Ilustrasi; youtube |
Oleh; Dharma Somba
Sesak dadaku melihat seorang pengemis berjalan tertatih-tatih di pinggir jalan. Tangan kirinya menenteng sebuah tas kresek warna hitam, kusut dan kotor. Tangan kanannya menuntun seorang anak laki-laki yang berpakaian kumal sekumal tas kresek yang ditentengnya.
Mereka berjalan tenang menyusuri jalan. Keduanya tak terusik dengan kehadiran kendaraan yang berseliweran di jalan raya. Entah apa yang ada dibenak mereka terus melangkah dari tapak yang sate ke tapak yang lain.
Berjalan dan berjalan mungkin hanya bisa is lakukan saat itu.
Pada suatu tempat teduh, dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, membuka tas kreseknya dan mengemasirnya. Si pengemis lalu menggelar bekas koran lalu menyuruh si bocah duduk.
Dilihat dari tubuhnya, umur laki-laki tua itu 60 tahun. Sedangkan bocah kecil yang bersamanya adalah cucunya berusia sekitar 7 tahun. Ayah bocah tersebut meninggal dunia akibat suatu kecelakaan di pabrik tempat dia bekerja. Sedangkan ibu sang bocah menjadi pramuria di klub malam. Menurut Pak Tua ibunya tidak memelihara anaknya, takut dijauhi katanya.
Menurut cerita banyak orang ketika Pak Tua masih muda, dia dikenal sebagai ajudan Bupati pada masanya, pemerintah tertinggi di kota ketika masa-masa perjuangan, Pak Tua merupakan salah seorang pemuda yang menggencarkan perjuangan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Namun nasib berkata lain, ketika keadaan mulai membaik, sesuatu terjadi dan mengubah nasibnya. Orang yang menyenanginya saat masa penjajahan karena kedekatannya dengan pejabat, mulai rnenggulirkan isu. Isu yang bergulir di masyarakat sangat tidak mengenakkan hatinya. Diisukan bahwa Pak Tua pada masa perjuangan menjadi penjilat kaum penjajah, sehingga dia tidak diapa-apakan musuh. Menurut isu yang beredar Pak Tua banyak memberi informasi ke pihak musuh sehingga banyak pejuang yang menjadi korban yang lebih menyakitkan bahwa Pak Tua mendapat hadiah dari pihak penjajah karena berhasil menjual informasi, sehingga banyak pejuang di daerah itu diketahui persembunyiannya oleh penjajah. Lalu mereka ditembak mati. Isu yang berkembang ini meracuni pikiran masyarakat. Apalagi di masa-masa transisi itu gampang sekali menyetir orang dengan cerita-cerita yang bisa menyesatkan. Pak Tua yang tidak menyangka akan mendapat tamparan cerita seperti itu menjadi bingung dan shok. Keshokannya ini dijadikan lagi umum untuk menyebar isu yang semakin membuat orang banyak menjadi dalam suasana semakin tidak menentu.
Ada yang menyebarkan lagi cerita, bahwa Pak Tua shok takut kelakuannya di masa-masa perjuangan diketahui banyak orang. Pejabat di kota itu juga tidak bisa berbuat banyak.
Kebanyakan pejabat yang ada sekarang hengkang ke daerah lain, ketika suasana sudah aman. Apalagi yang menyebarkan isu adalah pemuka masyarakat.
Pak Tua semakin terjepit matt mengadu ke pejabat, pejabat Cuma bisa menentramkan hatinya dengan kata-kata tanpa punya keberanian untuk bertindak. "Sabar Pak, kami akan mengusut kebenaran cerita ini, dan akan menindaki orang-orang yang tidak bertanggung jawab tersebut," ujar seorang pejabat kota yang didatangi Pak Tua.
Kata-kata pejabat itu menentramkan hati Pak Tua. Pak Tua kembali bekerja seperti biasa berdagang sayur mayur di pasar, karena hanya pekerjaan ini yang bisa is lakukan di usianya yang semakin senja. Namun dari waktu ke waktu pembersihan nama baiknya tak kunjung dilakukan. Masyarakat umum semakin yakin bahwa Pak Tua penghianat di masa perjuangan.
Pak Tua jadi frustasi dan meninggalkan pekerjaannya. Tidak tahan mendengar cemoohan orang di sekelilingnya. Apalagi ketika anak satusatunya mengalami kecelakaan di pabrik tempat dia bekerja, "Oh, inilah balasan orang yang menjadi penghianat," ujar sesama penjual sayur di pasar.
Pak Tua semakin rapuh dalam kesendirian. Satu-satunya harta yang dia miliki adalah Aldi, cucunya. Dari hari ke hari kehidupan Pak Tua semakin sengsara.
Satu persatu harta miliknya dijual untuk kelangsungan hidup. Dan akhirnya harta yang terakhir dijual adalah rumahnya. Dan sejak itu Pak Tua bersama cucunya sah menjadi gelandangan.
***
Kusodorkan sebatang rokok pada Pak Tua, dan kuberikan sekotak minuman pada cucunya. "Terima kasih," ujarnya mengambil rokok tersebut. Kunyalakan, pemantik lalu Pak Tua menyedot rokok dalamdalam, dan ujung rokok pun menyala. Sam isapan, dua isapan telah berlalu Pak Tua hanya tersenyum melihatku tanpa mengeluarkan kata-kata.
Si Aldi begitu menikmati teh kotak yang kuberikan. Tidak berselang lama, kotak pun kosong. Lalu si Aldi melemparnya ke dalam tong sampah disampingnya.
