Judul : Jalan Kehancuran
Penulis : Vitalis Goo
Tahun Terbit : 2012
Tebal : Viii+158
Novel Jalan Kehancuran Karaya Vitalis Ibo Goo |
Buku "Jalan Kehancuran”buku ini sebagai persembahan untuk mengenang
kedua saudara sepupu Vitalis Goo (Vigo)yaitu
Alm: Emanuel Kogaa dan Alm Theodorus Tebay
yang telah meninggal karena ulah
pembangunan “Jalan Trans Papua” Nabire
–Paniai.
Penulis Buku ini, Vitalis Goo, lahir di Kampung
Mauwa-Dogiyai-Papua, pada tanggal 28 Desember 1985. Menyelesaikan Sarjana Ilmu
Politik dari Universitas Wahid Hasyim Semarang, pada jurusan Hubungan
Internasional (2008).
Ia pernah menerbitkan beberapa
novel. Tanah Perkabungan: Tetes-tetes Air Mata di Rantauan (Paradise Press,
2008), Belahan Jiwa tak serupa Impian: Kisah cinta seorang mahasiswa di
Jayapura dalam Pengembaraan Menemukan Teman Hidup sejati (Pilar Media 2012),
Pintu Menuju Neraka: Sebuah Pertengkaran Peradaban (Pilar Media, 2012), Anggrek
Hitam yang Layu: Kisah Cinta Nyata (pilar Media, 2014).
Selain novel, ia bersama
kawan-kawannya menerbitkan sebuah buku berjudul: Dogiyai Berdarah: Tindakan
Militer Aparat Polisi dan Brimob di Moanemani Kabupaten Dogiyai (Pilar Media,
2012) dan buku Warisan Budaya Suku Mee: Daa dan Diyo Dou, siap diterbitkan.
Vitalis Goo, dalam bukunya, berupaya
mengulas tentang pembangunan jalan darat yang di awali pada tahun 1982, dan
telah di percayakan kepada PT. Moderen untuk membangunnya.Jalan darat ini
telah di beri nama “Jalan Trans Irian” yang di sebut jalan Trans Papua.”
Awal berkembangnya isu pembangunan jalan darat
yang telah di bangun ini, orang Desa Mauwa
sangat mengharapkan dan menanti-nantikan agar jalan darat itu tembus
hingga ke daerah mereka. Mereka tampak
ingin beradaptasi dengan peradaban dunia luar, ingin mendistribusikan
hasil pertanian dan peternakannya meskipun masih bersifat tradisional. Tetapi setelah jalan darat itu memasuki
wilayah pedesaan itu, kenyataan berkata lain.
Tampaknya jalan darat secara
langsung maupun tak langsung telah memasuki moral ,lingkungan alam, tatanan
kehidupan sosial, dan budaya pedesaan itu. Orang-orang yang sebelumnya hidup
dalam dunia yang nyaman dan penuh kedamaian berubah menjadi orang orang yang
hidup dalam ketakutan.
Dunia tanpa tujuan hidup yang jelas seakan tertutup
dibalik gugusan gunung yang menjulang tinggi, sehinggga hal ini membuat mereka
tak dapat melihat secara langsung segala sesuatu yang di balik gunung itu.
Vigo telah mengalami dan
menyaksikan sendiri bagaiamana kehidupan orang pedesaan sebelum dan sesudah
masunya jalan Trans Trans Irian ke wilayah pedesaan itu.
Sesuatu yang
mengganjal di alam pikirannya adalah dampak-dampak yang muncul setelah jalan
darat itu berhasil masuk ke wilayah pedalaman dan kejadian kejadian yang
terjadi menjelang jalan darat itu
memasuki wilayah kecematan kamuu, khususnya wilayah pedesaannya.
Padahal
sebelum jalan trams irian itu
masuk, Desa mauwa itu adalah surga bagi
Vigo dan sahabat sahabatnya. Sebebas-bebasnya Vigo bersama teman-teman sebaya
bermain, mencari kayu bakar, mandi di sungai yang jernih airnya dan anak-anak
pedesaan melakukan berbagai kegiatan lainnya. Tetapi semua itu berlangsung
dalam waktu yang sangat cepat, terbawa getaram perkembangan semesta.
Menariknya isi buku ini yaitu
bagaimana penulis bisa menceritakan ulang pengalamannya sendiri yang ia telah
lewati di beberapa tahun silam sesuai dengan fakta yang terjadi.
Novel ini sangat baik digunakan
oleh siapa saja yang berminat untuk membaca, karena ia banyak membagi
pengalaman hidupnya dalam bentuk tulisan novel, dalam beberapa tahun yang ia
lalui bersama dengan warga yang mendiami di kampung Mauwa Kab. Dogiyai, Vigo
juga mengungkapkan sejarah singkat akan pahit-manisnya hidup yang telah ia
lalui pada saat berupaya mengulas tentang pembangunan jalan darat yang di awali
pada tahun 1982, dan telah di percayakan kepada PT. Moderen untuk
membangunnya.Jalan darat ini telah di beri nama “Jalan Trans Irian” yang di
sebut jalan Trans Papua.”
Saya menangkap, novel ini akhirnya
mengharapkan agar pembaca terlibih khusus kepada stekholder yang mendiami di
wilayah Meuwodide agar suapaya bisa
membuka mata dan terketuk hati
untuk melihat jalan kehancuran yang
alami oleh rakyat meuwodide, melalui tindakan dan prakteknyata yang di lakukan
oleh pemerintah setempat dengan pembangunanan jalan trans, yang seakan ingin mencabut nyawa manusia,
ibarat serigala berbulu domba sedang memburu mangsanya.
Andreas M.Yeimo Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta
0 Komentar