Segitiga
merah ke Segi Empat
Oleh; Joost W. Mirino*
Tapi, kisah yang lebih sederhana dan tegas mengenai makna warna dan
lambang bendera, kita dapatkan dari Frits Kirihio, salah satu pengurus Partai
Nasional (Parna) yang, ketika itu sedang belajar di Leiden. Frits menuturkan−sebagaimana
ditulis wartawan Belanda, Vlasblom−pada September 1961, ia mendapat panggilan
telepon dari Nicolaas Jouwe yang saat itu sedang melakukan perjalanan ke
Belanda. Jouwe minta Kirihio menemuinya di Hotel de Hertenkamp di Den Haag.
Ketika Kirihio masuk ke ruang inap Jouwe, ia melihat rancangan bendera yang
digantungkan di dinding: berlajur biru-putih dengan sebuah bintang putih dan
sebuah segitiga merah. Kirihio mengatakan, “Ini bendera Kuba, saya tidak suka”.
Jouwe mempersilakannya duduk. Lalu mulai menjelaskan makna dari warna-warna dan
lambang-lambang. Bintang itu
diambil dari mitologi Biak tentang Manseren Manggundi. Sampari, Bintang Pagi,
yang datang dalam wujud “putri cantik” pada pohon kelapa, tempat ia
menyingkapkan kepada Manggundi rahasia mengenai kemakmuran dan kehidupan abadi.
Segitiga merah melambangkan perjuangan politik bangsa Papua. Bintang putih di
atas landasan itu melambangkan harapan, harapan Bintang Pagi. Lajur biru yang
diselingi lajur putih melambangkan enam bagian residensi, sebuah wilayah yang
ditilik dari kemajemukan budaya Papua (terjemahan dan
cetak miring dari penulis bab ini). Kirihio menunjuk pada segitiga merah itu
dan mengatakan: “Mirip sekali dengan bendera Kuba. Saya usul untuk ubah
segitiga menjadi segi empat”.
“Itulah sumbangsih saya terhadap rancangan bendera Jouwe,” lanjut
Kirihio.
Rancangan Bintang Pagi pada bendera itu membangkitkan kembali
harapan-harapan Koreri.
Mati Sejak
Dini
Pada Senin, 30 Oktober 1961, sebelas
hari kemudian, NGR menyelenggarakan sidang (sidang luar biasa) yang pertama untuk membahas isi Manifest Komite Nasional
Papoea. Yakni, pertama, untuk menetapkan waktu pengibaran bendera; apakah 1
November 1961, atau 5 November 1961, ataukah 1 Desember 1961?
Kedua, untuk mengesahkan bendera Papua,
lagu kebangsaan, lambang negara dan nama bangsa.
Sidang ini dipimpin langsung oleh
Ketua NGR, J.H.F. Sollewijn Gelpke.
Dengan suara bulat, peserta sidang menyetujui atribut-atribut sebagaimana
termaktub dalam manifest tersebut. Sementara, penentuan tanggal pengibaran
bendera, baru disepakati setelah perpanjangan waktu waktu sidang hingga larut
malam.
Selama sidang itu, berlangsung
demonstrasi besar-besaran warga Papua di luar gedung NGR mendukung manifest
tersebut. Perkembangan ini semakin menaikkan tensi ketegangan Indonesia dengan Belanda
menyangkut Papua. Pihak Indonesia menganggap keberadaan NGR sebagai sebuah
ancaman riil karena itu kian mengintensifkan tekanan militernya.
Hasil sidang ini kemudian diajukan
kepada pemerintah Belanda pada 18 November 1961 untuk mendapatkan pengesahan.
Pada hari itu juga, Gubernur Nederlands Nieuw-Guinea (gubernur ketiga dan
terakhir), P.J. Platteel dan Sekretaris Gubernur, A. Loosjes, mengeluarkan tiga
surat keputusan tentang “ordonansi bendera negeri”, masing-masing nomor 362,
nomor 366 dan nomor 364, tertanggal 18 November 1961. Dua hari kemudian,
tepatnya 20 November 1961, pemerintah Belanda mengumumkan secara resmi ketiga
surat keputusan itu kepada publik. Menyangkut bendera “….Ordonansi Bendera
Negeri” akan mulai berlaku pada 1 Desember 1961.
