Oleh :
Silvester Gobai
Ilustrasi; pixabay.com |
Mendungpun hadir
seakan menghiasi amarahmu
disela-sela senyuman terakirmu
yang hampir pudar dilahap badai
kemelut,
yang kian menghantam jiwamu
Semua seakan tergambar dan
terwujud jelas di ragamu
yang memancarkan segalahnya
lewat gerak gerikmu, tindakan dan sifatmu
Lekukan senyum termanis diwajahmu
terlanjur terayu dan terbuai
oleh amarah dan keresahaan hatimu
yang memuncak kala sendiri
Kaupun terbuai dan terlena pada
amarahmu
yang terlanjur menutupi mata hatimu
yang dulunya tulus dan lembut,
kini mulai berubah dan membeku
seumpama gunung es di tengah padang
pasir
yang tak kunjung mencair juga
Kau menari dan mencoba berlari
dari kehidupanmu yang ayuu lembut
dan manja
menjadi keras dalam kegusaran
hatimu
yang kian memuncak kala sendiri
dalam ruang kamar
yang lengkap dengan pernak-pernik
dan keharuman parfum
komplit dengan kebahagian yang
abadi
Kini kau menghilang dalam dekapan
senyumanmu,
Yang egois, sayang.
Maguo, 18 Juni 2017
Silvester
Gobai, mahasiswa Papua di Yogyakarta
0 Komentar