna jangan pernah kembali lagi ke rumah”. END


*) Selpina Tekege, mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia, kuliah di UNPGRIS Semarang.


Posting Komentar

0 Komentar