Eksistensi Dunia dan Manusia Melanesia Terarah Pada Agama Lokal

(Telaah Epistemologi Orang Papua)
 
Ilustrasi
 Pengantar

Epistemologi adalah dasar, substansi dan esensi dari pengetahuan. Epistemologi bertujuan untuk mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan asal-usul, hakikat, nilia-nilai dasar, sistem kebudayaan dan batas-batas pengetahuan. Epistemologi berkaitan dengan keberadaan dunia dan manusia untuk manusia terus bergumul dalam sebuah misteri. 

Kata misteri merupakan suatu hal yang belum tuntas untuk dipahami sebagai satu wujud dari keberadaan manusia. Maka, epistemologi mencari latar belakang dan ciri-ciri dasar dari proses  pengetahuan yang misteri. 

Pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana saya tahu bahwa saya tahu sesuatu? Dalam konteks Melanesia, epistemologi orang Melanesia pada hakekatnya adalah epistemologi religius yang didukung dengan  relasi yang terbangun.  

Orang-orang Melanesia sangat mengandalkan pengetahuan agama sebagai basis mereka untuk mengetahui dan mengerti dunia di mana mereka hidup.  Karena itu, jenis pengetahuan yang sangat penting bagi seorang Melanesia adalah apa yang oleh pemahaman orang Eropa  menyebutnya “pengetahuan agama”.

 Namun demikian paham Melanesia sangat berbeda dengan paham epistemologi kebanyakan orang Eropa tentang “pengetahuan agama” yang cenderung memandangnya sebagai  istilah tehnis, sekuler dan hanya ilmu pengetahuan belaka.

Orang Melanesia di Papua memiliki pengetahuan agama mencakup dunia sakral dan manusia Papua yang misteri.  Mereka memiliki suatu pandangan dunia dan manusia memiliki erat hubungannya antara yang material dan spiritual. Mereka tidak memisahkan  dan memilah-memilah seperti yang sering dilakukan dalam Kekristenan Barat. Pandangan dunia orang Melanesia Papua mencakup yang material dan spiritual, yang sekuler dan sakral, dan keduanya berfungsi bersama-sama[1].

Eksistensi dunia dan manusia Melanesia Papua terbentuk ketika ada kontak batin dengan Sang Pemberi hidup dan makna hidup. Mereka akan berupaya untuk memahami dengan keberadaan mereka dalam menjalankan nilia-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. Suatu hal yang perlu ada pada orang Melanesia Papua adalah keterikatan hati yang damai dengan Sang Pencipta. 

Keterikatan hati dengan Sang Pencipta, karena pada dasarnya manusia dalam kesadarannya melihat dirinya sendiri sebagai terhubung dengan alam semesta yang dipandang sebagai tak terpisahkan dalam dunia manusia insani. Dan ini juga, telah tertanam dan tersirat pada manusia Melanesia Papua memandang dunia sebagai ungkapan janji dalam pergumulan sejarah hidup.

“Pandangan Dunia” Orang Melanesia[2]

Pandangan dunia orang Melanesia terbagi dalam dua bagian epistemologi , yakni:

a.       Bagian-bagian empiris, yang mencakup lingkungan alam, sumber-sumber ekonomi, dunia binatang dan dunia manusia. Singkat kata, segala sesuatu yang dapat disentuh dan dilihat.

b.      Bagian-bagian non-empiris, yang mencakup adanya roh-roh, kekuatan ilmu-ilmu gaib tak berkepribadian dan kadang-kadang totem-totem.

Bagian gejala kosmos non-empiris selalu terkait erat dengan hal-hal biasa dari dunia material. Karena itu makhluk-makhluk seperti ilahi, roh-roh halus, leluhur, roh-roh jahat, totem dll.

 Pada umumnya dikatakan hidup di dalam dunia ini, sering kali tinggal dekat dengan pemukiman penduduk. Hal-hal ilahi yang non-empiris itu sering bahkan selalu mengambil rupa dan bentuk manusiawi. Maka orang-orang Melanesia sering mengatakan bahwa bertemu mereka dalam bentuk serupa dengan manusia atau dalam rupa binatang liar. Yang ilahi itu dipandang mempunyai kekuatan yang melebihi yang empiris dan manusia.

