Oleh FloCheGe

Credit: Yaya Ulya untuk BBC (http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua)

Sebuah papan dengan terang memberi harapan. Semangatku kembali bangkit setelah beberapa kali gagal menemukan kamar kos di kota ini. Setiap tempat yang aku hampiri selalu memberi jawaban yang sama. Kos penuh. 

Di ujung jalan sempit, di Daerah Istimewa ini, semangatku menggebu meski peluh terus menembusi kulitku yang kian menghitam. Seorang laki-laki paruh baya sedang asik mengulum rokok pada pelataran salah satu kamar kos tempat papan tadi berdiri.
Untuk meyakinkan diriku sendiri, kuberanikan diri mengusik kesibukannya merokok.
 “Masih ada kamar kosong kah kaka?”
“Masih ada mas” jawabnya singkat sambil menunjuk papan yang tepat berada di belakangku.
Aku mengulang tulisan pada papan tersebut di kepalaku: “Kos pria, masih ada yang kosong” 
Lagi aku bertanya pada laki-laki itu
“Kaka, Pemilik Kosnya ada ka?” 

Ia berdiri dan mengajakku ke bangunan yang terletak di samping kos. Aku mengekor dari belakang. Tas yang melekat di punggungku terasa sedikit ringan dan koper kecil di tangan kananku pun menjadi semakin enteng. Pencarianku sebentar lagi selesai.
Ia mengetuk pintu depan bangunan tersebut, tak lama kemudian seorang bapak dengan kumis tipis di atas bibirnya muncul di hadapan kami. Matanya langsung menatap ke arahku.

“Pak ini ada mahasiswa baru yang cari kos” demikian laki-laki tadi memberitahukan maksud kehadiranku. Setelah itu ia berlalu, meninggalkan aku berdiri sendirian di hadapan pemilik kos. Tengah bingung hendak memulai dari mana, bapak pemilik kos itu sudah bicara terlebih dahulu.
“Maaf ya de, kos di sini udah penuh” 
Laki-laki yang tadi mengantarku belum begitu jauh meninggalkan kami, ketika ia mendengarkan ucapan bapak kos tersebut. Ia spontan berbalik, aku melirik padanya. Ada kerutan tipis pada dahi dan matanya memicing seperti keheranan. 

****

Ketika melewati papan pemberitahuan itu lagi, aku masih menyimpan tanda tanya yang besar. Aku yakin sekali bahwa mataku tidak salah melihat. Papan itu jelas memberitahukan bahwa masih ada kamar yang kosong. Aku teringat ayah. Mungkin nasehat ayah yang didengungkan setiap pagi terlalu dalam menancap pada pikiranku. 

Setiap hari, saat matahari akan berjanjak naik, dengan pakaian sederhana yang menggantikan kotekanya, ayah selalu berpesan
“Ko jangan terus saja mimpi sehingga ko tidur lama sekali gara-gara mimpi tarlalu enak. Bangun dan pikirkan sesuatu karena seluruh dunia pasti bantu ko untuk dapat itu” 
Entah dari mana ayah memungut kata-kata itu, aku baru sadar sebagian kata-kata itu mirip dengan tulisan Paulo Coelho dalam Alchemis yang kutemukan di atas meja kos mas Oyik saat pertama kali menginjakkan kaki di Jogja.

Tak pernah sekali pun aku mempertanyakan dari mana asal kata-kata itu, yang pasti aku seperti merasakan kekuatan darinya. Ayahku yang tak mengenal huruf sama sekali, tentu tak pernah tahu Paulo Coelho, apalagi soal kalimat-kalimat bijak yang ia tuliskan. Ayahku, sama seperti aku, tidak peduli tentangnya, karena kami yakin kata-kata itu nyata dalam hidup kami yang begitu sederhana di pelosok negeri. Kami yang hanya mampu memandang langit berkabut setiap hari. Sesekali pada langit itu, pesawat AMA jenis Pilatus melintas menghindari bukit hingga turun dengan suara keras menghantam kerikil kecil di bandara Netahua yang miring.

Bagiku, kenyataan hiduplah yang melahirkan kata-kata tersebut. Kenyataan hidup kami yang mengharuskan kami berusaha keras. Aku selalu takut bermimpi, karena kedinginan di Samenage akan membuatku terlelap dan enggan bangkit. Namun, tidak jarang aku juga mengidamkan sesuatu yang membuatku berhasil menyentuh mobil di Wamena, atau melihat motor yang tak jatuh meski tak ada yang menopangnya. Aku memimpikan pendidikan yang lebih tinggi dari Sekolah Dasar yang seringkali tak ada gurunya. Aku berhasil menggapainya di Wamena melalui bantuan banyak orang yang juga tidak begitu aku kenal. 

Sayangnya, kata-kata itu justru membuatku bingung saat ini. Aku tak menemukan kenyataan yang tergambar indah itu di sini. Padahal aku begitu yakin sebelumnya, apa yang aku idamkan bisa aku dapatkan di kota ini. Kini keyakinan itu perlahan surut. Penerimaan dan bantuan dari Mas Oyik di kota ini sempat membuatku percaya, aku pasti berhasil di sini. Akan tetapi hanya Penolakan demi penolakan yang aku terima.

****
Laki-laki paruh baya yang mengantarku menemui bapak kos tadi telah kembali ke tempatnya semula menikmati rokok. Sisa kerutan pada wajanya masih ada. Keringat di wajah hitamku membuatnya iba sehingga ia menawarkan segelas air putih. Aku sedang menyesap air minum tersebut dengan serius ketika dua orang pria tiba-tiba masuk ke halaman kos-kosan terus menuju ke bangunan samping, tempat rumah bapak kos berada. Sepertinya mereka sedang mencari kamar kos, sama sepertiku. Kupastikan bahwa mahasiswa baru tadi akan tertunduk lesu sepertiku.

