Studi Kasus
“Petronela Apai”
Studi kasus
pengasingan perempuan Etnik Muyu yang pertama, dilakukan pada proses persalinan
yang dialami oleh Petronela Apai. Penulisan secara naratif dimulai dengan
perasaan Petronela pada saat menerima berita kehamilan, persalinan, dan sampai
dengan tiga hari masa nifas.
Berita
Kehamilan; Perasaan Seorang Istri
Di saat
mendapati dirinya sering merasa mual-mual dan pusing, Petronela mulai
berhitung. Petronela menelisik lebih jauh, kapan dia mendapat menstruasi
terakhirnya? Berapa lama dia tidak mendapatkan hal “kotor” itu? “Ahh… apakah
aku beruntung bisa mendapatkan anak ketiga?” pikirnya.
Kepastian
bisa didapatkannya setelah menyempatkan diri berkunjung ke Puskesmas
Mindiptana. Bidan Natalia Tuwok dan Suster Rosa Mianip yang memeriksanya
membuat senyum simpulnya terkembang seharian itu. Petronela dinyatakan tengah
mengandung, menginjak usia kehamilan bulan ke-tiga. Sungguh keberkahan yang
sangat disyukurinya. Anak ke-tiga ini akan melengkapi hidupnya setelah Samorika
Yukamoh (9 tahun) dan Engelbertus Yohanes (2 tahun 7 bulan) hadir terlebih
dahulu dari rahimnya.
“Tapi…,“
Petronela menghela nafas panjang mengingat hal itu, tradisi pengasingan itu,
yang harus dijalaninya. Sungguh sesak dadanya membayangkannya. Kelanjutan
kehamilannya enam bulan ke depan, yang harus diakhirinya di pengucilan.
Bayangan tana barambon ambip yang sempit dan dingin sungguh membuat
kebahagiaan dengan berita kehamilan yang baru diterimanya sekejap hilang.
“Haruskah…?” keluhnya.
Sebagai
seorang perempuan yang terlahir di tengah Etnik Muyu, Petronela merasa tidak
bisa menghindar untuk menjalani persalinan di tana barambon ambip, yang
oleh masyarakat di sekitarnya biasa disebut sebagai bévak. Mau tidak mau
dia terjebak di dalam adat tradisi yang harus dijalaninya. Tidak ada tawar
menawar untuk hal ini.
Petronela
merasa lebih nyaman bila dia bisa melahirkan di rumah dibandingkan di bévak,
dan bahkan bila dibanding melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit sekalipun.
Bayangannya pada kesendirian di pondok pengasingan sungguh membuat Petronela
merasa tak nyaman, membuatnya merasa disingkirkan. “ahh... seandainya bisa
memilih... alangkah nyamannya bisa melahirkan di rumah saja...,” bisik batin
Petronela.
Tetapi rumah
yang ditinggali Petronela saat ini bukanlah rumahnya. Ini rumah orang tuanya,
dimana Petronela dan saudara-saudara dan ipar-iparnya yang lain tinggal
bersama-sama. Dia tak punya kuasa apapun atas rumah ini…
Laki-laki
Muyu; Sikap Seorang Suami
Eduardus
Kimbum (35 tahun), adalah seorang suami yang sangat membanggakan bagi
Petronela. Suami yang dirasakan sangat mencintainya dengan sangat. Suami yang
mendukungnya dengan penuh, yang telah memberikan dua anak yang sangat manis.
Eduardus
yang menikahinya pada tanggal 15 Juli 2013 secara Katolik, meski sudah menikah
secara adat sebelumnya, sangat menginginkan agar Petronela dapat melahirkan di
rumah saja, tidak perlu harus mengasingkan diri ke bévak. Eduardus
sangat ingin bisa menemani istri yang sangat disayanginya pada saat-saat
penting itu.
Sebagai
suami-istri, dan juga sebagai sebuah keluarga, Eduardus dan Petronela sudah
sangat jarang merengkuh kebersamaan. Kalau tidak karena kewajiban untuk segera
dapat melunasi hutang tukòn (Tukòn adalah mahar untuk “membeli”
perempuan pada Etnik Muyu) yang diminta kakak laki-laki Petronela, Eduardus
ingin bisa terus bersama-sama dengan keluarga kecilnya.