Loosjes mengingatkan
bahwa warna dan ukuran bendera yang baru harus sama dengan bendera Belanda, bahwa
tidak ada bendera nasional yang menggantikan bendera Belanda selama New-Guinea Belanda
masih menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Dan nama “Papua Barat” yang mulai
digunakan 1 Desember 1961 hanya boleh digunakan dalam komunikasi umum dan
pemerintahan, namun tidak digunakan dalam surat-surat resmi”. Nama “Nederlands
Nieuw-Guinea” (Nieuw-Guinea Belanda) sudah ditetapkan dalam semua peraturan
pemerintah, karena itu menggantikannya
dengan ‘Papua Barat, memerlukan amandemen undang-undang.’ ”
Akibatnya, mulai 1 Desember 1961, setiap
hari, sejak pukul delapan pagi, bendera Bintang Pagi (Kejora) akan dikibarkan
di ibu-ibu kota kabupaten di Papua di samping bendera Belanda. Dan pada pagi, 1
Desember 1961, untuk pertama kali, Bintang Pagi dikibarkan di depan Gedung
Dewan Nieuw-Guinea (NGR) (kini, Gedung Dewan
Kesenian Papua) di Hollandia. Ketua Komite Nasional, Willem Inury, dalam
pidatonya, antara lain, mengatakan: ”Hari ini, tanggal 1 Desember 1961, kita
menaikkan bendera, bendera Papua Barat, di atas sebuah gedung yang belum
selesai dibangun …” (“Vandaag, 1
december 1961, is boven de woning-in-aanbouw West-Papoea de vlag gehesen…”). [Gedung NGR, saat itu dalam tahap pembangunan].
Yang menarik adalah upacara bendera
Bintang Kejora itu tidak disertai dengan “proklamasi kemerdekaan Papua Barat.” Arnold
Mampioper, salah seorang pamong praja (civil
servant), ketika itu sedang berada di Hollandia untuk mengikuti kursus di
OSIBA (Opleiding School voor Inheemse Bestuures Ambtenaren/Sekolah Pendidikan
Pamong Praja Papua), dan ikut menghadiri upacara itu. Mampioper mengatakan kepada Willem Inury dan anggota NGR dari Biak, Baldus
Mofu dan Marcus Kaisiepo: bayi yang baru lahir tidak hanya membutuhkan kain
pembungkus, tapi juga bidan untuk membantu persalinannya.
“Mengapa saudara-saudara
tidak melakukan sesuatu?” (Waarom jullie niks?). Karena hanya dengan
memproklamirkan kemerdekaan, negara Papua Barat bisa mendapatkan pengakuan dunia.
Kaisiepo
menjawab bahwa Papua dalam posisi yang lemah untuk mempertahankan diri
menghadapi Indonesia. “Jika kita memproklamasikan kemerdekaan sekarang, Belanda
akan angkat kaki dan Indonesia akan masuk, dan kita tidak mampu untuk
melindungi masyarakat” (“Als wij nu de onafhankelijkheid uitroepen, trek
Nederland zich terug. Dan valt Indonesië binnen en kunnen we de bevolking niet
beschermen.”)
Mampioper
kemudian mengatakan: “Belanda sewaktu-waktu bisa mengirimkan [kapal induk]
Karel Doorman, yang dilengkapi pesawat tempur, frigat dan senjata anti-pesawat untuk,
kalau perlu, menembak jatuh pesawat-pesawat Indonesia.”
