Oleh : Made Supriatma
DEBAT tentang Papua telah sampai pada satu soal yang maha penting: nasionalisme Indonesia. Kalau diperhatikan, Indonesia adalah negara yang sangat "ajaib." Sekian banyak perbedaan namun bisa disatukan dalam satu bangsa. Bahkan pembentukan Indonesia sebagai sebuah "bangsa" ini tidak memerlukan waktu dalam bilangan abad. Cukup 25 tahun, atau seperempat abad, waktu untuk membentuk Indonesia.
Foto : Mahasiswa Papua di Jogja di Intimidasi oleh OTK |
DEBAT tentang Papua telah sampai pada satu soal yang maha penting: nasionalisme Indonesia. Kalau diperhatikan, Indonesia adalah negara yang sangat "ajaib." Sekian banyak perbedaan namun bisa disatukan dalam satu bangsa. Bahkan pembentukan Indonesia sebagai sebuah "bangsa" ini tidak memerlukan waktu dalam bilangan abad. Cukup 25 tahun, atau seperempat abad, waktu untuk membentuk Indonesia.
Coba diingat, introduksi sistem pendidikan untuk kalangan pribumi
dimulai awal abad ke-20. Hanya dalam waktu beberapa tahun kemudian
muncul gerakan sosial pertama di Indonesia. Singkat sekali, hanya dalam
waktu 5-10 tahun! Hasil pendidikan STOVIA bukan hanya dokter-dokter
pribumi namun juga manusia-manusia nasionalis, yang tiba-tiba
saja tersadarkan bahwa kita (pribumi) adalah lain dari "mereka" (orang
kulit
putih). Tidak sampai dua puluh tahun kemudian, ide tentang bangsa
Indonesia
telah matang.
Namun ada beberapa hal yang perlu dikaji secara luas. Pertama, yang dinamakan
bangsa (nation) tidaklah sama dengan negara (state). Implikasi dari soal ini
sangat luas. Indonesia sebagai negara adalah "warisan kolonial" (product of
colonial legacy). Teritori, administrasi, sistem hukum (walaupun
sekarang
banyak diubah) Indonesia adalah produk dan kelanjutan dari pemerintahan
kolonial Belanda.
Sementara bangsa sangat berbeda dari negara. Bangsa Indonesia adalah
baru, bukan hasil bentukan Belanda, sekalipun kelahirannya dipengaruhi
oleh kolonialisme Belanda.
Soal negara mungkin sudah jelas. Tidak heran
jika siapapun yang berkuasa di Indonesia dia mewarisi sebuah kebudayaan
negara (sekali lagi: kebudayaan negara atau statecraft) yang diwarisi
dari sejak berabad-abad. Mentalitas birokrasi, cara memerintah, sistem
administrasi, etc., semuanya adalah warisan kolonial. Sehingga, kalau
ada
watak kolonial dalam setiap pengelolaan negara, maka sumbernya bisa
dicari
disini. Banyak sejarahwan, misalnya, menemukan betapa pararelnya negara
jaman
Orde Baru dengan negara kolonial tahun 1930an.
Soal kedua, tidak pernah tegas dan jelas apa yang dinamakan bangsa Indonesia
itu. Siapakah bangsa Indonesia? Orang bisa bilang bahwa Indonesia adalah
bangsa yang multi-etnik, multi-ras, multi-agama, multi-ideologi, etc. Namun
tidak pernah jelas kalau ditanya, siapa sih orang Indonesia? Apakah orang
Indonesia adalah orang pribumi? Siapa yang menentukan apa dan siapa yang
pribumi itu?
Bangsa, kata Benedict Anderson, adalah sebuah 'imagined communities,'
orang yang merasa satu dan akrab sekalipun tidak kenal satu sama lain.
Mengapa bangsa muncul? Ben bilang, antara lain karena ''kapitalisme
media cetak." Lihat saja koran. Kita baca, kita tahu bahwa ada Semarang
"disana" tanpa perlu mempertanyakan apa dan siapa Semarang itu dan kita
merasa akrab dengannya tanpa perlu hadir disana. Penjelasannya lumayan
rumit.
Ketiga, sekalipun demikian, tetap tidak jelas: Siapakah Indonesia itu?
Bukankah selama ini Indonesia diinterpretasikan secara sewenang-wenang?
Mengapa sebagian orang mengatakan keturunan Cina bukan Indonesia?
Padahal kalau dilihat, sebelum semua orang yang mengaku dirinya
"Indonesia" memakai bahasa Indonesia, orang-orang Cina keturunanlah yang
memakai bahasa Melayu pasar (yang kemudian dengan sewenang-wenang
diambil alih oleh kaum nasionalis Indonesia menjadi bahasa kebangsaan!)
sebagai bahasa pengantar dan
bahasa komunikasi mereka. Lihatlah koran-koran bahasa Melayu pasar pada
akhir abad ke-18 dan karya sastra yang terbit saat itu. Siapa yang
menerbitkan dan komunitas mana yang memakai? Orang Cina peranakan.
Bisa dikatakan, kalau dilihat dari segi ini, "Indonesia" pertama-tama
dibentuk oleh orang-orang keturunan Cina. Ini bukan logika tapi fakta
empirik. Orang-orang ini, yang bisa disebut kaum diaspora, membentuk
kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan kebudayaan leluhurnya sekaligus
tidak sama dengan kebudayaan di negeri dimana dia tinggal. Kebudayaan
ini menghubungkan keturunan Cina di Bandung, Banjarmasin, Medan,
Makasar, dll. Kebudayaan yang sama pula dipakai oleh "pribumi" yang
terpecah-pecah dan berbeda-beda ini untuk menyatukan dirinya.