Harga sensor
(gergaji mesin) yang lima belas juta rupiah sebagai tukòn saat Eduardus
mempersunting gadis pujaannya, Petronela Apai, sungguh berat bagi Eduardus
Kimbum yang hanya bekerja sebagai buruh tambang pasir di Kali Wet-Tanah Merah,
yang membuatnya harus hidup terpisah dengan keluarganya, harus menetap di Tanah
Merah. Kalau seandainya kakak iparnya tidak mengancam akan membongkar rumah
bantuan pemerintah yang hendak diterimanya, mungkin Eduardus akan mengulur
waktu melunasi hutang tukòn tersebut, semata agar bisa lebih sering
menemani istrinya, agar bisa lebih lama menikmati kebersamaan, bersama istri
dan juga buah hatinya.
Sungguh,
bagi Eduardus Kimbun dan Petronela Apai sangat mahal arti sebuah kebersamaan.
Kewajibannya sebagai orang Muyu untuk menjalani tradisi, yang mengharuskan
Petronela dikucilkan di bévak, membuat dada Eduardus sesak. Lelaki Muyu
itu menyadari bahwa dia harus mengikuti tradisi yang sudah digariskan para
leluhurnya, tapi sungguh Eduardus merasa kebersamaan bersama istrinya juga
sangat penting bagi mereka.
“Tidakkah
mereka mengerti kondisi ini?” keluhnya. Tapi tradisi yang hendak dilawannya
terlalu kuat. Masyarakat yang mengelilinginya tidak memberinya sedikitpun
kelonggaran. Keluarga yang diharapkan bisa mengerti dengan kondisinya pun
bersikap setali tiga uang, sama saja, bersikukuh bahwa Petronela Apai harus
dikucilkan di bévak.
Keluarga
Muyu; Keteguhan pada Tradisi
Sikap yang
ditunjukkan ayah dan saudara-saudaranya yang tinggal di rumah panggung turut
membuat perasaan Petronela dan Eduardus Kimbum, suaminya, tak menentu. Sebagian
besar dari mereka terus mendesak agar Petronela melahirkan di bévak. Keluarga
besar Petronela tidak mau menanggung iptém persalinan yang mereka yakini
akan memberi dampak buruk pada kesehatannya.
Petronela
dapat merasakan rasa sayang dan dukungan adik lelaki satu-satunya, Agustinus
Apai (22 tahun), yang sama sekali tidak mau berkomentar soal keharusan
pengucilannya saat bersalin nanti ke bévak. Tapi apalah daya, satu suara
sama sekali tidak berpengaruh banyak dibanding seluruh anggota keluarga yang
tinggal di rumah panggung kayu, tempat dia dan suaminya menumpang. Victor
Tenjab (52 tahun; ayah Petronela) dan Poli Apai (36 tahun; kakak laki-laki)
sama sekali tidak bergeming.
Bertahan dengan sikapnya yang mengharuskan Petronela diasingkan ke bévak saat bersalin nanti.
Bertahan dengan sikapnya yang mengharuskan Petronela diasingkan ke bévak saat bersalin nanti.
Sementara
Yosefita Apai (29 tahun), adik perempuan satu-satunya, yang diharapkan dapat
mendukungnya sebagai sesama perempuan Muyu, untuk sebuah kelonggaran terhadap
tradisi yang sudah turun temurun itu, ternyata tak juga bisa membesarkan
harapannya. Yosefita seakan sama sekali tidak peduli hal itu. Dia turut
bersuara keras agar bévak segera dibangun, agar tidak terlambat
didahului sebuah kelahiran, seperti dahulu, saat Petronela melahirkan yang anak
yang pertama, Samorika Yukamoh, yang keduluan lahir sebelum bévak sempat
didirikan. Theresia Kiripan (26 tahun), perempuan Muyu lainnya yang tinggal di
rumah kayu panggung pun bersikap sama saja dengan Yosefita Apai. Kakak ipar
Petronela itu turut mendukung suaminya, Poli Apai, untuk mengasingkan Petronela
di bévak.
Mau tidak
mau pengucilan harus dijalani Petronela. Meski jauh di lubuk hatinya Petronela
enggan, sangat enggan! Tradisi harus dijunjung tinggi bila tidak mau dijauhi,
adat harus dipegang kuat bila tak ingin dilaknat, dan bahkan bila Petronela
terpaksa harus sekarat.
Sebuah
ketakutan besar yang memenuhi kepala Petronela bila tradisi pengasingan
turun-temurun itu dilanggar, bila Petronela benar-benar harus dihukum, dijauhi
keluarganya. Dijauhi masyarakat Petronela masih merasa bisa bertahan. Tapi dijauhi
keluarga? Sungguh Petronela tak kuasa membayangkan hal itu. Bagaimana bila dia
diusir dari rumah panggung itu? Bagaimana bila dia harus putus hubungan dengan
keluarganya? Bagaimana dia harus menjelaskan pada anak-anaknya bila bertanya
tentang kakeknya?
