RIRI: Bidadari Dimimpiku

Oleh: Ferdinand Edoway
 
Ilustrasi; brechonana.blogspot.com
Jarum jam di monitor komputerku telah menunjukan pukul sebelas tiga puluh. Saatnya lunch. Dering telephone di meja kerja tidak ku respone. Aku bergegas meninggalkan tempat duduk. Kubebat sepasang kakiku dengan kasut yang tebal, menyeret langkah demi langkah yang tak sepenuhnya meyakinkanku. Sederatan block bangunan kafe, restouran, shoping center, mess staff, perpustakan, dan beberapa kantor perbankan masih dipadati warga.

Tidak ku gubris sapaan rekan yang ikut nimbrung bersama sosok-sosok yang berdiri berkelar sekedar refreshing. Perutku berontak mengeluarkan suara yang dapat ku terjemahkan dengan baik. Tempo irama langkah aku naikkan agar tidak kehilangan tempat duduk di kedai yang selalu dipadati karyawan. Pakaianku basah bersimpu peluh.

Hembusan angin diantara pepohanan yang tegar berdiri, menyusap habis keringat yang bercucuran di tubuhku. Dua gedung kembar berkaca tempat aku kerja telah jauh tertinggal dibelakang. Cukup jauh kedua kakiku melangkah di jungle track yang di tata rapi menuju kedai tempat lunch para warga.

Perasaan tak menentu membuat kesadaranku oleng. Alam sadarku menjadi medan yang empuk. Pertempuran para pahlawan tak terelakan lagi. Beribu tanya berornament melingkari medan peperangan. Pasti saja ada yang menang. Tapi tak dapat ku pastikan segera mungkin. Pertempuran yang sengit menyumbat saluran rasioku tertutup rapat. saat-saat teduh yang ku damba tidak segera menapak.

Aku ingin tarik kembali masa lalu tapi telah jauh tertinggal membelakangiku. Masa yang dipenuhi satu warna hiasan. Saat-saat warna biru mendominasi kehidupanku. Langkah langkah menjadi pasti, canda tawa berornament indah walau akhirnya kutemui nasib yang tidak pasti. Kerisauan pada masa lalu bukan sebuah penghalang. Aku tidak menaruh harapan pada kenangan biru masa silam. Sungguh berbeda.

Hadirmu berbeda. Aku tersentak. Bayangmu mengetarkan ruang yang ku gemboki.  Tempat yang ku jaga agar tetap tertutup selama beberapa putaran jarum jam. Tekatku tak bertaring. Aku dapati diriku tak kuasa menahan gedoran. Jelas ku lihat pintu itu terbuka dan kubiarkan hembusan biru mengepung kehidupanku. Lekas aku bereskan ventilasi agar sirkulasi angin berjalan baik.

 Harapan aku kantongi ketika mengenalmu. Aku yakini kehadiran dirimu bukan sebuah kebetulan. Kau yang jauh di ujung samudera telah hadir dalam hidupku. Lekas aku menyambut kehadiranmu tanpa setumpuk pertimbangan. Memberimu tempat yang layak. Menyambut engkau yang datang. Kusajikan seteguk teh menghagatkan tubuhmu. Perjalananmu cukup panjang pasti lelah melewati beribu kepulauan. Kusiapkan segalanya untukmu. Bidadari pantas duduk di relung hati. Tahta sanubariku menerimamu apa adanya.

Tempat yang ku rawat untuk menerima tamu terhormat. Ya,... bagi tamu yang di rekomendasi nurani. Nurani yang tak pernah berbohong berbisik kau bukan tamu tapi pemiliknya. Tuan rumah yang akan menyebar keharuman. Semarak bunga cinta yang kau tebar memenuhi seluruh bilik tiap gerakku. Seluruh jiwaku telah dirasuki bayangmu merajut benang biru membentuk tali kasih yang telah lama aku gemboki.

Hari ini tampak berbeda. langit kuala kencana yang selalu ditaburi awan nampak didominasi warna biru. Barangkali langit ikut menyesuaikan warna biru umbul-umbul yang dihiasi ruang hatiku. Bangku-bangku kedai yang biasanya dipenuhi pengunjung tampak sepi. Hanya ada sepasang laki - perempuan yang yang kukenal sedang menikmati lunch di salah satu kedai pojok.

”Ipouw, mari bergabung bersama kami”        
                                                                       
”Langsung aja pesan makannya, aku yang traktir siang ini”

Kenalkan ini pamanku, kata Yusak memperkenalkan aku pada istrinya.”  
                                                      
Gimana hubunganmu dengan Riri, apa lancar-lancar saja”

Sudah kuduga pertanyaan itu pasti akan dilontarkan Yusak. ”Kamu harus jadian dengan dia.”

Riri, orangnya berfikir praktis, rendah hati, bisa diandalkan, penuh pengertian, tipe pekerja keras, pandai menyesuaikan diri, dan yang lebih menarik lagi dia itu orangnya suka jaga perasaan orang. aku rasa dia cocok bila jadian dengan kamu.

Ada beberapa teman minta aku perkenalkan Riri sama meraka dan aku katakan oke, tapi kamu tahu apa yang aku lakukan? Diam-diam aku tidak setuju karena jiwa mereka bukan tipe laki-laki yang harus memiliki Riri.

Sekurang-kurangnya menurut penilaianku kamu sudah masuk dalam list orang yang layak mempersunting Riri.

“Virgo dan Pisces pasangan yang serasi memulai hidup yang baru”

Aku tersentak. Ya,… penuh heran dalam dugaan yang tidak tergambar. mendengar omongan-omongan Yusak yang mengalir seolah kutup positif menguat dan melekat pada hamparan langit biru. benarkah kata-kata itu? beribu tanya mengusik.  Aku dapati diriku kurang PD, biarlah orang lain dengan bebas bernarasi pada lembaran kehidupanku.