“Yang
penting berusaha untuk patuh pada Belanda untuk memastikan bahwa mereka akan melindungi
kita.” Kaisiepo menjawab: ini permainan pihak Barat. Mereka sedang bermain
sepakbola, itu permainan mereka (Het Western speelt voetbal, het is hun
spel). Karena itu, kita tidak akan memetik manfaat apa-apa (wij kunnen
de bal niet inkopen). Kita tidak lebih dari sekadar penonton yang, ketika pihak
Barat meninggalkan lapangan sepakbola, “saling menerkam.” Begitu, alasan Inury
dan kawan-kawan tidak bertindak lebih dan hanya cukup puas dengan upacara
bendera.
Pada 4-13 Juli 1962, NGR membahas
perspektif politik umum menyangkut perkembangan terakhir di Nieuw-Guinea
Belanda. Pokok bahasan utama adalah Rencana Bunker (plan-Bunker) mengenai penempatan Nieuw-Guinea Belanda di bawah
pengawasan PBB sementara waktu sebelum diserahkan kepada Indonesia untuk menentukan
nasib sendiri. Perdebatan dihadiri oleh, sekurangnya, 26 atau 27 dari 28
anggota NGR. Di sini pendapat bernada optimis dan pesimis muncul bergantian. Wakil
NGR dari Biak, Baldus Mofu, menyebut Rencana Bunker sebagai “sebuah kemenangan
bagi Indonesia” (een overwinning voor
Indonesië). Ketika pemerintah Indonesia menduduki Papua Barat dengan
tentara-tentaranya, Indonesia akan memutuskan untuk menghentikan masalah ini. Mereka
akan mengerahkan jutaan ayam Jawa untuk melakukan perlawanan terhadap burung cenderawasih.
Dengan demikian, suara orang-orang Papua akan hilang. Karena itu, orang-orang
Papua yang ikhlas pada kesadaran nasional, tidak boleh membiarkan dirinya
disesatkan oleh Rencana Bunker.
Satu-satunya jalan keluar yang ada
saat ini adalah bahwa Belanda menerima rencana itu sebagai dasar bagi
perundingan-perundingan, untuk melaksanakan hak penentuan nasib sendiri
secepatnya, sebab sekali kita menundanya, hal itu tidak akan terwujud. Papua
Barat harus memaklumkan pendiriannya kepada dunia. Belanda akan mendengar kita.
PVK (Papoea Vrijwilligers Korps/Korps
Sukarelawan Papua) bersama dengan Polisi (Papua) harus diperkuat. Ribuan pemuda
Papua harus mempersiapkan diri untuk mempertahankan tanah air mereka terhadap
kolonisasi diktator Jawa (kolonisering
door de Javaanse dictator).
Pembicara lain mengingatkan tentang adanya
peluang melaksanakan penentuan nasib di bawah
pemerintahan Indonesia. Karena itu, ia usulkan agar selama perundingan, Belanda
menuntut agar dilaksanakan sebuah plebisit mengenai masa depan Papua di bawah wewenang PBB dan bukan setelah
pengalihan kekuasaan kepada Indonesia. Sebab jika dilaksanakan setelah
penyerahan kekuasaan, Indonesia akan menganggap masalah Papua Barat sebagai
masalah dalam negeri dan kemudian, PBB tidak akan memiliki wewenang untuk
memaksa sebuah bangsa berdaulat terikat urusan dengan negara lain.
Salah satu pembicara mendesak
pemerintah Belanda untuk memperbolehkan orang-orang Papua Barat menyuarakan
aspirasi mereka di PBB dan bahwa penentuan nasib sendiri hanya bisa
dilaksanakan di bawah pengawasan PBB.
Eliezer Jan Bonay, wakil ketua
Partai Nasional (Parna), menerima Rencana Bunker yang ia anggap “sebagai
satu-satunya dasar bagi kedua pihak (Belanda-Indonesia) untuk melangsungkan
perundingan demi mencari penyelesaian damai. Bagi Bonay, Rencana Bunker
menawarkan banyak jaminan bagi penentuan nasib sendiri dibanding Piagam PBB.