Membangun Bévak;
Rumah Pengasingan
Saat itu,
baru minggu ke-dua memasuki bulan April 2014, usia kehamilan Petronela telah
mencapai umur sembilan bulan, sebentar lagi saat-saat menegangkan itu akan
segera tiba. Suami Petronela didesak keluarganya untuk segera mempersiapkan
diri membuat bévak, gubuk kecil sederhana yang akan menjadi ‘rumah
tinggal’nya nanti selama beberapa hari ke depan bersama anak yang akan
dilahirkannya.
Petronela
pun juga berharap, bévak yang akan segera dibangun suaminya dapat segera
selesai. Segera berdiri, sebelum keburu jabang bayi yang dikandungnya lahir ke
dunia. Tidak ada alasan apapun bagi Petronela untuk mengharapkan segera
terselesaikannya bévak itu, kecuali ketakutan yang sangat besar akan
konsekwensi bila Petronela tidak ikut menjalankan tradisi ratusan tahun yang
telah mendarah daging di masyarakat Etnik Muyu tersebut.
Eduardus pun
bersegera membuat persiapan sederhana. Mengumpulkan daun-daun sagu untuk
dikeringkan, mengukur dan memotong sisa papan yang disimpannya di bawah rumah
panggung, dan mencari beberapa batang kayu berukuran sedang dan kecil untuk
tiang dan kerangka panggung dan atap bévak yang akan dibangunnya nanti.
Tak lupa beberapa ruas rotan yang disiapkan untuk tali pengikat daun-daun
sagunya nanti.
Eduardus,
dengan dibantu Poli Apai, kakak laki-laki Petronela, menjalin satu persatu
daun-daun sagu yang telah dikeringkan, yang dipergunakan sebagai dinding, dan
juga atap pelindung bévak. Sementara sisa papan yang telah dipotong rapi
dipergunakan sebagai dasar lantai panggung bévak. Entah, apakah dinding
dan atap dari jalinan daun-daun sagu itu bisa menahan hawa dingin hembusan
angin wilayah Pegunungan Tengah?
Pada
akhirnya berdirilah bévak itu! Rumah pengasingan yang sangat
sederhana. Berukuran tak lebih besar dari 1,5 meter x 1,5 meter. Tidak tersedia
fasilitas apapun di dalam bévak. Tidak tempat tidur, tidak meja, ataupun
kursi. Bagaimana pula meubelair sederhana seperti itu bisa masuk dalam gubuk
se”megah” bévak?
Sebenarnya bévak
sederhana itu dibangun berjarak tak lebih dari 15 meter dari rumah kayu
utama tempat Petronela dan saudara-saudaranya tinggal. Tetapi kondisi jalan
tanahnya yang sangat licin, dan langsung berupa turunan, serta dibangun di
tengah tegalan yang sepertinya tidak terurus, sungguh memerlukan perjuangan
untuk mencapainya. Apalagi bagi Petronela, perempuan Muyu yang tengah
mengandung sembilan bulan. Sembilan bulan!
Saat
Persalinan
Siang itu,
Kamis, 24 April 2014, Petronela memakan dengan lahab papéda
buatan suaminya. Dengan kuah ikan kesukaannya, bubur sagu itu terasa nikmat
sekali siang itu. Dengan ditemani Eduardus suaminya, makan siang hari ini
terasa sangat sempurna. Tiba-tiba saja Petronela merasakan sakit pada perutnya.
Pengalaman Petronela sebagai seorang ibu dengan dua kelahiran sebelumnya
membuatnya merasa yakin, bahwa sebentar lagi waktunya akan tiba. Dia harus
bergegas!
Menurut
perhitungan Bidan Natalia Tuwok dari Puskesmas Mindiptana saat datang memeriksa
pagi tadi, seharusnya Petronela baru akan melahirkan sekitar jam dua siang.
Sekarang masih kurang satu setengah jam lagi dari perhitungan, tapi
rasa-rasanya waktunya sudah dekat.
