Pengamanan Politik Gerakan Bawah Tanah


Judul: Hantu Digoel, Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial,
Penulis: Prof Dr Takashi Shiraishi, Editor: Nurul Huda SA,
Penerbit: LKiS Yogyakarta, Cetakan I: Maret 2001,
Tebal: (x + 208)halaman.

LUPA adalah barang biasa, bagian dari sifat manusia. Digoel adalah salah satu wujud nyata betapa gampangnya kita lupa secara kolektif. Nama itu sudah tak menarikperhatian kita.Padahal Digoel memiliki pertautan erat dengan sejarah pergerakan rakyat Indonesia, putra-putra pertiwi. Mereka itu dengan gagah berani mempertaruhkan jiwa dan raga. Digoel punya kisah heroik bagi bangsa Indonesia! 
Ya, untung ada yang mengingatkan. Buku Hantu Digoel, Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial karya Prof Dr Takashi Shiraishi ini mengungkap proses pengasingan para pejuang Indonesia, yang tak disukai oleh Pemerintah Hindia Belanda. 

Keputusan Pemerintah Belanda merealisasikan gagasan tentang perlunya segera dibuat sebuah kamp tahanan politik buat mereka yang dianggap mengancam keamanan dan ketertiban, terjadi pada tahun 1926. Boven Digoel sebuah kawasan rimba terpencil di Papua, menjadi pilihan untuk menempatkan para interniran (tahanan tanpa proses peradilan).
Tempat tersebut dinilai cocok, dengan kondisi geografis yang tidak memungkinkan bagi para tahanan untuk melarikan diri, karena keadaannya yang terisolasi total, belantara rawa penuh nyamuk malaria, dan berada sekitar 450 kilometer ke hulu sungai yang penuh buaya. Keadaan itu merupakan siksaan tersendiri.
Di daerah yang tak layak huni ini, para tahanan merasa sepi yang mencekam dan amat rindu kampung halaman. Karena itu ada di antara para tahanan ini yang kemudian menjadi gila, mati, mencoba melarikan diri namun kemudian lenyap tak ketahuan rimbanya. Kalau mau aman, ya tunduk dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah (kolonial). 

Kendati tunduk dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah, toh ada yang tetap teguh pada cita-cita dan terus mencoba menyusun perlawanan. Jika golongan yang pertama itu cukup di Tanah Merah, maka untuk mereka yang tetap bangel ini, pemerintah membuatkan kamp yang lebih ganas lagi di kawasan itu, Tanah Tinggi namanya.
***
SEJAK akhir tahun 1926 menyusul pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Banten dan tahun 1927 di Sumatera Barat, hingga awal tahun 1940-an ketika kamp ini ditutup, ribuan aktivis pergerakan dikirim ke Digoel. Di antara mereka adalah para aktivis dan tokoh PKI, Partai Republik Indonesia (Pari), Partai Nasional Indonesia Baru (PNI-Baru), Partai Indonesia (Partindo), Perhimpunan Muslim Indonesia (Permi), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa lainnya. 

Nama-nama terkenal yang pernah mendiami tempat ini adalah Chalid Salim, Najoan, Mas Marco Kartodikromo, Xarim MS, Djamaluddin Tamin, Aliarcham, Sardjono, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan lain-lain. 

Nama-nama tersebut dengan sangat heroik dan absurd kehidupannya tergambar jelas dalam buku ini. Dengan kemampuan kaji-urai yang cukup cair secara brilian dari penulisnya, seakan membaca buku ini kita seakan mengikuti sebuah novel semacam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, yang terbit tahun 1980-an, Kubah (1980) atau Lingkar Tanah Lingkar Air (1998) karya Ahmad Thohari, yang mampu mengacak-acak kesadaran pembacanya.
Sebagai bagian dari pendidikan politik, sekaligus politik pengamanan politik, surat-surat para tahanan Digoel, berita-berita dan laporan-laporan tentang Digoel dengan sengaja disebarluaskan di kalangan masyarakat melalui media. Ikhwal Digoel yang disebarluaskan itu dimaksudkan untuk memberikan "pelajaran dan pengajaran" kepada kalangan Bumi Putra yang mencoba berpikir dan bermimpi tentang merdeka. 

Dengan infrastrukturnya-residen, intelijen, dan dewan rakyat Digoel, dengan demikian menjadi sarana pengamanan politik yang efektif dalam rangka menjaga rust en orde. Ia menjadi "hantu" ganas, yang mengancam dan membayang-bayangi gerak aktivis pergerakan. 

Buku ini merupakan suatu tatapan ulang terhadap kamp konsentrasi Digoel. Takashi memanfaatkan bahan arsip yang luas dan catatan-catatan mereka yang pernah "berkenalan" dengan Digoel. Tidak sekadar gambaran historis yang hendak diberikan, melalui Digoel ini juga diperiksa politik pengamanan politik yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. 

Dengan ini, kita mungkin bisa merenungkan akan kebutuhan memiliki orde dan menjaganya. Sering karena mementingkan orde kita lalu memikirkan ancaman. Orde selalu membutuhkan ancaman, dan ancaman dirasakan karena ada orde yang hendak dibangun dan dipertahankan. 

Di sisi lain, disoroti juga bagaimana keguncangan yang terjadi di dunia pergerakan, intrik, dan konflik ideologis akibat dari represi itu. 

Bila pembaca masih merasa rumit (susah) memahami buku ini, dengan cukup cerdik (editor/penerbit) di bagian akhir buku ini menyertakan pula wawancara khusus dengan sang penulisnya (Takashi Shiraishi). 
Bermodal wawancara inilah kita dimudahkan untuk memahami Digoel secara sistematis. Karena hampir keseluruhan isi buku ini terangkum dalam wawancara ini, meski tak terlalu mendalam. 

(Siti Jumaroh S, pekerja sosial pada Forum Prakarsa Perubahan Sosial (Forum PPS) Yogyakarta ).

Harian Kompas, Minggu, 3 Juni 2001

Posting Komentar

0 Komentar