Mestinya aku menolak ajakan traktir makan siang. Seharusnya aku menutup telinga mendengarkan omongannya. Cerita kanon yang mengusik sukma. Aku usahakan kesadaranku tidak oleng tercabik-cabik cerita yang belum tentu pasti. Bercakap seputar anak muda menghaguskan aku. Statusku yang lanjang tak kuasa memalingkan pendengaranku. semuanya mengalir tanpa hambatan.

Dirinya yang berada di seberang samudera berdiri disampingku. Wajahnya mendekat dipelupuk mata. Semua terjadi begitu cepat. dia berbisik di teligaku menyusun narasi yang panjang. Bercerita tentang kehidupan metropolitan. Tentang kehidupan dan kepribadiannya. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik. aku dapat membedakan suara itu walau banyak penelephone tiap harinya di jalur yang aku terima.

Kring............ kring........ hallo.....

“Kak, mau ‘ngak aku kirimin photo, kirim aja biar aku tahu sosokmu, jawabku.

“Jangan tertawain ya! Potretnya  aku ambil saat bangun pagi. aku pake jilbab, gimana photonya”. “kamu cantik, kamu laksana peri yang hadir bersama turunnya embun gunung Nemangkawi yang menyegarkan dan menyuburkan dataran bumi Amungsa ”.
“kamu gombal dech, syuer kamu bagai bidadari, kataku memberi keyakinan.”
“kak, aku punya beberapa potret yang lebih bagus dari itu. Maukan bila aku kirim lagi, tentu boleh bila kamu rela, kataku mengiyakan.”

Jarak yang ada tidak menjadi hambatan. kemajuan teknologi  telah memudahkan manusia memperoleh segalanya secara instant. telphone dan e-mail menjadi media yang mempererat hubungan kami. Waktu lowong disela kerja menjadi ruang yang cocok untuk membangun komunikasi. Hubungan kami biarkan bagai air mengalir. Agar bertemu kami lumut di muara.

Keyakinan pada dirimu menghaguskanku. Aku pancang potretmu di diding kamarku. Biar lebih dekat lagi aku letakkan di sela monitor dan CPU. Aku biarkan teman yang mengunjungiku menikmati pemandangan itu. Ku lakukan itu karena aku percaya padamu. Percaya memengang teguh janji. Janji merajut cinta.

Riri, kau bukan lagi di seberang samudera. Kini kau berada satu pulau dengan aku. di utara bumi cenderawasih kau beralamat. Dari kota Portnumbay kamu bercerita kesan di bumi Amungsa. Lima hari kalender telah merubah pikiranmu. Keyakinan yang ku genggam usaha menjaring angin. Harapan semakin dekatnya kita akan menambah kobaran cinta telah habis dikikis cuaca bumi Amungsa yang acap kali berubah dalam hitungan menit.

“kak, aku mau cerita bolehkan, tapi.... tapi... kaka jangan marah yach!
“emangnya kamu salah apa” kata ku mencari tahu”
“kak, di Timika aku berjumpa dengan orang yang carikan aku kerja. Kami begitu dekat selama lima hari. Saat kami jalan bareng kami ketangkap basah. Lantas orang tua minta kami tunangan.”
“kaka, tidak marahkan? aku sekarang jadi tunangan orang lain.” Itu hak kamu Riri, kamu bebas memilih siapa saja yang menurutmu terbaik, kataku memberi dukungan walaupun jiwaku tersayat dan terasa jatuh dan mendarat di dasar yang kelam.”

Suara itu menyentak aku dari spekulasi yang panjang. Ya... bisikan yang mengalirkan keteduhan menghembuskan kesejukan. Nobatkan dirinya bidadari. Malaikat pendobrak gembok. Kamu harus relakan. Biarkan dirimu keluar. Lepaskan dirinya terbang bersayapkan kebebasan. Tidak musti kamu mengejar sesuatu yang tidak pasti kamu raih. biarkan dirinya bahagia dengan pilihannya. Nuraniku.
Sungguh aku musti tahu diri. sangat tidak mungkin aku mendesak Riri menikah dengan aku. Tidak mungkin aku mengkebiri hak Riri untuk memlilih. Tidak mungkin aku dapatkan cinta sejati bila orang yang aku cintai telah beralih hati. Wajibku.

dalam ruang yang samar dibawa sorotan cahaya rembulan dapat kurasakan dirimu, orang yang selalu berhati-hati dan ingin memberikan yang terbaik pada setiap hal yang di kerjakan. Tenagamu terkuras habis dalam karya, Sifat pengen tahu selalu lahir dari daya pengamatan mu yang besar. Di kejauhan malam kau juga didikte dalam petuah dari orang terdekatmu.

Di jendela malam yang terbuka lebar ku temukan lagi dirimu berdiri dipersimpangan jalan. Kau berfikir beribu kali fikir route mana yang aman untuk di lalui. Aku memanggil dirimu. Kau dengar tapi posisimu tetap berdiri. raut wajahmu mengambarkan kau lagi risau. Kerisauan yang kau ciptakan telah merubah sikapmu. Disudut sana kau bersama keputusan telah membentuk jarak antara kita.

Riri, Warna biru yang kau persembahkan telah menggairahkan aku. Keharumannya mendongkrak aku terangkat berada di negeri awan-awan yang penuh cinta. Dalam waktu yang singkat kau juga menenggelamkan aku ke dasar tubir yang paling jauh. hampa tanganku. Tak satu pun ku temukan disana. Hembusan angin yang kurasakan.

Posting Komentar

0 Komentar