Dengan
memasang tanda salib di tubuhnya, Petronela dilepas suaminya dengan pandangan
yang lekat menatap tak berkedip, Petronela berjalan seorang diri, menuruni
jalan setapak tanah yang terjal itu, menuju rumah pengasingannya, bévak. Tak
lagi sempat memikirkan kesendirian yang hendak dijalaninya, yang ada hanya
keinginan untuk segera sampai di bévak. Rasa di perutnya sudah tak
tertahankan lagi. Rasanya ingin segera sampai!
Sebentar
terpeleset, sebentar berdiri tegak, dan sebentar kemudian tertatih maju,
selangkah demi selangkah. Petronela harus menguatkan tekad. Dia harus segera
sampai di bévak itu. Ketika baru saja menginjakkan kakinya naik ke
panggung bévak, Petronela merasakan anaknya akan segera keluar. Rasanya
sudah di ujung. Kepala bayinya telah menyeruak keluar. Tak lagi sempat
berbaring, dalam posisi berdiri Petronela memegang kepala bayinya yang
menyembul di jalan lahir. Rasanya susah sekali memegang kepala bayinya dengan
tangan melewati belakang pahanya. Rasa sakit tak tertahankan tak lagi
dihiraukannya, ”Anakku harus terlahir selamat!”
Demi melihat
Petronela yang berjuang sendirian, Eduardus berlari, secepat kilat bergegas
menghampiri Petronela. Persetan dengan tradisi! Persetan dengan amòp (pamali
atau pantangan) yang dalam keyakinan Muyu bisa membuatnya sakit, yang
Eduardus tahu istrinya sedang membutuhkannya, istrinya sedang meregang nyawa
melahirkan anaknya, darah dagingnya!
Tak
membutuhkan waktu lama, jabang bayi merah salah satu penerus generasi Muyu
terlahir dengan selamat. Petronela berbaring dengan nafas yang masih terengah.
Eduardus mengambil alih bayi merah yang baru saja keluar dari rahim Petronela.
Nafas lega mengiringi keduanya, saat-saat genting telah lewat. Jabang bayi yang
masih merah itu diletakkan di lantai papan dengan dialasi kain.
Tali pusat
telah dipotong Eduardus dengan gunting yang ditemukannya tergeletak begitu saja
di rumah, dan lalu mereka terdiam. Saling menatap dalam sepi. Mencoba memahami
apa yang baru saja terjadi. Tak tahu lagi apa yang seharusnya dilakukan.
Untung saja
Bidan Natalia Tuwok segera datang. Rupanya ada yang memberitahu Bidan Natalia
bahwa bayi Petronela telah lahir. Meski terlambat, Eduardus dan Petronela tetap
saja senang dan bersyukur dengan kehadiran bidan asli Muyu itu. Setidaknya
Bidan Natalia Tuwok tahu apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan.
Natalia
Tuwok, bidan yang sehari-harinya bertugas di Puskesmas Mindiptana bergegas
datang. Tak lebih dari setengah jam, jarak kurang lebih 15 kilometer dilahapnya
dengan motor Honda Win ber-plat merah miliknya. Seandainya saja jalanan
sepanjang itu masih banyak lubang menganga yang dipenuhi lumpur seperti tahun
lalu, tentu saja Bidan Natalia Tuwok perlu waktu lebih lama untuk mencapai
rumah Petronela di Wanggatkibi. Bidan putri mantan Camat Woropko ini tinggal di
Kampung Mindiptana, di rumah dinas yang bersebelahan dengan Puskesmas
Mindiptana.
Tugas
selanjutnya untuk bersih-bersih, perawatan bayi serta ibunya, diambil alih oleh
Natalia Tuwok. Bidan yang masih saja betah membujang ini merawat bayi Petronela
dengan cekatan. Tali pusat yang dipotong Eduardus dipotong kembali dengan rapi.
Eduardus hanya membantu menyiapkan air panas saja. Usapan lembut kain yang
dicelup dengan air hangat untuk membersihkan bayi Petronela seakan memancarkan
kasih sayang dari hati Bidan Natalia Tuwok yang tulus. Petronela merasakan
ketulusan itu, mereka terlibat obrolan hangat berjam-jam setelahnya.
Hari itu
berhasil dilalui dengan kelegaan. Bayi dan ibunya akhirnya selamat. Kebahagiaan
yang dirasakan Petronela seakan menghapus sementara kekhawatiran yang sempat
dirasakan sebelumnya. Yaa… hanya sementara.
Menjalani
Pengasingan
Kelegaan
akan kelahiran bayi dan ibunya dengan selamat masih harus ditahan sebagai
sebuah kebahagiaan yang penuh dan sempurna. Beberapa hari ke depan Petronela
beserta bayinya harus tetap tinggal di pengasingan.
