Derita Kawin Paksa

Oleh: Meki  Mulait

54 tahun silam, putri cantik bak seksi bernama Papuana dikawin paksa oleh lelaki  bujangan yang baru saja melepas kisah ranjang 350 tahun lamanya.  Lelaki itu awalnya tidak tertarik dengan gadis Papuana. Menurutnya, Papuana masih primitif, dia tidak layak menjadi bagian dari hidupku. Lagian warna kulit juga berbeda. Dia hitam dan keriting, saya putih sawong-matang lurus. Biarlah ia hidup sendiri, barangkali ada lelaki lain yang  tertarik padanya untuk membangun rumah tangganya  sendiri.

Lima tahun selekas omongan itu, tiba-tiba lelaki itu atas desakan lelaki tua dari negeri seberang nan jauh mengambil Papuana sebagai istri terakhir secara paksa. Lelaki tua ini memang sangat licik. Ia pura pura hadir sebagai orang tua yang akan memberi jaminan masa depan bagi lelaki yang baru saja melepas kisah ranjang itu. Atas iming-imingnya, lelaki muda energik itu mengarahkan kekuatannya untuk merebut Papuana dari tangan tete tua dari negeri kincir angin pada tahun. Sempat terlintang dalam benak si tete tua, untuk mendidik si gadis Papuana supaya kelak dia memilih pria idamannya dan membangun rumah tangganya berdasarkan suara hatinya.

Tete tua itu sudah menyediakan kain yang  akan digunakan ketika hendak mengungkapkan janji perkawinannya. Bahkan sampai harta warisan sebagai simbol ikatan perkawinannya sudah disiapkan. Namun sayang, upaya si tete tua itu tidak bertahan lama. Melihat gadis Pauana semakin dipercantik oleh si tete tua, lelaki tua licik dari negeri adidaya membujuk lelaki muda yang baru saja menikah itu untuk segera merebut Papuana. Lelaki itu mengundang teman-teman dengan laras panjangnya untuk secara paksa datang merebut Papuana dari tangan si tete tua itu sekitar tahun 1962. Pertengkaran pun dapat terjadi. Apalah daya si tete tua berhadap dengan lelaki muda energik yang diselingi dengan emosi balas dendam. Apalagi dibelakang ada lelaki tua licik yang membangun rumah tangganya hasil hisapan keringat dari mereka yang hidup melarat diberbagai belahan dunia.

Mengingat usianya sudah opa, lelaki tua itu kemudian dipaksa dan terpaksa melepas nasib si gadis Papuana ditangan lelaki itu dibawah bayang-bayang si tua licik. Sungguh sedih si tete tua tidak sanggung lagi mempertahankan Papuana ditangannya. Ia seakan melepas begitu saja. Dimanakah tanggungjawab moralmu tete, teriak Papuana. Tapi apalah daya, sudah opa.

Sudah 54 tahun perkawinan paksa itu berlangsung. Namanya saja kawin paksa pasti tidak ada ketengan dan kedamaian di sana. Yang ada hanyalah pertengkaran dan penyiksaan. Sebagai manusia yang punya rasa, pada awal-awal perkawinan sekitar tahun 1960-an sampai masuk pada 2000-an ini, Papuana telah menyatakan keinginanya untuk menggugat perkawinan paksa itu dan menentukan masa depan hidupnya sendiri. Namun lelaki itu dengan tangan besinya, mencekik leher dan mematahkan sebagian tangan dari Papuana.

Papuana semakin tidak berdaya. Sekalipun kekerasan fisik dan mental terus dialami oleh Papuana dalam hidup bersama itu, Papuana tetap berjuang untuk menentukan masa depan hidupnya sendiri. Pengalaman penyiksaan dan penderitaan itu semakin menyadarkan Papuana apa motif dibalik kawin paksa itu. Papuan semakin sadar ternyata perkawinan paksa itu hanyalah simbol dan pendekatan untuk mengambil harta karunnya. Kita dapat bayangkan betapa jahatnya suami paksaan itu. Demi harta karun itu, si lelaki itu rela membunuh anak hasil perkawinan paksa itu sendiri. Barangkali itu hasil kawin paksa sehingga lelaki itu tidak pernah merasakan itu adalah anaknya sendiri. Menanggapi kehajatan lelaki itu, Papuana dengan sikap keibuannya, menasihati anak-anak supaya kalau bicara atau membela dirinya harus hati-hati. Papuana menuturkan; Anak-anakku kamu harus belajar dari kakakmu sebelumnya. Semenjak mama menikah paksa, kakak  kalian dibunuh oleh lelaki  halus beracun itu.

Lelaki siapa yang dapat bertahan ketika mamanya disiksa sedemikian kejamnya. Sekitar tahun 90-an Anak-anak hasil kawin paksa itu kemudian mencari cara untuk menyuarakan mama yang menderita itu dari tempat lain.  Ada yang lari ke tempat lelaki tua licik yang mencuri harta karun itu, ada yang lari ke teman dekat lelaki tua licik itu dan ada yang lari ke saudara tua Pasifik. Dari sanalah mereka mengangkat suara derita dari Papuana. Hampir belasan tahun (2000-2013) mereka terus berteriak minta tolong. Dunia memang seakan membisu terhadap jeritan dan penderitaan Papuana.