Parna menganggap Papua Barat sebagai pihak ketiga, selain Belanda dan Indonesia
serta, tidak seperti anggota-anggota elite Papua yang lain, meminta dukungan
Belanda dalam perjuangannya bagi “kemerdekaan.”
Bonay percaya pada janji Soekarno
kepada rekan separtai, Frits Kirihio, untuk memberikan kemerdekaan kepada
orang-orang Papua. [Pada Desember 1961, Frits ditugaskan PARNA untuk bertemu
Soekarno guna “merundingkan masa depan” Papua. Frits terbang dari Belanda dan
seterusnya dibawa ke Bogor dan dipertemukan dengan Soekarno. Kepada Frits yang
disapa Soekarno “Anak Leiden” (Leienaar),
Soekarno mengatakan: “saya tidak punya masalah dengan orang-orang Papua, bagi
saya, kalian seperti saudara, tapi Belanda harus pergi. Kalau kalian mau
merdeka, […] kalian akan mendapatkannya dari saya [Indonesia], bukan dari
Belanda.” (“ik heb niks tegen Papoea’s,
jullie zijn onze broeders, naar de Nederlanders moeten eruit. Als jullie je
onafhankelijkheid willen, […] dan krijgen jullie die van mij en niet van de
Nederlanders”).
Sementara Nicolaas Jouwe “mengecam”
Frits Kirihio dan kawan-kawannya di Belanda dan Papua Barat yang memandang pertikaian
ini semata urusan Belanda dan Indonesia dan bukan orang-orang Papua. Kirihio
dan rekan-rekan percaya bahwa Belanda sedang menyiapkan kekuasaan kolonialnya.
Jouwe menyebutkan Rencana Luns sebagai bukti yang diajukan ke PBB tahun sebelumnya.
Rencana ini menunjukkan niat Belanda untuk mengalihkan kekuasaan kepada PBB, dan kemudian menarik diri dari wilayah
ini. Jouwe tidak menolak Rencana Bunker, namun menurutnya, formula itu tidak
harus “ditelan mentah-mentah.” Rencana
itu menawarkan kepada Belanda dan Indonesia kesempatan yang memadai untuk
memperkuat pendirian masing-masing, memberikan jaminan yang mantap kepada
bangsa Papua sesuai pasal 73 Piagam PBB. Kita harus melakukan sesuatu sekuat kemampuan
kita untuk memastikan kita akan terlibat sebagai pihak ketiga dalam
perundingan-perundingan antara Belanda dan Indonesia mengenai “Masalah Papua
Barat.”
Sebagai kesimpulan dari debat ini,
NGR menerima empat mosi (usulan) yang memohon agar: 1. Pemerintah Belanda
mengikutkan satu atau lebih orang Papua dalam delegasi tetap ke PBB; 2. Pengiriman
“satuan militer Indonesia […] ke Papua Barat dihentikan dan “pasukan payung
Indonesia yang ada di pedalaman Papua Barat ditarik; 3. membentuk sebuah komisi
“yang berwenang atas pembuatan syarat-syarat yang harus dipenuhi saat
pelaksanaan hak-hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua; 4. Tidak adanya
penyelesaian bagi Masalah New Guinea dapat diterima tanpa tawaran jaminan yang
memadai bagi pelaksanaan bebas hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Usulan
terakhir ini memunculkan kembali rumusan konsep yang lebih tegas yang
menyatakan bahwa “plebisit yang diajukan oleh Rencana Bunker yang akan
sepenuhnya mewakili aspirasi rakyat Papua, dilaksanakan selama masa Papua Barat
di bawah pengawasan PBB.” Usulan konsep ini ditarik kembali oleh para
penganjurnya, salah satu dari mereka adalah M.W. Kaisiepo, dan menggantikannya dengan
“usulan komisi.”