 Kekuatan-kekuatan itu menjelma dalam wujud empiris dalam ruang dan waktu tertentu. Mereka tidak berada di atas dan dibawah dunia. Tetapi mereka ada di sini dan sekarang, berbaur dengan dunia pengalaman manusia dan lingkungan alam.

Dalam konteks kita di Papua, pandangan seperti di atas sangat relevan. Di gunung tertentu, kawasan hutan tertentu, dan rumah-rumah adat tertentu dipandang sebagai dunia para arwah, baik arwah leluhur, roh-roh, maupun arwah orang-orang yang baru meninggal dunia.

 Di Baliem (suku bangsa Huwula), misalnya tempat-tempat arwah itu disebut wakunnmo dan di dalamnya dibangun rumah kecil untuk meletakkan simbol-simbol hierofani para arwah yang baru meninggal, atau di dalam gua-gua tertentu. Kehadiran para arwah itu diketahui melalui gejala-gejala alam dan melalui simbol-simbol tertentu yang diakuinya sebagai tanda kehadiran mereka. Kehadiran simbolis seperti ini menurut M. Eliade disebut hierofani.

Pandangan seperti itu sangat berbeda sekali dengan pemahaman tradisi agama Yahudi Kristen. Sebab dalam paham theisme[3] tradisi Yahudi-Kristen. Allah dipandang sebagai pencipta dan manusia diciptakan menurut gambaran-Nya dan terlibat di dalam ke-Tuhan-an-Nya terhadap ciptaan yang lain. 

Di sini terdapat jarak antara pencipta dan ciptaan-Nya dan antara Tuhan dan manusia. Menurut Ennio Mantovani, sikap ini sama sekali tidak terdapat dalam kebudayaan tradisional Melanesia (1977:163). Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan dipisahkan, demikian halnya Allah dengan alam. Karena itu dalam paham theisme selalu berusaha bagaimana menjembatani jarak itu.

Whiteman menegaskan bahwa pandangan dunia empiris dan non-empiris antara orang Barat dan Melanesia sangat berbeda satu sama yang lain. Pemisahan tajam terjadi dalam pandangan barat sementara dalam agama-agama Melanesia memandang kesatuan yang integral di dalam dunia manusia. Misalnya dalam penyembuhan, orang-orang Melanesia melibatkan unsur-unsur  empiris dan  non-empiris merupakan contoh dari kesatuan yang tidak terpisahkan itu. 

Namun ia juga menegaskan bahwa itu berarti bahwa orang Melanesia tidak memisahkan antara makhluk manusia dan roh-roh, antara dunia empiris dan non-empiris, melainkan mereka melakukan pembedaan itu juga. Akan tetapi tidak seperti pembedaan tajam yang sangat independen satu sama lain seperti dilakukan oleh orang Eropa. 

Dasar pemahaman akan pandangan dunia orang Melanesia adalah kesatuan integral yang mencakup orang yang hidup dan yang mati, binatang, tanaman, roh-roh, gunung-gunung, kali-kali, lautan dll. 

Pembedaan orang Melanesia dilakukan antara yang hidup dan yang mati tidak begitu berarti bila berpikir dalam konsep dasar tentang kosmos yang menyatu dan keduanya secara aktif terlibat dalam kehidupan komunitas.

“Pandangan Manusia” Orang Melanesia

Satu karakteristik penting yang lain dalam agama-agama orang Melanesia adalah kepercayaan kepada roh-roh leluhur yang kini masih hidup dan ada bersama dalam kehidupan dewasa ini.  

Manusia dalam pengertian orang Melanesia adalah manusia yang memahami asal usulnya, kebudayaannya, adat istiadatnya dan melestarikan identitas dirinya. Keberadaan manusia dalam tradisi orang Melanesia bertolak pada penyebaran manusia pertama (para leluhur). 

Kelompok para leluhur yang lain adalah para leluhur mitis yang hidup pada zaman primordial atau sangat berdekatan dengannya dan aksi-aksinya tentang awal mula sejarah manusia. Perbedaan yang penting dari sudut perspektif keagamaan lokal ialah antara leluhur historis dan leluhur mitis, bahwa para leluhur historis menginginkan kehidupan berlimpah sedangkan leluhur mitis adalah memprakarsai kehidupan sebagaimana mereka hidup pada zaman historis awal itu. 

