NAMAKU ABI

Oleh San Mere

credit photo: Gerakan Papua Mengajar
Namaku Abi. Lengkapnya Abihuni Abihun. Aku dilahirkan pada tanggal, bulan dan tahun yang tak diketahui. Menurut ceritera nenekku aku dilahirkan saat bulan setengah telanjang. Aku juga bingung bulan setengah telanjang itu rupanya seperti apa, mungkin kamu tahu apa artinya bulan setengah telanjang itu. Kalaupun kamu tak tahu, itu bukan urusanku, karena memang itu tak penting bagiku. Yang penting adalah kisahku ini.

“Bi…bi…bi………woi bi!” teriakan Sahi mengagetkanku. “Kerjamu hanya melamun saja….apa kamu tidak bosan?” lanjut sahi, “ssssttttt….aku bukan melamun…” kataku sambil meletakkan jari telunjuk diujung bibir, “terus kalau bukan melamun, yang tadi itu apa?” tanya sahi, “sob…kamu harus bisa membedakan melamun dari menghayal…..” “berarti tadi itu kamu menghayal…memangnya kamu tak bosan menghayal terus…..hari-hari penuh dengan menghayal….kayaknya duniamu sudah penuh dengan hayalan” sambung sahi memotong perkataanku yang belum sampai tujuan. “Sob…pekerjaan yang paling enak itu menghayal. Apa yang tak bisa kamu buat dalam hayalan? Semuanya bisa….jadi raja bisa, presiden bisa, pahlawan pun bisa, apalagi pengemis berdasi” kataku menggurui sahi, “wah..enak ya kalau begitu……” sindirnya sambil menunjukkan punggung padaku. Sahi sobatku yang paling setia, sudah tiga tahun kami bersama. Sejak meninggalkan tanah kelahiran, nenekku berpesan bahwa sebaiknya kami bersama terus. Hanya pesan itu yang menjadi pegangan bagi kami. 

Kupandangi punggung Sahi yang mulai ditelan pintu. Sebenarnya kadang-kadang aku merasa iri dengan Sahi. Bagiku ia kelihatan lebih berpengetahuan dibanding aku. Hal ini juga dirasakan teman-temanku yang lain. Aku tidak pernah mendengar langsung dari teman-temanku, tetapi ku tahu hal itu dari nilai yang kami peroleh dari tugas yang diberikan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa dan dari reaksi teman-temanku. Memang harus kuakui kalau latarbelakang pendidikanku tak sebaik Sahi. Aku tak tahu siapa yang harus disalahkan. Alamku yang mencekam, aku, nenekku, guru-guru, kepala sekolah ataukah siapa lagi…………….

Sekolah Dasar Tak Bernama, itulah nama sekolahku. Entah mengapa tempatku mengenyam pendidikan dasar yang kurang berdasar itu dinamakan demikian. Orang-orang sekampung selalu menyebutnya demikian. Nama yang sebenarnya telah ditelan rimbanya hutan dan jejeran bukit yang seharusnya gunung jika berada di tempat lain. Tempatku bersekolah selama empat tahun sungguh unik dan aku salah satu hasilnya. Pukul 09.00 kegiatan belajar mengajar dimulai. Itupun belum semua hadir, alasannya sederhana saja, sekolah kami berada di tempat yang dingin, semua orang lebih merasa hangat di tempat tidur dibanding di bangku sekolah. Pulang sekolah selalu tak tentu, bisa cepat bisa terlambat. Semuanya bergantung pada awan yang disebut kabut dan keputusan para pahlawan tanpa tanda jasa. Sehingga, aku meyakini betul bahwa memang murid tak pernah lebih hebat dari gurunya. Pelajarannya sederhana saja, baca, tulis, hitung, dan bernyanyi. 

Kata orang, daerah kami sangat kaya. Kalau di tempat lain para pahlawan tanpa tanda jasa menggunakan kendaraan bermotor bahkan berjalan kaki untuk tiba di sekolah, hal yang berbeda terjadi di daerah kami. Si burung mesin adalah satu-satunya sarana untuk mendatangkan para pahlawan tanpa tanda jasa. Kayakan kami?! Mungkin juga karena terlalu kaya, seringkali para pahlawan terlambat bahkan tak datang untuk menyelamatkan kami. Saking kayanya kami, pendidikan kami bisa di beli, walaupun bukan kami yang membeli. 
Pertama kali mamasuki Sekolah Dasar Tak Bernama, hatiku sangat senang karena kami yang berkumpul rata-rata seumuran, walupun kadang-kadang iri dengan teman-teman yang bebas berekspresi di kebun-kebun dan rumah. Satu hal yang paling menyenangkan semasa awal memasuki Sekolah Dasar Tak Bernama ialah ketika kami mengenal lagu balonku ada lima. Setiap pulang sekolah, aku dan teman-teman selalu menyanyikan lagu tersebut, walaupun kami tak tahu rupa balon pada waktu itu. Yang penting kami senang, titik. Betapa bahagianya aku, ketika bisa menguraikan kata-kata yang setiap hari kulafalkan.

Sepulang sekolah aku selalu membanggakan kemampuan menguraikan kata-kata kepada teman-temanku di kampong, walau hanya sedikit. Semasa sekolah di Sekolah Dasar Tak Bernama, aku merasa bahagia karena ada hal-hal yang bisa ku ketahui, selain itu betapa nikmatnya sepulang sekolah kami selalu mengulang apa yang kami dapat di sekolah ketika menyusuri jalan-jalan kecil untuk kembali ke rumah. Ada nyanyian, ada pertanyaan serius sampai pada yang konyol, dan itu hanya dimengerti oleh kami.

Kecelakaan dan keberuntungan itu datang ketika aku menjalani tahun keempat di sekolah tersebut. Ketika sedang bermain-main dengan teman-temanku, nenekku memanggilku ke rumah. Aku sebenarnya tak mau menggubris panggilan nenekku, tapi sepertinya nenekku serius. Setibanya di rumah, sudah ada orang lain yang sangat ku kenal berada dalam rumahku. Seingatku baru kali ini, aku berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya. Ku perhatikan seluruh tubuhnya, rapi dan sangat berkesan untuk anak seumuranku. Di sampingnya tergeletak sebuah kertas yang cukup panjang dan ada tulisan-tulisannya. “Mama, cucu mama sudah boleh melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama” demikian kata-katanya kepada nenek dan tentunya aku juga mendengar itu. Nenek tampak terkejut. “Tapi,,,,,,,Abi baru kelas 4 SD. Dia bari mau masuk kelas 5…” “Ah…sudahlah mama. Yang itu jangan dipikirkan. Kami sudah mengurusnya. Ini ijasahnya” sambungnya memotong pembicaraan nenek. “Tapi……..””ah sudahlah,,,,,masa nenek tidak senang, cucunya masuk SMP” sembari memberikan ijasah kepada nenek dan lagi-lagi dia memotong pembicaraan nenek. Aku bingung, sulit menjelaskan apa aku senang atau sedih. Yang terlintas dipikiranku, aku bisa melanjutkan sekolah ke sekolah menengah pertama, dan aku bukan penghuni di Sekolah Dasar Tak Bernama lagi………….

“Woi…….menghayal terus,……..” teriak sahi sambil menggoyangkan pundakku. ”Tak bosan ya….itu ada tumpukan pakaian di kamar mandi….bersihkan sana” lanjutnya, “aku menghayal masa laluku yang tak pernah tuntas….” sambarku dengan wajah ketus. Kali ini ini giliranku yang membiarkannya memandangi punggungku di telan pintu kamar mandi.

Posting Komentar

0 Komentar