oleh: Goenawan Mohamad*
SEBUAH cerita Andersen yang amat bagus tapi jarang dikenal
berkisah tentang sarjana yang datang ke sebuah negeri panas. Di negeri itu,
dalam jam-jam ketika sendirian, ia ditemani hanya oleh bayang-bayangnya. Matahari
sangat terang dan kuat, dan bayang-bayang itu pun makin menegas, ia juga makin
kokoh. Pada akhirnya ia mendapatkan otonominya sendiri: ia membebaskan diri
dari sang sarjana. Pada penutup dongeng, sang bayangan itulah yang akhirnya
menikah dengan putri kerajaan yang disembuhkan, sementara sang sarjana
terbenam, menghilang, ketika terompet berbunyi.
Saya
membaca cerita itu beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah terjemahan Trisno
Sumardjo di tahun 1955. Sejak itu tiap kali ada persoalan tentang seorang pengarang
dan karyanya -- satu soal yang nampaknya tak putus-putusnya ada di dalam kritik
sastra-- saya selalu ingat akan dongeng Andersen tentang sang bayang-bayang.
Bagi
saya, sebuah karya sastra --puisi, novel-- adalah ibarat bayang-bayang
penulisnya. Di katulistiwa yang luas, bayang-bayang itu, dalam khayal saya,
makin lama makin besar, menjadi bertambah penting, dan dalam perkembangannya
kemudian, setapak demi setapak, secara ajaib, mengambil kemandiriannya sendiri.
Pada gilirannya, novel atau sajak itulah yang menjadi mempelai. Dialah yang
disambut dan dialah yang dibicarakan. Sang pengarang undur ke tempat lain, agak
jauh dari podium, atau mungkin juga tenggelam, dengan atau tanpa kesedihan.
Dewasa ini misalnya, novel seperti Salah Asuhan dan Sitti Nurbaya
selalu hadir dalam pembicaraan-pembicaraan penting atau tak penting tentang
sastra, meskipun sudah lama tak dicetak ulang lagi, sementara siapa yang masih
menganggap perlu berbicara tetak bengek riwayat Abdul Muis atau Marah Roesli?
Bukan
karena sebuah novel adalah sebuah monumen, yang dipasang setelah obituari
ditulis dan kenangan ditakutkan hendak lepas ke dalam gua gelap. Saya justru
membayangkan sebuah batu gunung (maafkanlah kebiasaan mencari kiasan ini) yang
terpancang di tebing. Dalam proses menggelinding ia terhenti beberapa jaraknya
dari kepundan yang sesekali muntah. Dengan kata lain, ia sebuah output
yang nampak, tertinggal, mengesankan, sekaligus sesuatu yang senantiasa bisa
dibentuk dengan tilikan dan imajinasi baru.
Dengan
demikian, dalam keadaan stasioner itu, ia tidak mandek. Keabadian sebuah karya
sastra bukanlah karena ia menorehkan "luka yang abadi", seperti
dikatakan Robert Frost, melainkan karena ia mempunyai sebuah kamar rahasia,
tempat tersimpan sumber tenaga yang seakan-akan tak habis-habis.
Itulah
sebabnya sia-sia saja membuatnya menjadi sebuah ikhtisar. Pengarangnya sendiri
tak selalu bisa meletakkannya dalam sebuah program bahkan untuk sajak yang
tidak luar biasa.
Beberapa
tahun yang lalu seorang redaktur sebuah ruangan kebudayaan di sebuah harian
meminta kepada saya menceriterakan apa yang saya maksud dengan sajak Pariksit.