Malam
pertama Petronela tinggal di bévak terasa sangat asing. Ruangannya
terasa sempit, bahkan kakinya harus sedikit ditekuk saat berbaring, atau
menjulur keluar ke arah pintu bila ingin diluruskan. Petronela merasa dingin
sekali malam itu. Anyaman daun pohon sagu yang dibuat suaminya tak sanggup
menahan hawa dingin yang menyergap saat malam mulai turun, apalagi pintu bévak
terbuka begitu saja tanpa penutup. Yang diingat Petronela hanya bayinya
saja. Dia tidak boleh kedinginan.
Ditaruhnya tubuh mungil itu di atas badannya, didekatkannya mulut kecil itu di puting susunya, diselimuti dengan kain yang ditinggal suaminya siang tadi, bayi mungil itupun dengan lahap menyedot air susu yang keluar deras dari tetek mamanya. Bayi itu didekapnya penuh kasih sayang.
Ditaruhnya tubuh mungil itu di atas badannya, didekatkannya mulut kecil itu di puting susunya, diselimuti dengan kain yang ditinggal suaminya siang tadi, bayi mungil itupun dengan lahap menyedot air susu yang keluar deras dari tetek mamanya. Bayi itu didekapnya penuh kasih sayang.
Malam ini
terasa sangat gelap, halimun tipis mulai turun memenuhi tegalan belakang yang
lebih mirip hutan. Lentera yang dipasang suaminya sinarnya tak mampu menembus
kegelapan malam. Mendung bergayut menutupi pantulan sinar rembulan. “Semoga
malam ini tidak turun hujan…,” bisik Petronela dalam harap, sambil merapatkan
selimut anaknya. Kekhawatiran Petronela bukannya tanpa alasan. Wilayah
Pegunungan Tengah ini adalah salah satu wilayah dengan curah hujan tertinggi di
Propinsi Papua. Hampir tiada hari yang terlewatkan tanpa turun buliran air dari
langit.
Lamunan
Petronela Apai terhenti, saat dengkur halusnya mulai terdengar pelan dan
teratur. Perjuangannya menyabung nyawa saat siang tadi cukup membuat tubuh
kecilnya kelelahan. Untung saja perempuan Muyu itu kuat. Petronela tidak mau
dikalahkan.
Pagi itu
Petronela terbangun dengan suara anak gadisnya, Samorika Yukamoh yang datang
menyusul ke bévak. “Ahh… kunjungan pagi yang menyenangkan…,” desis
Petronela lirih. Bibirnya meengkung, senyumnya mengembang, gadis kecil itu
mulai beranjak besar rupanya. Cerewetnya sungguh minta ampun. Tapi kehadirannya
sungguh membuat hati Petronela bersinar. Sesekali tertawa tergelak dengan
celoteh dan tingkahnya yang lucu.
Pagi itu di
bibir Petronela tersungging senyum yang manis sekali saat suaminya datang
membawakan panci berisi air panas. Ritual pagi untuk memandikan bayinya terasa
sangat menyenangkan bagi Petronela. Apalagi dua buah hatinya, Samorika Yukamoh
dan Engelbertus Yohanes, turut bercengkerama, ikutan nimbrung di bévak.
Mereka ikut-ikutan repot, atau malah merepotkan? Entahlah... meski bévak
yang sempit makin terasa sempit, tapi tak sanggup mengurangi kegembiraan yang
dirasakan Petronela saat ini.
Pagi ini
suaminya membakar sagu kering untuk akét (semacam kue sagu kering) dan
menjerang air untuk segelas teh manis. Suguhan sarapan pagi sederhana khas
masyarakat Etnik Muyu. Rasanya nikmat sekali dirasakan oleh Petronela.
Kebersamaanlah yang menjadi resep utama kelezatan olahan masakan suaminya.
Apalagi tak berhenti sampai di situ saja, siangnya tangan terampil Eduardus
memasakkan Petronela menu khusus untuk ibu-ibu menyusui, sayur katuk. Meski
hanya dimakan bersama sepiring besar nasi putih tanpa lauk, tetap saja terasa
sangat nikmat di lidah Petronela.
