Oleh : Topilus B. Tebai
Foto, Ilsutrasi, Cover Buku Pamong Praja |
Saya senang baca buku
"Bakti Pamong Praja Papua di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke
Indonesia". Buku setebal 451 karya Leontine E. Visser dan Amapon Jos Marey
terbitan Kompas pada Oktober 2008 ini mengulas pengalaman dalam bakti para
pamong praja lulusan Opleiding School voor Inheemse Bestuurs Ambtenaren (OSIBA)
atau Sekolah Pendidikan Pamong Praja Papua yang tamat antara 1950-1963.
Masa pendidikan mereka
yang singkat. Untuk menjadi pamong praja lulusan OSIBA yang akan bekerja
menjadi kepala distrik, dan di pemerintahan pada umumnya, butuh hanya 3-5
tahun, sudah termasuk setahun praktek pada tahun ke-4. Jadi di usia 18 hingga
20 tahun, mereka sudah bekerja.
Bagaimana bisa, OSIBA,
cikal-bakal Universitas Cendrawasih itu lahirkan banyak pelayan rakyat yang tangguh,
berdedikasi tinggi, dan disiplin dengan ilmu yang cukup untuk menjalankan roda
pemerintahan saat itu?
Ketika membaca cerita
pengalaman 17 pamong praja dalam buku ini, hanya ada decak kagum. Mereka tidak
seperti pamong praja lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) zaman
ini. Atau tamatan Sekolah Tinggi Abdi Negara (STIPAN). Atau tamatan sekolah dan
jurusan sejenis lainnya di zaman Indonesia ini.
Mengapa demikian? Alasan
perbedaan waktu dan situasi barangkali tak relevan dijadikan alasan. Saat ini,
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mestinya para pamong praja
lebih disiplin, berdedikasi tinggi, dan punya jiwa melayani dibanding mereka
dulu.
Pertanyaan mengapa
demikian? di atas mengantar saya menggali lebih dalam soal pendidikan di Papua
pada masa Belanda. Maka secara garis besar, saya dapati dua bagian pendidikan,
menurut siapa yang mengelolanya, menjadi pendidikan Misionaris dan pendidikan
Pemerintah Belanda.
Referensi utama yang
saya gunakan adalah skripsi dari Longginus Pekey, pendidik, pegiat sejarah,
ketua Lembaga Pendidikan Papua. Judulnya, Papua Barat Pada Masa Pemerintahan
Belanda. Pekey, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini juga singgung
soal pendidikan Belanda, dan bicara soal pendidikan misionaris, juga pendidikan
dalam pemerintahan Belanda.
Misionaris sendiri
datang ke Papua untuk membawa kabar Injil (motif penyebaran agama). Tercatat, 5
Februari 1855, penginjil Zending dari Jerman, Ottow dan Geisler injak pulau
Mansinam, tanah Papua. Tanggal 23 Mei 1896, giliran Le Cocq dArmandville yang
mendarat dan buka pos penginjilan di Sekeru, dekat Fak-Fak. Mengenai semua ini,
baca skripsi Pekey.
Didorong oleh
ketidakberhasilan para penginjil untuk menyebarkan agama, maka misionaris
pikir, perlu cara lain. Maka pendidikan dan pengobatan menjadi sarana, dengan
dalih, Firman Tuhan tidak hanya diwartakan dengan mulut, tetapi juga dalam
tindakan. Maka mulai dibukalah sekolah-sekolah. Guru-guru mulai didatangkan,
dan mulailah pendidikan misionaris. Para katekis dan guru-guru asli Papua mulai
lahir.
Dalam perkembangannya,
muncul juga pendidikan langsung dari pemerinah Belanda terhadap orang Papua.
Ini dalam teori bertentangan dengan konsep, pendidikan yang tidak layak di
daerah jajahan adalah wajib agar tak ada yang berpendidikan tinggi dari
kalangan terjajah, agar penjajahan tetap berlangsung. Konsep ini sudah berlaku
umum di negara-negara jajahan, hampir di seluruh belahan dunia. Tak ada
penjajah menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas buat rakyat jajahannya.
Pekey dalam skripsinya
menjelaskan, bila Misi (Katolik) dan Zending (Kristen) menyelenggarakan
pendidikan demi kristenisasi, maka pendidikan pemerintah dibuka untuk
terciptanya asimilasi dan univikasi agar terjalin kesatuan dengan kerajaan
Belanda secara wajar.
Pendidikan dari
pemerinah Belanda dimulai sejak tahun 1944, zaman residen J.P. van Eechoud yang
dijuluki Vader der Papoea,s (Bapak orang Papua). Pada zaman ini pula, muncul
OSIBA, yang tamatannya menjadi pamong-pamong praja yang menopang roda pemerintahan.
Bukan Belajar jadi
Pejabat
Kembali pada kisah-kisah
inspiratif para pamong praja Papua pada masa transisi kekuasaan Belanda ke
Indonesia, saya menangkap satu hal. Dulu, para pelajar OSIBA belajar menjadi
pelayan, dan karena menjadi pelayan, mereka disebut pejabat. Saat ini, para pamong
praja belajar menjadi pejabat, dan karena menjadi pejabat, mereka mulai
berpikir untuk menjadi pelayan.
Berpikir untuk menjadi
pelayan yang baik ada dalam pikiran siswa OSIBA. Sementara jabatan, kedudukan
dan uang ada dalam pikiran pamong praja kita saat ini. Maka berdasarkan asumsi
ini, para pamong praja berpikir tentang rakyat setelah mendapat
kedudukan/jabatan, dan bukan sejak ia masuk ke ranah pendidikan. Ini terbalik
dengan praja zaman Belanda dan dalam masa transisi.
Maka sistem pendidikan
saat ini punya porsi kesalahan, mungkin. Asumsinya, sistem pendidikan kita saat
ini mengarahkan orang Papua menjadi pejabat, punya kedudukan. Hanya itu. Dan
setelah itu baru pikir rakyat yang terpaksa menjadi konsekwensi dari jabatan.
Kedua, masalah karakter.
Rupanya, fasilitas dan kelengkapan, undang-undang, dan sarana pendidikan lain
telah menjadi alat yang mematikan karakter dan jiwa yang semestinya terpatri
dalam setiap pamong praja. Itu adalah Kedisiplinan, keakuratan analisa,
kecepatan respek dan kinerja, dan yang terpenting; jiwa pelayan. Ini kriteria
pamong praja.
Pada masa transisi
kekuasaan dari Belanda ke Indonesia, sejak deklarasi kemerdekaan Papua 1
Desember 1961 hingga tahun-tahun selanjutnya, hingga Pepera 1969, roda
pemerintahan di Papua dikendalikan para pamong praja hasil polesan sistem
pendidikan Belanda. Buktinya ada: hanya di atas punggung mereka, roda
pemerintahan bisa jalan tanpa Indonesia dan Belanda.
Bagaimana dengan pamong
praja saat ini? Korupsi adalah sahabat. Malas adalah budaya. Pelayanan urutan 3
setelah pangkat dan gaji. Dan lain-lain. Itu riil, bukan?
Bahayanya lagi bila
kesalahannya ada di pilar yang mendasar. Maksud saya, kesalahannya bukan di
manusianya, tetapi di sistem pendidikan dan institusi pendidikan pamong praja
kita saat ini yang hanya keras di fisik dan mental, kualitas ditunjukkan oleh
nilai tanpa praktek, yang akhirnya lemah di penyemaian karakter, kesederhanaan,
kejujuran dan jiwa pelayan. []
0 Komentar