Saya, untuk beberapa hari lamanya, tidak tahu harus menjawab apa. Ia
seolah-olah menanyakan sebuah rahasia yang seakan-akan saya simpan baik-baik,
sebuah kunci dari sederet kode yang sengaja saya pasang agar orang tidak tahu
maksud saya sebenarnya. Ia lupa, atau memang tidak mengerti, bahwa sebuah puisi
bukanlah kata-kata sandi. Sebuah puisi justru berbicara langsung, hanya,
kadang-kadang, jalan yang ditempuhnya bukanlah jalan yang dipetakan satu petak
demi satu petak. Tak ada flow chart; yang ada hanya degup, suara dan
warna dan paduan benda seperti pagi, di mana ide hadir seperti sisa bulan tadi
malam: yakni sebuah bayang putih, membaur, tanpa supremasi, terasa jauh.
Sebuah
puisi, bahkan sebuah novel, karena itu selalu lari dari ide yang hendak
dipasangkan secara persis -- sebuah ide yang sebagai satu-satunya sumber
terang. Milan Kundera pernah menyebut sesuatu yang ia namakan "kearifan
sang novel", yang berbeda dari kepintaran sang pengarang.
"Novel-novel besar," kata Kundera, "selalu lebih pandai
ketimbang pengarang mereka." Tolstoy merencanakan tokoh Anna Karenina yang
berbeda ketika ia merencanakan menulis novelnya itu, tapi dalam proses novel
itu mengambil jalan perkembangannya sendiri.
Kesulitan
kita ialah bahwa di masa ketika puisi dan novel penting tidak dibaca lagi,
seperti sekarang, akhirnya para pengaranglah yang mengambil alih peran
kesusastraan. Di satu sisi kritik sastra berkembang menjadi psikoanalisa, dan,
akhirnya, gosip. Di sisi lain sang pengarang jadi tokoh publik.
Yang
penting bukanlah lagi sajak-sajak, tapi tingkah laku, dan tatkala karakter
seperti Aki (dalam cerita Idrus atau Lu Hsun) tidak dilahirkan lagi, yang
berada dalam sorotan kamera dan membekas dalam ingatan adalah sang pengarang
sendiri.
Norman
Mailer jadi buah bibir orang, tapi kita tak ingat lagi siapakah yang punya
profil menonjol dalam The Naked and the Dead dan siapa pula yang tak terlupakan
dalam Tough Guys Don't Dance. Sutardji Calzoum Bachri dipotret dalam keadaan
teler oleh bir, dan seorang pembahas mengatakan dialah penulis sajak
mabuk-mabukan; kita lupa bahwa sajak-sajak Sutardji adalah sajak-sajak yang
amat religius. Dan bila kita bicara Rendra sebagai tipe ideal seorang penyair
penulis protes sosial, kita agaknya hanya mengingatnya sebagai seorang yang
pernah menulis Nyanyian Angsa. Dan tentang Pramoedya Ananta Toer: sebenarnya
yang kita harga dalam karya seperti Bumi Manusia (sampai dengan Jejak Langkah)
adalah karena novel-novel itu memperkaya kerohanian kita, ataukah karena
kenyataan bahwa Pramoedya Ananta Toer menuliskannya sebagai orang tahanan, dan
karya-karyanya kemudian tetap dilarang?
Orang
akan mengatakan, mungkin, bahwa karya kita harus dibaptiskan dengan kulit kita
yang terbakar. Harga sebuah kata ditentukan oleh tebalnya lapisan penderitaan
yang membuat kata itu ditulis. Sebuah puisi, sebuah novel, adalah pencerminan
pribadi, dan pribadi adalah sebuah komposisi dari pengalaman yang tulen. Saya
kira itu benar. Tapi justru karena puisi atau novel mendapatkan kekuatannya
dari sana, ia tidak perlu tersisih dari perhatian. Di sampingnya, sang
pengarang seharusnya tak perlu lagi menunjukkan diri.
Goenawan Mohamad; Jurnalis Senior
Tempo
Artikel ini pernah di muat dalam situs akubaca tahun 2000 dan atas ijin pengelola situs akubaca tulisan ini dapat di muat di sastrapapua.com
0 Komentar