== DPRP ==

 Oleh : Ibiroma Wamla 

Foto : Doc. Ibiroma Wamla

Lebih dari 150 tahun yang lalu, dua orang pemuda yang masih berusia duapuluhan dengan modal semangat menuju negeri yang "gelap" dan tertutup. Saat itu informasi satu-satunya tentang Nueva Guine, (Papouasie Nouvelle Guinée) mungkin hanya di peroleh dari catatan penjelajah seperti Antonio d’Arbau (1511 pelaut Portugis), Magelhaens (Portugis) dan juru tulis Antonio Figafetta (Italia) yang singgah di Tidore antara tahun 1522-1523), Don Jorge de Menetes (1526-1527 pelaut Spanyol), (1528 Alvaro de Savedra pelaut Spanyol).

Dua pemuda tanggung tersebut adalah Carl W. Ottow (1826-1862) dan Johann Gottlob Geissler (1830-1870), mereka berdua tergolong nekat. Bonek (bondo nekat = modal nekat), istilah sporter Persebaya. Ya memang nekat, dari Eropa menuju Papua di tahun yang gelap informasi itu. Tidak seperti sekarang, dengan modal perangkat gadget, seseorang bisa menggunakan peta online untuk mencari sebuah alamat.

Mungkin Ottow dan Geissler memiliki naluri kaki abu seperti teman saya yang berangkat ke Australia, tanpa di jemput dia tiba di tempat pelatihan. Ketika ditanya bagaimana dia bisa sampe di tempat pelatihan, dia menjawab "Saya bisa di hutan dan tidak tersesat, disini kota ya saya tidak mungkin tersesat!" Jawabnya sedikit sombong, hahahahaaaaa. Atau seperti Belau yang kini jadi pilot, ke Amerika sendiri, dan tiba dengan selamat di sekolah penerbangan. Mereka kaget melihat Belau muncul sendirian.

Ottow maupun Geissler memulai perjalanan menuju Nieuw Guinea (Papua) dari Berlin, lewat Belanda yang jaraknya (+_ 700 KM), pada 25 April 1852 mereka sampai di Hemmen, mereka lalu belajar dasar-dasar bahasa Belanda beberapa bulan disitu. Tanggal 25 Juni mereka naik ke kapal, mereka berdoa bersama para rekan mereka di Negeri Belanda, itu doa bersama yang terakhir. Pada tanggal 7 Oktober mereka tiba di Batavia. Ottow dan Geissler tinggal selama 18 bulan di Batavia untuk memperdalam lebih lanjut pengetahuan mereka dalam bahasa Belanda dan juga bahasa Melayu.

Waktu itu (sama seperti saat ini) tidak semua orang asing bisa dengan mudah masuk ke Nieuw Guinea, termasuk Ottow dan Geissler. Pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan, bahwa para zendeling yang tidak berkewarganegaraan Belanda hanya diijinkan masuk ke Kalimantan. Maka itu diperlukan banyak kunjungan dan pembicaraan yang sulit sebelum didapat ijin untuk masuk ke Nieuw Guinea. Ijin yang diterima oleh Ottow dan Geissler dari penguasa di Batavia (sebuah pas), hanya berlaku sampai Ternate.

Residensi Ternate, yang mencakup juga Nieuw Guinea, merupakan daerah yang berpemerintahan sendiri, dan Sultan Ternatelah yang harus menentukan ijin masuk ke Nieuw Guinea itu. Sultan yang bisa menolak, itu adalah risiko yang harus mereka tanggung, karena mereka pergi ke daerah yang terpencil dan berbahaya, yang sama sekali belum dijamah peradaban. Tetapi Pendeta J.E. Hovekerlah, pendeta dari Indische Kerk (Gereja Hindia Belanda) di Ternate, yang banyak membantu agar rencana ini tetap dilaksanakan. Ia mengumpulkan keterangan-keterangan dari para pedagang berbagai perusahaan yang dengan teratur mengunjungi Irian Barat, dan membicarakan rencana menetap di Nieuw Guinea ini dengan pejabat-pejabat yang bersangkutan di Ternate dan Tidore.

