hujan tiada henti, wanita itu di sudut sana
memukul-mukul dinding beku tanpa kata
tangan gemetar mengelus pipinya, basah matanya,
hancur hatinya, mati mimpinya
manis-manis datangnya yang pahit itu
pandai makluk manusia memoles diri
konon berakal budi, karena itu manusia munafik
hujan tiada henti, di sudut dia masih mendung
hancur hatinya, mati mimpinya
tak kuasa dia menahan waktu yang menghukum
tiga bulan benih itu dalamnya
sejak itulah semua yang manis menjauh
hati nuraninya dihancurkan sesal
dia tak berdaya
semua mengadilinya, menistanya
pendosa, memandangnya sampah
hancur hatinya, mati mimpinya
hujan tiada henti, ia masih di sudut sana
tersingkir
terbuang
dia perempuan, semua salahnya saja, dia perempuan
mata dunia menghakimi saat dia memberontak
...diterimanya penghukuman dunia,
lewat
pemberontakan yang ditekannya hingga ke dalam dasar hatinya yang paling dalam, semakin pahit saat senyum yang manis-manis itu sengaja tersungging tutupi luka
dia perempuan, semua salahnya saja
tapi di balik lembut-getir dan kekalahannya itu, dia tegar
dia penentu masa depannya, bukan dunia, bukan dunia, sekali
lagi
dihancurkannya benih itu, disobek dan diremukkannya hingga
jadi darah dan air
dikumpulkannya sisa-sisa kekuatan, disusunnya masa depan
dari serpihannya
dipupuklah dengan sabar semangatnya, dipeliharalah olehnya
harapan itu:
dia lebih kuat dari dunia!
tapi rasa itu tak lekang oleh waktu
tak juga oleh senyum-senyum palsunya
dia sadar diri, dia pernah jadi seorang ibu.., ibu dari
calon bayi
dia telah membunuh!
dia telah membunuh!
itu rasanya, rasa
yang abadi di hatinya, tak lekang oleh
waktu.
kemurnian nurani mencekik hidupnya
rasa hati membunuhnya
ia perempuan, semua ini salahnya saja
-----
Puisi @Sani
0 Komentar