Pada 31 Agustus 1962, NGR
menyelenggarakan sebuah sidang paripurna untuk menentukan sikap, menghadapi kesepakatan
New York 15 Agustus 1962. Apakah akan menolak atau menerima hasilnya. Dalam
resolusinya, 12 suara menerima, dengan pertimbangan pemerintah Indonesia bisa
menerima keinginan-keinginan Papua di bawah pemerintahannya. Dua suara
menentang, sisanya telah meninggalkan sidang saat pengambilan suara. Dengan
begitu, jumlah suara tidak mencapai kuorum. Namun mayoritas anggota NGR tidak
menentang resolusi ini.
Satu sidang yang juga penting
berlangsung beberapa minggu kemudian. Yakni, Kongres Nasional Papua (Papuan National Congress) yang berlangsung
di Hollandia pada 14 dan 20 September 1962. Diprakarsai oleh Front Nasional
Papua. Sidang ini diadakan untuk membahas perkembangan situasi menyangkut Kesepakatan
New York. Para utusan yang diundang meliputi anggota-anggota dewan daerah, NGR
dan partai-partai politik. Jouwe dan Kaisiepo hadir dan berbicara pada hari
pertama. Pada hari kedua, mereka bertolak ke New York mewakili NGR sebagai
anggota delegasi Belanda dalam perundingan tentang negeri mereka di PBB.
Penasehat militer U Thant (India), Brigjen
Rikhye yang, bersama personel militer PBB mengunjungi Papua pada Agustus 1962
untuk melakukan pengamatan, merujuk Kongres Nasional Papua dan bendera Papua
sebagai ulah Belanda yang memicu ketegangan politik antara Belanda dan
Indonesia.
Sejarawan Belanda, Drooglever,
menyebut upaya Belanda di masa-masa akhir pemerintahannya, antara 1950 dan
1962, dalam mempersiapkan orang-orang Papua untuk mengurus dirinya sendiri,
sebagai ikhtiar yang agak terlambat. Kendatipun jumlah kecil elite pemuda Papua
yang disiapkan untuk memasuki sistem pemerintahan dan pendidikan meningkat dengan
pesat.
“Bagi para elite Papua, masuknya
orang-orang Indonesia (ke Papua) segera setelah itu, merupakan suatu pukulan
yang mengejutkan, yang membuyarkan impian mereka akan kemerdekaan di masa
depan. Orang-orang Papua merasa seperti telah dikhianati oleh dunia,” tulis
Drooglever dalam makalahnya yang mengulas bukunya: Een daad van vrije keuze.
Salah satu esai, Luther Saroy: “Surprised to see beggars” (“Terkejut
melihat pengemis”) dalam buku Governing
New Guinea [Leontine Visser (ed.)] dapat menggambarkan keadaan pada waktu
itu. “Pada 15 Agustus 1962, Kesepakatan New York ditandatangani di markas besar
PBB; pada 7 April, Indonesia menerima Rencana Bunker (Ellsworth Bunker,
diplomat Amerika di PBB yang ditunjuk sebagai penengah): untuk mengalihkan
kekuasaan setelah enam bulan di bawah kewenangan sementara UNTEA, dan the Act of Free Choice setelah enam
bulan di bawah kekuasaan Indonesia. Pada 1 Oktober 1962, Belanda mengalihkan
kekuasaan yang berlangsung setelah enam bulan di bawah wewenang sementara UNTEA
dan the Act of Free Choice setelah
enam bulan di bawah kekuasaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1962, Presiden
Soekarno menyetujui hak penentuan nasib sendiri menurut ‘tata cara Indonesia’.
Pada 2 Oktober 1962, Belanda
mengalihkan tugasnya kepada UNTEA, yang dipimpin oleh Dr. Djalal Abdoh (seorang
diplomat Iran). Pada November 1963, tentara Indonesia memaksa para pemimpin
Papua untuk menandatangani dokumen yang menyatakan penolakan mereka terhadap hak
menentukan nasib sendiri. Dan pada Desember, terjadi penangkapan dan penyiksaan
terhadap orang-orang Papua yang memancing sebuah demonstrasi yang, menyatakan
keinginan mereka agar pemilihan dilakukan di bawah pengawasan UNTEA. Indonesia
masuk langsung ke Papua Barat, secara diam-diam, atau bahkan melalui kewenangan
PBB yang masih ada hingga 1 Mei 1963.