Aku berpamitan pada laki-laki baik hati yang sudah menawarkan bantuan dan air minum di siang terik ini. Tetapi ia menahanku untuk melihat apa yang akan terjadi. Meskipun bingung dan tidak mengerti, aku turuti saja permintaannya. Tak lama kemudian, kedua pemuda tadi muncul bersama bapak kos menuju salah satu kamar yang kosong. Aku tak percaya pada apa yang terjadi. Tapi aku tak punya kuasa untuk sekedar bertanya atau marah. Pemuda baik hati itu tiba-tiba bicara,
“Sudah sering begitu. Anak-anak Papua selalu ditolak di kos-kosan ini meskipun masih banyak kamar kosong. Hm..aku akan coba membantumu, kamu tak perlu kecewa atau sedih.”

Aku masih diam. Sementara ia terus bercerita. 
“Bapak Kos selalu menolak mahasiswa asal Papua. Alasannya karena mahasiswa Papua suka membuat keributan, minum sampai mabuk dan juga beberapa dari mereka sangat separatis.” Ia berdehem sebentar lalu melanjutkan lagi
“Apa kurangnya pemerintah sehingga orang Papua ingin memisahkan diri. Terlalu banyak uang yang mengalir ke Papua tetapi orang Papua masih ingin berpisah dari Indonesia. NKRI itu harga mati, terlalu banyak orang Jawa yang dulu menjadi korban saat membebaskan Papua dari penjajahan Belanda. Mereka itu adalah Pahlawan yang membuat orang Papua sekarang ini tidak dijajah oleh Belanda lagi. Orang Papua harusnya bersyukur pada pemerintah bukan malah memberontak.” ungkap pemuda tadi mengulang kata-kata yang pernah disampaikan bapak kosnya. 

Aku menyimak dan merenungkan pendapat pemilik kos yang muncul dari kenangan laki-laki itu. Pemikiran itu menyakitkan. Mengapa perjuangan kemerdekaan oleh bangsa Papua dipandang sebagai separatisme. Kami orang Papua menginginkan kemerdekaan. Itu bukan separatisme. Bagi kami, berpisahnya Papua hanya konsekuensi dari kemerdekaan yang tidak kami temukan dari Negara ini. 

Laki-laki itu berbicara lagi,
“Aku heran, mengapa persoalan perjuangan kemerdekaan justru dihubungkan dengan penerimaan mahasiswa Papua dengan tempat tinggal di perantau. Ini tidak benar. Mungkin kami yang beda Suku ini harusnya berpikir, kenapa orang Papua ingin merdeka. Secara pribadi menurutku, perjuangan kemerdekaan itu bisa terjadi karena adanya penindasan. Kalau pemerintah Indonesia tidak ingin orang Papua berjuang untuk merdeka, maka hentikan penindasan terhadap bangsa Papua. Seperti yang terjadi di sini beberapa waktu lalu. Itu juga merupakan penindasan. Mahasiswa Papua sering sekali didiskriminasi, termasuk kawan-kawan saya sendiri. Kasihan mereka. Mereka bilang itu yang memicu mereka untuk memperjuangan kemerdekaan Papua.”

Laki-laki itu terus bicara, sementara aku hanya diam dan memikirkan kenyataan bahwa lahir sebagai orang Papua di zaman ini berarti siap untuk ditangkap, disiksa, dibunuh juga ditolak di kota istimewa ini. Mungkin juga di kota lain di Indonesia termasuk di Papua sendiri.
Kutinggalkan nomor hapeku padanya lalu pergi tanpa sempat menanyakan siapa namanya.

****
Mas Oyik menjemputku di mulut gang di mana kos tadi berada. Tanpa bersuara aku naik ke atas motor dan kami pun berlalu. Aku hanya ingin kembali ke tanahku, Papua. Di mana kata-kata yang aku yakini itu selalu mendapat makna dalam hidup. Di sini, di dunia yang dipadati sekolah dan pengetahuan bahkan ilmuwan, kata-kata itu justru  tidak mendapat tempat samasekali. Kebaikan Mas Oyik dan sang laki-laki tadi seolah-olah menjadi seperti iklan yang membuat tempat ini masih istimewa. Selebihnya, kata-kata dari mulut renta ayahku tak mewujud di sini. Mungkin aku terlalu naïf atau memang begitu saja mempercayai segalanya dapat dengan mudah didapatkan.

“Jogja tidak seperti dulu lagi. Sekarang agak susah bagi masyarakat menerima mahasiswa Papua di kosnya, tapi kita jangan putus asa, masih banyak orang yang baik dan bersedia menerima mahasiswa Papua, sebagaimana masih banyak mahasiswa Papua juga yang baik. Tidak seperti yang dipikirkan orang-orang” begitu pesan Mas Oyik sebelum mengantarku mencari kos.

Sore ini, dengan harapan yang besar, aku justru mendapatkan kekecewaan yang sama besarnya. Seandainya aku bisa memilih, aku tidak pernah mau terlahir hitam dan keriting pada keluarga miskin di pedalaman Papua. Aku akan memilih lahir sebagai anak seorang pejabat kaya, berkulit putih dengan rambut lurus yang bisa membantuku menggapai apa saja yang aku idamkan. 

Tapi aku tidak tega membiarkan teman-temanku di Papua mengalami nasib ini. Aku tak akan pernah mau memilih lahir dari pejabat kaya di negeri yang membuatku dan teman-temanku seperti pengemis di negara ini. Aku akan memilih memindahkan kemiskinan, kemelaratan dan penyiksaan dari Papua ke lautan, sehingga aku dan teman-temanku bisa menikmati hidup itu. Andai saja.