Petronela
sungguh bersyukur hari ini, tidak ada alasan apapun untuk tidak selalu mengucap
rasa syukur pada Sang Penciptanya. Tuhan sungguh sangat baik padanya. Di saat
Petronela harus menjalani pengasingan seperti ini, diberiNya seorang suami yang
sangat pengertian. Alam pun seakan turut mendukungnya, hujan yang diturunkan
pun hanya berupa gerimis kecil saja, itupun hanya pada siang hari. Seandainya
buliran-buliran air itu diturunkan pada malam hari, tak terbayangkan di benak
Petronela siksaan dingin yang harus dihadapinya bersama Herman Kewok, demikian
bayi mungilnya itu diberi nama oleh suaminya.
Hari
menjelang sore, Somarika Yukamoh tetap bertahan di bévak. Dia memaksa
ingin menemani mamanya malam ini. Petronela sungguh merasa tak tega, tapi
sekaligus juga merasa bahagia... sangat bahagia! Anak gadisnya sungguh-sungguh
dirasakan sangat menyayanginya.
Hari ini,
malam ke-dua Petronela tinggal di bévak. Kegaduhan hari kemarin sudah
mulai terredam. Ketenangan dan sepi mencekam yang ditunjukkan malam, membuatnya
punya banyak waktu untuk berpikir dan merenung. Dalam kesepiannya di bévak,
Petronela terbenam dalam lamunan panjang, bertanya-tanya pada dirinya sendiri,
”Dimanakah saudara-saudaraku? Kemanakah gerangan adik perempuanku? Kenapa
mereka enggan menjengukku? Tidakkah mereka merasa perlu melihatku di
pengasingan ini…?”
Petronela
heran, Yosefita, adik kandung perempuannya tidak juga datang menjenguknya, juga
Theresia Kiripan, kakak ipar perempuannya, tak kelihatan batang hidungnya sama
sekali. Kalau saudara laki-laki dan ayahnya yang tidak datang menjenguk,
Petronela memaklumi, sangat memaklumi. Adat masyarakat Muyu yang menggariskan amòp
(pamali) bagi laki-laki mendekati perempuan yang sedang bersalin. Tapi
Yosefita? Kak Theresia? Bukannya mereka perempuan? Pertanyaan itu seperti
berdengung mengisi kepalanya, menggantung tanpa jawaban...
Dielusnya
rambut anak sulung yang setia menemaninya malam ini. Rambut ikal gadis kecil
yang belum genab berusia sembilan tahun itu dimain-mainkannya. “Semoga engkau juga
kuat menjalani tradisi ini nak…,” bisiknya. Lidahnya terasa kelu membayangkan
pada saatnya nanti, Samorika Yukamoh, anak perempuan satu-satunya itu, juga
harus menanggung beban berat pengucilan seperti yang dijalaninya saat ini.
Di antara
lamunan kesedihan karena kesendirian, Petronela masih sempat menyungging
senyum. Dia trenyuh dengan kesungguhan kasih sayang yang ditunjukkan Eduardus
Kimbun, suaminya. Lelaki Muyu kecintaannya itu dengan setia memasakkannya
setiap hari. Meski dengan menu-menu sederhana macam akét dan segelas teh
panas untuk sarapan pagi tadi. Tetapi ketelatenan Eduardus itu semakin saja
membuatnya merasa beruntung dipersunting lelaki Muyu pujaannya itu. Terkadang
makanan itu dibawakan anak gadisnya, Somarika Yukamoh, dari rumah, tak jarang
juga diantar sendiri oleh suaminya.
Pagi itu
hari ke-tiga sejak Herman Kewok lahir ke dunia. Di saat Petronela asik
bercengkerama dengan anak-anaknya, Eduardus datang sambil membawakan kembali akét
dan segelas teh manis. Eduardus datang dengan senyum lebar membawa kabar yang
cukup menyenangkan. Viktor Tenjab, ayah Petronela, meminta agar Petronela
kembali ke rumah panggung hari ini, kembali berkumpul bersama keluarga
besarnya.
Biasanya,
perempuan Muyu yang sedang mengungsi si bévak, diperbolehkan kembali ke
rumah induk setelah tali pusat bayinya lepas. Tapi hal ini belum terjadi pada
Herman Kewok, bayi Petronela. Hanya saja Viktor Tenjab merasa kasihan. Kakek
dari bayinya ini tidak tega membiarkan anak beserta cucunya tinggal lebih lama
lagi di bévak yang gelap dan dingin. “Saya tak tahan lagi... kasihan
mereka, sudah dua hari mereka tinggal di sana...,” bisiknya lirih dengan mata
menerawang jauh. Bagaimanapun Petronela Apai dan Herman Kewok adalah anak dan
cucunya, darah dagingnya.
Foto;
0 Komentar