Di Sukarnopura (kini Jayapura) ada
orang-orang yang ditangkap dan tidak pernah ditemukan lagi sampai hari ini.
Katanya, mereka dibawa ke Jakarta, lalu hilang di sana. Di antara mereka
terdapat para mantan anggota Nieuw-Guinea-Raad.
Mereka dihilangkan sebelum Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dibentuk. Orang-orang
ini dicari; di mana sebenarnya mereka dibawa pergi?
Mereka tidak dibawa saat
demonstrasi. Mereka sudah pulang tapi diikuti! Karena mereka sudah difoto,
kemudian mereka dikejar dan ditangkap. Intelijen sudah ‘melacak’ tempat-tempat
tinggal mereka, kemudian menculik mereka dan mengatakan: “Kamu dipanggil atas
masalah ini.” Itu yang terjadi atas teman kami Penehas Torey. Sampai sekarang,
ia masih belum ditemukan, tidak ada yang tahu ke mana ia dibawa. Ia juga
lulusan APDN Malang, bersama Faidiban. Ia…menikahi seorang perempuan Jawa dan
tinggal di Dok V. Ia ditangkap pada saat itu. Ia juga salah satu peserta
Konferensi Pasifik Selatan (South Pacific
Conference). Dan ia mantan anggota Nieuw-Guinea
Raad, masih sangat muda, tapi dihilangkan begitu saja seperti itu?”
Beralihnya posisi Papua ke tangan
PBB dan makin gencarnya tekanan militer Indonesia kian menegaskan kekhawatiran
penduduk wilayah ini akan masa depan mereka kelak.
Apa yang menggamangkan itu akhirnya
menjadi kenyataan saat penyerahan kekuasaan dari UNTEA kepada Indonesia dan mencapai
puncaknya usai “Pelaksanaan Pemilihan Bebas” (Act of Free Choice), 14 Juli hingga 2 Agustus 1969. [Dimulai di
Merauke dan diakhiri di Hollandia (Jayapura)]. Aspirasi dibungkan, ruang gerak
ditutup: kebebasan berkumpul, berdemonstrasi dan berpartai politik lokal
dilarang dan ditindak keras. Segala atribut dan embel-embel lain yang dipandang
berhubungan dengan Belanda, karena itu bercorak kolonial, dibasmikan dari Bumi Kasuari.
Sebagai contoh, salah satu larangan
resmi−sebagaimana dikutip Sawor dalam Ik
bèn een Papoea−adalah Penetapan Presiden (presidentiële besluit) Nomor 8, tertanggal 15 Juli 1963. Pasal 2
Penpres ini menegaskan:
“Di daerah Irian Barat untuk
sementara, dilarang melakukan kegiatan politiek dengan tjara mengadakan rapat
2, pertemuan-pertemuan, demonstratie, melakukan pentjetakan, penerbitan,
pengumuman, pentjampaian, penjebaran, perdagangan atau penempatan tulisan,
lukisan, klise atau gambar-gambar, tanpa izin terlebih dahulu dari Gubernur,
kepala Daerah Irian Barat atau pedjabat jang ditundjuknja untuk itu”.
Sementara Pasal 1, ayat 3-nya mengingatkan:
“Sedjak berlakunja Penetapan
Presiden ini di daerah propinsi Irian Barat, untuk sementara waktu, dilarang
membentuk suatu partai tjabang politiek baru”. (Dikutip sesuai aslinya)
“Lagu Kebangsaan,” “Bendera Nasional,” nama “Tanah
dan Bangsa Papua (Barat)” yang sudah disetujui NGR ditutup dari sejarah.
Indonesianisasi nama-nama kota dan tempat gencar dilakukan.