Anehnya pula, dalam perjalanan selanjutnya, pendiri kebudayaan ini
justru disingkirkan, mengalami diskriminasi dalam segala bidang.
Lalu, apa dan siapa yang disebut Indonesia? Sebagai bangsa, tidak pernah
jelas apa yang dinamakan Indonesia. Hingga saat ini, saya melihat bahwa
Indonesia adalah sebuah "solidarity" dalam entitas yang namanya
"Indonesia." Karena itulah, eksistensinya sangat tergantung dari
kekuatan masing-masing elemen didalamnya untuk mengimajinasikan (pinjam
Ben Anderson lagi) keindonesiaannya. Elemen-elemen didalam Indonesia
masih sangat rapuh.
Dibandingkan dengan bangsa lain, Indonesia adalah bangsa yang masih
sangat
muda. Jika orang Papua, kalau mau dianggap elemen dalam Indonesia, mau
lepas
dari Indonesia, tentulah mereka tidak cukup kuat mengindentifikasikan
dirinya
terhadap Indonesia.
Soalnya kemudian adalah mengapa bisa terjadi? Banyak argumen mengatakan
karena mereka diperas, dianiaya, dan disiksa terus oleh rejim Orde Baru
yang memerintah Indoensia. Namun, pendapat ini dibantah yang lain dengan
mengatakan, daerah lain juga diperlakukan seperti itu namun tidak minta
pemisahan diri.
Imajinasi dan attachment terhadap Indonesia,
harus diakui, bervariasi tergantung pada sejarah, pendidikan,
partisipasi, dan lain sebagainya. Ada banyak variabel yang menentukan
hal ini. Mungkin Papua sangat lemah karena merasa berbeda. Kalangan
terdidik Papua dengan mudah merasakan perbedaan itu.
Perasaan yang sama diperlihatkan oleh orang macam Dr. Soetomo. Ketika
dididik
Belanda, tiba-tiba muncul kesadaran bahwa dia memiliki kebudayaan
sendiri yang
integritasnya tidak lebih rendah dari kebudayaan Eropa.
Papua sudah minta merdeka. Demikian pula Aceh. Timor Leste bahkan sudah
merdeka. Untuk kasus yang terakhir, mereka memang tidak pernah
berimajinasi
untuk masuk kedalam Indonesia. Dua kasus yang lain membuat kita
bertanya-tanya: mengapa ini terjadi? Mungkin ini saatnya berpikir ulang
tentang keindonesiaan. Ini harus dilakukan oleh orang Indonesia sendiri.
Sementara, kalau melihat perkembangan politik real akan terlihat bahwa
bahaya
ini semakin menajam. Hampir pasti, jika Indonesia menjadi negara Islam
(PPP
sudah mulai membangkitkan Piagam Jakarta) maka tidak akan ada lagi
Indonesia.
Jika Laskar Jihad tidak memulai toleransi, maka Indonesia akan pecah
berantakan. Jika kaum Kristen di Maluku tidak mau berdamai, maka
Indonesia ada dalam bahaya. Tidak banyak orang di Indonesia yang sadar
posisi ini. Tidak Akbar Tanjung. Apalagi Amien Rais, Megawati, Hamsah
Haz, dan politisi lainnya.
Watak dan karakter mereka semua adalah watak dan karakter KOLONIALIS.
Watak
yang sama ada pada para jendral dan TNI, institusi yang mengklaim
dirinya sebagai pilar paling penting dalam menegakkan Indonesia.
Dalam penilaian saya, hanya Presiden Abdurrahman Wahid yang mengerti
semua ini. Dari tindak-tanduknya dalam menyelesaikan Aceh dan Papua,
terlihat jelas bahwa dia mengerti apa dan siapa Indonesia itu.
Cara-cara
non-kekerasan yang ditunjukkannya menunjukkan
arah yang benar terhadap penyelesaian masalah. Sayang, politisi-politisi
oportunis mengacaukan semua itu.
Terakhir, mungkin harus diingat kembali bahwa bangsa dan negara adalah
dua hal
yang berbeda. Negara Indonesia sangat boleh jadi akan terpecah-belah.
Dipandang dari sisi politik realis, sangat sulit untuk tetap
mempersatukan Indonesia. Kalau tidak sekarang, mungkin perpecahan itu
akan terjadi kemudian.
Tetapi sebagai bangsa, mungkin Indonesia akan bertahan lebih lama. Papua
mau
merdeka. Ingat, apa bahasa yang akan mereka pakai? Bahasa Indonesia!
Lagu
kemerdekaan mereka dinyanyikan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
pula
yang menyatukan ratusan suku-suku kecil Papua. Aneh bukan? Sama seperti
India,
bahasa Inggris, bahasa penjajahnya, menjadi penyatu bagi rakyat India.
Menurut saya, ide Indonesia harus dimulai bukan dari para politisi
Jakarta yang rakus dan oportunistik itu. Saat ini yang dibutuhkan oleh
Indonesia adalah solidaritas antar-warganya. Mengapa tidak ada yang
memelopori persatuan antar-warga, diluar pengaruh badut-badut politik
Jakarta itu? Presiden Wahid layak dibantu usahanya untuk menyelesaikan
masalah ini secara damai. Hanya dengan penyelesaian damai, Indonesia
bisa terus berdiri.
New York 06.13.00
Ko'Sapa@2016
0 Komentar