A Confession (Sebuah Pengakuan), Bagian I



Oleh: Dogopia Christianus

IST
Awalnya: Hanya Kebetulan


Ada dikotomi antara kebetulan dan terencana. Banyak kisah tragis yang tak terelakkan dalam hidup. Hidup, dijalani dari depan dan kemudian akan dipahami dari belakang, jika dimungkinkan”
 
Aku masih ingat, kala itu Pertengahan Februari 2009, di hari ulang tahunku, entah usia yang ke berapa ku tak tahu.

Tepatnya malam minggu, Valentine Day, Tanpa sengaja Aku bertemu dengannya. Jika hendak ditelusuri, sebenarnya hanya sebuah kebetulan. Aku lewat dan melihat gadis malang itu sedang menangis.

******
Kisahnya demikian: Saat itu hujan turun mengguyur Abepura di malam hari. Ketika itu, Aku sedang berjalan pulang. Sambil berlari-lari kecil melewati jalan setapak tepian bukit – yang selalu aku lewati bersama teman-teman seperjuanganku -,. Tepat di perbukitan Padang Bulan Atas, aku dikagetkan dengan sebuah penglihatan.

Aku melihat sosok seorang gadis duduk di bawah pohon “cemara” sambil menangis terseduh-seduh. Ia basah kuyub, pakaiannya lesuh, matanya kelihatan bengkak, raut wajahnya pucat, berlumuran tanah merah perbukitan. Tampaknya, ia kehilangan ronah dan pesona kecantikan. Layaknya seorang gadis paruh baya mempesona, telah  lenyap dari dirinya.

“TUHAN, hantu malam kah yang aku lihat.” Kataku berkeringat dingin.

“Bukan-bukan, seperti ia juga manusia, bukan hantu.” Kataku berusaha menimpali kecurigaan.

Aku melihat dan mendengarnya menangis terseduh, seperti sedih dan perih hatinya, dan bergumam dalam hati;

“Kasihan…Sungguh….Kasihan..,”

Rintihan tangisnya, meluluhkan hati,,, sangat menyayat jiwa. Sepertinya aku juga hendak menangis bersama dengannya. Ketika aku pastikan, ternyata dia bukan hantu, melainkan seorang gadis.

“Tidak…tidak…tidak seharusnya aku tidak menangis. Aku ini laki-laki. Tidak sepatutnya seorang lelaki menangis. Apa kata orang nanti.” Pikirku.

Aku berusaha menahan tangis.

“Seorang lelaki, haram hukumnya tuk menangis.”

Aneh, entah apa gerangan dalam hati, tanpa disadari aku menitikkan air mata.

Perlahan-lahan Aku menghampirinya tanpa sepata-kata pun. Aku duduk di sampingnya.

Tiba-tiba…bulu kudukku berdiri,,, Gadis itu memelukku erat-erat, sekan-akan ia tak mau, aku pergi darinya. Ia mendekapku dalam pelukannya.

“aaaaaaaaaaaaaaaaah mati aku, ini setan, penunggu di perbukitan ini”
Aku tak dapat berbuat apa-apa.

“Aku pasrah. Jika ini saatku.” Gumamku dalam hati. 

*******

Malam bertambah pekat, guyuran hujan semakin lebat, angin malam berhembus, dingin menembusi kulit, pori-poriku terbuka, menyebabkan bulu kudukku berdiri. Aku begitu takut.

Aku memberanikan diri, keluar dari ketakutan, bertanya padanya:

“Saudari sebenarnya siapakah engkau? Ada apa denganmu? Apakah engkau setan, penunggu di bukit ini?”

Tangisannya menjadi-jadi, memecah kebisuhan, membuatku bertambah bingung dan takut. Aku berusaha membujuknya untuk diam.

“Sssssstttt……coba diam kah, aduh jangan menangis begitu. Ini malam nih”
Usahaku berhasil. Ia menghentikan tangisannya, mengusap air mata, melepaskan pelukan, menatapku dengan tatapan tajam menakutkan. Dan berkata kepadaku:

“Aku akan menceritakan semua yang aku alami padamu sebelum semuanya berakhir dengan sia-sia”.


Bersambung…….
 

Posting Komentar

0 Komentar