Ottow dan Geissler dari Batavia tanggal 8 Mei 1854, dan mereka tiba di Ternate 30 Mei. Mereka tinggal di rumah pendeta J.E. Hoveker, yang sejak tahun 1833 menjadi pendeta jemaat Protestan yang kecil di situ. Pendeta J.E. Hdveker membantu Ottow dan Geissler untuk bertemu Residen Ternate, Gubernur Maluku serta Sultan Tidore untuk mendapat ijin masuk ke Nieuw Guinea. Setelah ijin di peroleh mereka bertemu Duivenbode, pengusaha pelayaran untuk mencari kapal yang dapat mengantar mereka ke Papua. Seorang guru di Ternate bahkan memberikan ijin kepada anak lelakinya Frits yang berumur 12 tahun, untuk ikut dengan kedua orang perintis itu. Kedua penginjil menerima usul ini, dan mereka menulis bahwa mereka punya rencana untuk mengambil anak ini nanti sebagai guru. Pada tanggal 12 Januari 1855 bertolaklah kapal "Ternate", dan 25 hari kemudian (5 Februari 1855) kapal itu membuang sauhnya di hadapan Mansinam Mnukwar.

Dalam sebuah suratnya kepada Gossner, Geissler menulis, "Dua malam lamanya kami tak dapat tidur karena gembira. Anda tak dapat membayangkan betapa besarnya rasa sukacita kami, waktu pada akhirnya tanah tujuan terlihat. Hari Minggu pagi jam 6 — yaitu hari Minggu Zending — sauh dibuang di labuhan Dore (Mansinam), Matahari terbit dengan indahnya. Yah, semoga matahari yang sebenarnya, yaitu rahmat Tuhan menyinari kami dan orang-orang kafir yang malang itu, yang telah sekian lamanya merana di dalam kegelapan. Semoga Sang Gembala setia mengumpulkan mereka dibawah tongkat gembalaNya yang lembut".

Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1857, sekolah pertama dibuka di Mansinam, Manokwari. Nyonya Ottow menyediakan sebuah bilik di rumah Ottow untuk dijadikan ruang kelas tempat anak-anak belajar. Setelah murid bertambah banyak dan terbiasa belajar di ruang kelas, barulah sekolah permanen dibangun. Di sekolah itu Pdt. Geissler memberikan pelajaran bahasa Melayu kepada para murid asli Mansinam. Tampaknya pelajaran membaca menjadi prioritas di sekolah itu, agar murid-murid segera mampu membaca Alkitab. Namun, pelajaran lain juga diberikan, seperti menulis, berhitung, dan pendidikan budi pekerti. Murid-murid menerima pelajaran dari jam 08.00 sampai jam 12.00. Sesudah itu, bebaslah mereka untuk makan, bermain, atau tidur. Tetapi jam 16.00 sampai jam 18.00 mereka harus belajar bekerja.

Tanggal 17 November 1858 seorang anak Papua di kirim untuk belajar di Ternate, yang sekembalinya ia menjadi guru dan kemudianbeberapa sekolah berturut-turut di buka, Andai 1868, Momi 1871, Kwawi 1872, Roon 1884, Winsedi 1889, Yande 1891. Pada tanggal 3 April 1892 dua orang anak (Petrus Kafiar dan Timotius Awendu) di kirim untuk belajar di Kweekschool di Depok Jawa Barat, mereka di siapkan untuk menjadi guru. Di tahun 1896 di kirim lagi Manyosi Kiambo Wellem Rumainum, Johan Ariks, Berthus Ariks, Jakob Rumfabe, Yosephus Rumbruren, Karl Koibur, Barnabas Yufuwai, Jason Sarawan dan dan Chis Nelwan untuk belajar di sekolah yang sama.

Dari dua orang pemuda (Ottow dan Geissler), lahirlah kaum terdidik pertama di Papua yang kemudian meneruskan karya kedua pemuda tersebut. Mereka di panggil amber, tuan guru dan nyora untuk istri kaum terdidik ini. Fase kedua kaum terdidik lahir di kota nica (kampung harapan), saat bestuursschool (pamong praja) di kota nica hollandia (sekarang kampung harapan di sentani), dibuka oleh J.P.K. Van eechoud. Para pamong praja Kota Nica ini diantaranya Frans dan Marcus Kaisiepo, Arnold Mampioper, Nikolas dan Ben Tanggahma, Nicolaas dan Bas Jouwe, Trajanus S. Boekorsjom, Marthen Indey, Corinus Krey, Silas Papare, Baldus Mofu, O. Manupapami, dan Herman Wajoi dll. Mereka kemudian di tempatkan di seluruh wilayah Papua sebagai pegawai dan kepala pemerintahan.