Jadi, para leluhur mitis ini menjadi asal usul atau penyebab benda dan keadaan sekarang, misalnya adanya pria dan wanita dengan jenis kelaminnya, asal usul tanaman, dan binatang-binatang penting yang menjadi makanan mereka, atau membebaskan komunitas dari suatu kekuatan yang mengancam menuju kepunahannya. Sebetulnya pemahaman fundamental itu mendasari pengetahuan dan kegiatan manusia dalam konteks orang Melanesia di Papua. 

Dalam kehidupan orang Papua, ada keterikatan emosional dalam klen maupun dari relasi yang terjalin dengan klen di luar komunitasnya. Artinya bahwa orang Melanesia di Papua selalu mengutamakan nilai kesatuan, keharmonisan, kesukuaan yang tidak megutamakan kepentingan pribadi dalam kelancaran hidupnya. 

Selalu saja dikatakan bahwa relasi yang harmonis dengan sesame manusia akan melahirkan satu kehidupan yang aman dan damai. Pola pikir ini yang selalu diwariskan dalam generasi ke generasi. Kehidupan manusia Papua dikaitkan dengan kekuatan yang dimiliki dalam benda-benda sakral dan nilai-nilai luhur yang ada dalam adat istiadat. 

Keharmonisan yang ditawarkan adalah menghidupi nilai-nilai luhur dalam pembangunan mental dan kareakter orang Papua. Karena itu,  pandangan orang Melanesia Papua terhadap diri objek manusia adalah pada kepercayaan asli (sabda asali) yang terwujud dalam benda-benda sakral dengan nilai-nilai yang benar sebagai pedoman hidup.  

Kepercayaan  asali itu sesuatu yang dinamis untuk mengarahkan pola pikir yang benar, metal yang teruji, tindakan yang tidak merugikan orang lain dan berpikir positif terhadap perubahan-perubahan nilai jual dan nilai tawar pada dunia dewasa ini.

Kesimpulan 

Kita telah melihat pandangan dunia dan padangan manusia dalam kebudayaan atau kepercayaan orang Melanesia di Papua. Beberapa konsepsi mengenai kepercayaan lokal (agama lokal) menjelaskan cukup tepat pada perubahan  internal bentuk-bentuk agama Melanesia dan menggambarkan struktur suatu perubahan internal tentang kepercayaan-kepercayaan lokal. Misalnya sebagai contoh kepercayaan akan magi dan ilmu alam untuk menyelamatkan diri dari situasi sulit, masih berlanjut terus dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat sekalipun mereka sudah menjadi Kristen sebagai kepercayaan baru. 

Perubahan-perubahan  itu sangat lambat dalam interaksi dengan agama Kristen. Misalnya paham tentang pentingnya para leluhur mendorong mereka akan interpretasinya terhadap tokoh-tokoh dalam Kitab Suci, seperti Adam, Abraham, Musa, Daud, Yesus dan para Rasul. Tafsiran-tafsiran terhadap tradisi Kristen lebih menekankan orang-orang yang dalam Kitab Suci, sebab hal-hal itu lebih dekat dengan leluhur. 

Namun, persoalan ajaran Kristen sekarang adalah apakah nilai-nilai Kristen telah meresap dalam kehidupan terdalam dari orang-orang Melanesia di Papua? Atau apakah masih pada tahap permukaan saja, yang terbatas pada perubahan bentuk-bentuk ritus atau upacara-upacara saja? Pertanyaan ini bisa dijawab hanya oleh orang Melanesia di Papua sendiri, sedangkan gereja atau agama baru (kepercayaan baru) sendiri perlu bersiap-siap agar supaya interaksi kekristenan Melanesia Papua dapat ditempatkan pada bagian yang paling dasar  dari kehidupan.

 Kekristenan Melanesia Papua dimulai dari dasar kehidupan mereka yang fundamental, tetapi tidak dari bentuk kekristenan barat yang diperkenalkan kepada mereka.  

Hanya dengan itu orang Kristen Melanesia di Papua akan hidup di dunia sebagai anak-anak Allah sebagai bangsa Israel yang dipahami bangsa pilihan. Bangsa pilihan tidak hanya terpaku pada keyakinan kepercayaan baru melainkan ada pada setiap kepercayaan lokal.


Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi  (STFT) Fajar Timur Abepura

Posting Komentar

0 Komentar