"Sekarang ini ibunya si Aldi di mana," ujarku mengawali percakapan. Tanpa melihat kepadaku, Pak Tua lalu bercerita.
"Itulah nak, kehidupan ini bagaikan roda pedati, terus-menerus berputar, dan tidak menetap. Begitu juga yang kualami. Dulu ketika masamasa perjuangan tanpa pernah terbesit dalam anganku bahwa kelak setelah kita merdeka, aku akan mengalami hal seperti ini. Dulu aku memanggul senjata, memimpin pemuda-pemuda menghalau penjajah. Tapi sekarang, aku hanya duduk mengemis, mengharapkan betas kasihan orang lain," kenang Pak Tua.
Kulihat rokoknya sudah habis, kutawarkan lagi sebatang. Pak Tua mengambilnya lalu menyalakannya," lalu mengapa Pak Tua tidak berusaha meyakinkan pejabat-pejabat bahwa apa yang dituduhkan orang banyak tidak benar," ujarku.
"Percuma, Nak. Adakalanya kebenaran, dikalahkan oleh jabatan, dikalahkan oleh harta, itulah yang menimpaku. Karena pejabat-pejabat takut kehilangan jabatannya apabila mengusut secara benar kasus yang menimpaku. Karena yang menghembuskan isu itu adalah tokoh masyarakat yang dikenal kaya dan punya massa." Ujarnya.
"Apo yang dilakukan orang saat itu, saat masa perjuangan," tanyaku. Dia adalah anak seorang tokoh masyarakat. Dia juga ikut berjuang bersama kami, namun dalam pergaulan sehari-hari atasan kami lebih menyenangiku. Orang tersebut makin cemburu. Maunya dia yang diangkat jadi komandan, karena merasa dirinya yang paling kaya di antara kami, dan juga dia adalah anak seorang tokoh masyarakat.
Dan situlah muncul kecemburuan. Ketika suasana sudah tenang dan aman, kami kembali berbaur dengan masyarakat. Aku kembali menekuni pekerjaanku sebagai ajudan Bupati. Namun tidak berselang lama bupati wafat.
Ketika beliau wafat, pergantian jabatan terjadi. Karena aku ingin beristirahat, menikmati sisa hidupku, aku lalu mengundurkan
Sebelum mengundurkan diri, dijanjikan bahwa bekas pejuang akan mendapat bantuan dari pemerintah, dan akan mendapat pensiun dengan melampirkan surat-surat yang dibutuhkan. Aku melengkapi semua suratsurat yang dijadikan syarat untuk memperoleh dana pensiun.
Dalam masa-masa menunggu itu, terjadi permasalahan di kalangan pengurus dana pensiun. Orang yang menjadi saingan saya pada masa perjuangan mulai melancarkan serangannya denga menebarkan isu-isu.
Sebagian pejabat termakan isu, apalagi dengan melihat kedudukan orang tersebut dalam masyarakat. Sedangkan aku? Siapa yang bisa membelaku. Bupati yang aku harapkan bisa membantuku, kini sudah wafat. Berkali-kali aku mendatangi kantor pemerintah untuk mendapatkan hakku dari dana pensiun, tetapi selalu dikatakan belum selesai. Aku jadi shok dan tidak bisa berbuat banyak.
Kualihkan hidupku menjadi pedagang sayer mayur, tapi itu juga tak berlangsung lama. Aku memilih hidup seperti ini. Dengan kehidupanku sekarang, kunikmati hidupku. Tidak ada lagi orang yang cemburu padaku.
***
Ketika sampai di rumah kucerna semua pembicaraan dengan Pak Tua. Hatiku sedih, Aku terharu dan ingin melakukan sesuatu untuknya. Tapi apa yang mesti aku lakukan? Kadangkala kita ingin menegakkan kebenaran, tetapi kebenaran itu kadang tertimbun kebijaksanaankebijaksanaan. Entah untuk siapa kebijaksanaan itu diberlakukan. Yah, mungkin saja kebijaksanaan itu diprioritaskan pada orang banyak atau kepentingan yang lebih besar, ketimbang melihat kepentingan orang kecil.
Aku hanya termangu, ketika esok harinya kulihat lagi Pak Tua dan cucunya duduk di tempat yang didudukinya kemarin. Aku tidak lagi mendekatinya. Hanya saja hatiku terasa teriris. Mengapa mesti ada yang mengalami perlakuan seperti itu? Dan mengapa pula aku mesti mengetahui penderitaan Pak Tua itu? Apakah cukup hanya dengan menangis dalam hati, tanpa bisa berbuat sesuatu? Lalu kalau aku berbuat sesuatu apakah aku mampu?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus menghantui diriku, aku mcmbawanya dalam kehidupanku. Aku tidak tahu apa makna dari perasaanku itu. Entahlah! Mungkin secara tidak sengaja aku mengakibatkan perasaan itu menumbuhkan suatu sikap dalam diriku yang aku sendiri tidak mengerti cara pembentukannya.
Mungkin saja dari pengalaman hidup orang tua itu semakin membuka cakrawala pandangan hidupku untuk mengalami kehidupan yang kita punya, kehidupan sendiri yang bisa ditebak bentuknya.
Kehidupan Pak Tua adalah Suatu kehidupan yang terjadi dalam beragam kehidupan di dunia ini.
Hanya sate yang bisa kulakukan mendoakan Pak Tua agar dalam menjalani hidupnya dia mendapat kebahagiaan. Pak Tua hanya itu yang bisa aku lakukan mering-ankan beban hidupmu dan si kecil kataku lirih.
Harian Cenderawasib Pos, Sabtu, 10 Februari 1996
0 Komentar