Di masa UNTEA (The United Nations Temporary Executive Authority) Unicersitas Cenderawaih didirikan 10 November 1962, sebagian lulusannya melanjutkan kuliah ke universitas di Jawa. Inilah fase awal kaum terdidik Papua yang lahir di masa “mengambang” sebelum dijadikan bagian dari Indonesia.

Fase “mengambang” ini berlanjut hingga tahun 1990-an, pemerintah Irian Jaya terus mengirim anak-anak dengan beasiswa dari pemerintah untuk sekolah di Jawa. Inilah fase awal asrama-asrama Papua di bangun di Jawa, di Tanah Abang (Jakarta), di Yogyakarta, di Semarang dan di Surabaya. Generasi ini disebut generasi Irian Barat, saat ini sebagian dari mereka masih berdinas di berbagai sektor di pemerintahan di Provinsi Papua.

Generasi terdidik Irian Jaya memiliki mental tahan banting, dan persatuan yang kuat, tidak membedakan status asal daerah, semua bersatu dalam “Irian Jaya”. Mereka hidup dalam kondisi yang “pas-pasan”, meskipun sudah ada bea siswa, karena kadang uang yang di peroleh bisa di pakai untuk beberapa orang untuk kebutuhan sehari-hari. Hampir 75 % pegawai negeri di Papua hingga tahun 1990-an adalah anak dan cucu guru injil, dan pegawai dari masa pemerintahan Belanda.

Sebagian generasi terdidik 1990-an yang bekerja saat ini di pemerintahan, mendapat kemudahan sebagai pegawai negeri atas andil Kelly Kwalik yang melakukan penyandraan di Mpnduma tahun 1996. Akibat penyanderaan yang dilakukan Kelly Kwalik, maka ada tahun 1997 diangkatlah 2000 pegawai asli Papua yang kemudian mendapat pembekalan di Lembang Bandung lalu mengikuti program magang di seluruh kantor pemerintah di Jawa, Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi. Mereka kemudian pulang dan bekerja di berbagai dinas di Provinsi Papua, bahkan ada yang kemudian di beberapa wilayah mereka menjadi bupati.

Kaum terdidik Papua selanjutnya muncul di tahun 2000-an (Generasi Otonomi Khusus), mereka tidak hanya mendapat beasiswa untuk sekolah di Jawa, tetapi juga ke luar negeri. Generasi ini bernental “manja”, semua kebutuhan tercukupi, bahkan masing-masing kabupaten berlomba-lomba membangun asrama di berbagai kota studi. Yogyakarta misalnya, menampung 7000 mahasiswa Papua yang kalau di hitung jika satu bulan pengeluaran mahasiswa 1 Juta, maka pendapatan Yagyakarta dari mahasiswa Papua dalam satu bulan 1 Milyar, pendapatan daerah yang fantastis. Belum tentu satu kabupaten di Papua bisa mendapat pemasukan yang demikian itu. Dan kini kita menunggu akan muda Papua berusia duapuluan untuk bergerak membangun Papua

Seandainya kampus-kampus di Papua kualitasnya bagus di Indonesia timur, maka tentulah tidak akan ada ribuan anak Papua yang kuliah di luar Papua. Tetapi begitulah situasi kampus di Papua, “apa adanya”, ada mahasiswa yang mengatakan mereka kuliah senin kamis, karena dosennya juga jarang masuk. DPRP (Dosen Pemalas Rakus Proyek) itulah istilah yang diberikan mahasiswa bagi dosen yang jarang masuk mengajar. Rupanya banyak dosen yang mengerjakan, proyek penelitian, terlibat dalam politik praktis dll, sehingga jarang masuk kampus.

Saat seorang teman, dosen muda yang baru tiba di Jayapura bertanya, “apakah ada dosen yang setia mengajar? Tanpa ikut terjun dalam politik praktis.” Saya ragu untuk menjawabnya.

Mungkin benar apa yang dikatakan alm. Barkis dosen jurusan Antropologi Uncen, “menjadi pendidik itu harus lahir dari hati nurani”. Mendidik adalah tanggung jawab, yang di lakukan dengan tulus dari hati. Seperti mama Mintje Roembiak yang juga dosen Antropologi, saat terbaring di rumah sakit, sebelum meninggal dia tiga kali terbangun, ketika di tanya dia mengatakan “Saya ingat anak-anak mahasiswa saya di kampus”.

“Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta.” Kata Kahlil Gibran


Ko'Sapa@2016

Posting Komentar

0 Komentar