Jika dilihat dari sejarah kawin paksa, memang sangat jelas ada sesuatu yang salah dan perlu di perbaiki, namun atas kekuatan lelaki tua licik, dunia tetap membisu. Hakim yang memegang mandat tertinggi pun seakan tak berdaya tunduk dibawah kaki si tua licik. Namun kejahatan tetaplah jahat yang tidak akan pernah bertahan. Selicik liciknya orang buat kejahatan, teriakan korban pasti akan terdengar. Serapi-rapinya motif kejahatan yang hadir dalam berbagai dalil kepentingan pasti akan terbongkar dan tercium juga.

Kalau orang lain membisu terhadap suatu teriakan Papuana karena mereka memang orang lain, lain hal dengan saudara kandung. Teriakan dan jeritan suadara pasti tidak akan dilewatkan begitu saja. Dia akan bertanya kenapa dan ada apa sehingga kamu teriak dan menangis? Tiga tahun lalu (2013) anak-anak yang pergi berteriak pada saudara Pasifik telah mendengarkan suaranya. Anak-anak itu kemudian diundang dalam pesta keluarga mereka. Anak-anak itu ditanya; kenapa kalian berteriak minta tolong, ada apa dengan mama kalian? Anak-anak dengan polos menjawab, mama kami semenjak dikawinkan paksa dengan lelaki muda yang bernama Indonesia mengalami penyiksaan terus sampai sekarang.

Tete kami, paman kami, tanta kami sudah dibunuh habis. Sedikit lagi yang tersisah akan habis karena mereka dengan kekuatannya terus membunuh secara halus dengan berbagai cara. Kami juga sebenarnya mau dibunuh karena kami protes, kenapa mama kami diperlakukan secara tidak manusiawi. Kami protes juga kenapa harta warisan moyang kami, kalian ambil begitu seenaknya. Kami juga saksikan bahwa, lelaki muda itu tidak sendirian. Ia ditopang oleh si tua licik yang sangat berbahaya. Kami melihat bahwa sebenarnya lelaki muda itu hanya boneka dari si tua licik itu. Hanya karena kebetulan lelaki muda itu rumahnya dekat dengan rumah kami sehingga si tua licik mengajaknya untuk kawin paksa dengan mama kami, Papuana. Lelaki muda itu sebenarnya tidak sadar juga bahwa, dia dijadikan tidak lebih dari sekuriti dari si tua licik itu. Dengan penjagaan lekaki muda itu, si tua licik seenaknya mengambil harta karun warisan leluhur kami.

Semua jeritan dan penderitaan itu diceritakan dan saudara Pasifik sungguh sedih dan menyatakan sikap untuk membantu menyuarakan tangisan mama Papuana. Saudara itu kemudian mengajak teman-temannya untuk sama-sama menyuarahkan tangisan Papuana ke pada masyarakat di benua lain. Namun lelaki muda itu tidak tinggal diam. Dengan berbagai cara terutama uang  hasil curian  harta karun Papuana, pergi sogok lagi pada dua saudara serumpun Melanesia yakni PNG dan Fiji. Hasilnya dua saudara ini sampai sekarang belum menyatakan dukungan secara pemerintahan sekalipun masyarakat akar rumput ikut prihatin dengan derita Papuana.

Meski demikian,  ibarat layang-layang semakin dilonggarkan semakin meninggi, suara Papuana semakin ditarik ulur semakin menancap di wilayah Melanesia, Pasifik untuk kemudian mengembalikan perkara kepada hakim yang dulu manipulasi suara Papuana. Enam  tahun lalu (2012), saudara setia Vanuatu seorang diri berteriak di gedung mewah lelaki tua licik dan si hakim yang tidak adil itu. Vanuatu berteriak seorang diri bagaikan berseru di padang belantara. Dunia kaget dan mata pun mulai melotot. Ada apa dan apa yang disuarakan Vanuatu.

Dua tahun kemudian (2013) Tonga menggabungkan diri bicara di gedung itu. Setahun kemudian (2014) Solomon Ilands menggabungkan diri dan berteriak lebih keras lagi. Kini bukan hanya Melanesia, beberapa dari Mikronesia turut membantu berteriak penderitaan mama Papua di gedung yang awalnya telah merampok hak kesulungan Papuana, yakni Tuvalu, Marshal, dan dan republik Nauru digedung yang sama itu (September 2016). Kedepan saudara saudara kita yang sedang mengkhianati bahkan belum mendengar teriakan Papuana pasti datang bersuara juga. Mari kita kidungkan pujian sambil meratap. Dia yang mencipta tidak akan dan tidak mungkin membisu.

Dia telah menanti kita untuk datang berseru, Ia pasti akan mengetok hati mereka yang sedang tertutup sehingga membuka pintu bagi teriakan Papuana. Saat itulah Papuana akan semakin meninggi untuk bersaksi tentang kejahatan yang telah merusak manusia sebagai citra Pencipta yang mestinya dilindungi dan junjung tinggi oleh dunia. Di situlah kita akan menyaksikan arti kemenangan sejati akan keadilan dan kebenaran dari teriakan Papuana wao yio wao, neak ane koluoko wao.....bersambung......

Penulis adalah pencinta keadilan dan perdamaian dunia

Posting Komentar

0 Komentar