Pada esai lain dari Marthin Senandi:
“We were not given acces to proper
education,” (Kami tidak diberikan akses terhadap pendidikan yang layak)
dalam Governing New Guinea, dikemukakan:
sepeninggal Belanda, yakni antara 1963 dan 1964 dan sesudahnya, semua dewan
dibubarkan. NGR dan anggotanya juga dibubarkan, Dewan Daerah (Streekraad) Dafonsoro dihapus. Badan-badan
ini akhirnya terbengkalai. Setelah pengalihan kekuasaan pada PBB, aktivitas
tidak lagi jalan, dewan tidak menerima subsidi dan anggaran belanja lagi.
Semuanya berhenti total.
NGR digantikan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Gotong-Royong (DPR-GR) yang para anggotanya hanya diangkat.
Belanda angkat kaki meninggalkan
rakyat Papua memasuki babakan sejarah kelam di bawah kolonialisme Indonesia.
Kedua bangsa setali tiga uang (idem ditto):
bersumbangsih atas sejarah kelabu Papua hingga kini. ■
Daftar
Pustaka
“Nieuw-Guinea Raad, Satu Usul
Undang-Undang untuk Mengubahkan Bewindsregeling Nieuw-Guinea” dalam Pengantara, 25 Juni 1960, hlm. 1-2.
“Komite Nasional Papoea” dalam Pengantara, Tahun 13 No. 36, 21 october
1961, hlm. 1.
Poestaka Hollandia. (tanpa tahun). Nasib Nusa dan Bangsa. Dari judul berbahasa
Inggris
Papuans Building Their Future. 1961. Roterdam: Bahagian Penerangan
Kementerian Dalam Negeri.
Sawor, Zacharias. 1969. Ik bèn een Papoea. Groningen: Uitgeverij
de Vuurbaak.
The West Papuan Community
(Masyarakat Papua Barat). 1999. West Papua
from Colonization to Recolonization (Papua Barat dari Kolonisasi ke
Rekolonisasi).
-Saltford, John Francis. 2000. UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement
in West New Guinea During the 1960’s (a Thesis submitted for Degree of
Doctor of Phylosophy in the University of Hull).
Schoorl, Pim (penyunting). 2001. Belanda di Irian Jaya. Amtenar di Masa Penuh
Gejolak 1945-1962 (terj. R.G. Soekadijo dari judul asli Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea
1945-1962. Ontwikkelingswerk in een periode van politieke onrust) Jakarta: Garba Budaya.
Vlasblom, Dirk. 2004. Papoea, een geschiedenis. Amsterdam:
Mets & Schilt.
Experiment
with Nieuw-Guinea Regional Council, dalam papuaerfgoed.org/en/Experiment_with Nieuw-Guinea_regional_councils.
Griapon, Alexander L. (penyunting).
2007. Manifesto Politik Komite Nasional
Papua. Risalah Perdebatan di Nieuw Guinea Raad 30 Oktober 1961. Jayapura:
Penerbit Tabura.
Drooglever, P.J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan
Penentuan Nasib Sendiri (terj. J. Riberu dari judul asli Een daad van vrije keuze. De Papoea’s van
westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht ).
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-------------------.2010. “Penelitian Sejarah Papua”, makalah yang
disampaikan dalam “Kesaksian di Depan Komite Luar Negeri DPR Amerika Serikat Subkomite
Asia, Pasifik dan Lingkungan Global, 22 September 2010” (diindonesiakan dan
diberikan judul oleh penulis bab ini).
Visser, Leontine (Ed.). 2012. Governing New Guinea. An oral history of
Papuan administrator, 1950-1990. Leiden:
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) Press.
Campschreur, Willem. 2012. Viktor Kaisiepo Msn. Satu Perspektif untuk
Papua. Cerita kehidupan dan perjuanganku (terj. Jan Riberu dari judul asli Viktor Kaisiepo Msn. Een Perspectief voor
Papoea. Het verhaal van mijn leven en mijn strijd). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
*Joost W. Mirino; Jurnalis di Papua
0 Komentar